Bersepatu lancip model tokoh Sindbad The Sailor dari negeri dongen 1001 malam, Amang Ical muncul di anjungan nakhoda, berbaju kuning keemasan padu dengan overcoat berwarna biru demokrat, bahannya kain bludru dari Smyrna. Pasti harganya mahal karena produk impor dari Turki. Sebagai saudagar kaya raya wajarlah Amang Ical berbusana mewah. Meskipun hanya warga sipil, kekayaan dan kemewahan tampilannya mendukung aura wibawa pribadi Amang Ical.
Keempat patih yang berpangkat jenderal sekalipun nampak sekali segan kepadanya. Terbukti, bentakannya tadi membuat pejabat yang nyaris baku bunuh berhenti seketika. Semuanya terhipnotis, semua yang ada digeladak perahu layar bertiang satu Prabayaksa terdiam.
Belum sempat Amang Ical melanjutkan bicaranya tiba tiba seperti seekor ikan besar loncat dari laut masuk ke kapal….blukkk klepekk….terdampar di geladak.
Ohhh……… bukan ikan besar loncat masuk kapal tetapi ternyata Cingil si pelayan nakhoda Patih Penimba Segara yang dikira mati sia sia ditelan Naga Mura Patimaya.
Glekkk glekkk bruaak huk huk...gruaaaak.......si Cingil memuntahkan sembilan cumi cumi, gelepar gelepur di lantai geladak. Sret sret sret…..cumi cumi menyemprotkan ‘tinta’ sebelum meloncat kelaut kembali kehabitatnya. Anehnya, cairan hitam yang ditinggalkan cumi cumi di lantai geladak Prabayaksa menuliskan pesan :
Kalian tidak amanah, kalian sudah bersepakat dengan Maharaja Mayapait untuk tidak melihat wujud Pangeran Tebupait yang ada di keranda, tapi kalian tidak kommit dengan janji sendiri. Prabayaksa kandas karena aku ingin menguji kejujuran kalian.
Tertanda Naga Mura Patimaya.
Ha aha ha ha ha ha ha ha ha ……suara tertawa sinis Naga Mura Patimaya seakan terus bergaung, terngiang hingga malam gelap gulita.
Seiring dengan hilangnya suara gaib itu, datang angin badai dan hujan sangat kuat, gelombang bergulung gulung. Perahu layar bertiang satu Prabayaksa terlempar diantara puncak gelombang, diangkat dibanting, dibanting dan dibanting lagi…
X.
Nelayan teluk Tabuneo saling panggil ouiiy…. Ouiiy ada kapaaal !!!.
Meski belum singkap siang, pandangan kelaut cukup terang pada subuh itu. Para nelayan bergegas ke laut ingin mengetahui siapa yang datang. Semakin mendekat semakin nyata bentuk dan rupa tall ship Prabayaksa. Mereka kecele, ternyata kapal tidak lego jangkar tapi bergerak menjauh ke utara memasuki perairan muara Sungai Barito, hingga menghilang dari pandangan.
Prabayaksa bergerak sendiri, tidak terlihat ada awak kapal di geladak. Berlayar seperti kapal hantu, hanya tiang tinggi menjulang tanpa layar terkembang. Kemaren ketika kandas ditengah laut Patih Panimba Segara memang memerintahkan agar layar diturunkan. Pengalaman nautika sang nakhoda mengajarkan bahwa dari keadaaan laut yang sangat tenang bagai cermin raksasa bisa berubah tiba tiba jadi bala bencana.
Amang Ical yang pertama bangun dari pingsannya, sadar bahwa Prabayaksa selamat tidak tenggelam diamuk badai, dia merangkak ke arah nakhoda yang tergeletak dua depa darinya. Ketika Nakhoda Utama Patih Panimba Segara sadar, Cingil si pelayan yang pertama dicarinya lalu dia memeriksa seluruh awak dan penumpang lalu membangunkannya, menghitung apakah ada orang yang hilang terlempar kelaut.
Ketika mendapatkan Jenderal Patih Pambalah Batung ternyata juga selamat. Mereka berdua berpelukan, dia memeluknya erat dan lama, meskipun kemaren sore mereka berseteru dan nyaris baku bunuh. Perahu memang berantakan banyak property yang hilang tetapi semua ABK, prajurit, hulubalang dan penumpang seluruhnya selamat.
Feeling sang nakhoda merasa sepertinya ada yang hilang, "seharusnya masih ada seorang lagi". pikirnya
Padahal sudah dihitung berulang ulang, “semua sudah dihitung tuan, tidak ada yang hilang”. lapor perwira pertama.
Saya sebenarnya ingin sekali mengatakan kepada mereka, tapi tidak mungkin bisa. Bahwa yang hilang adalah sang pangeran dalam keranda yaitu Pangeran Tebupait. Pangeran yang nama kecilnya si Lembu Bodong alias si Ledong, sang calon suami Puteri Laras Tunjung Sari lenyap bersama kerandanya, hilang ditelan badai….........gone with the wind