Mengapa luka tembak itu dijahit? Pada kesaksian itu Dr. Mun’im juga mengatakan. Tindakan situasional dengan dijahit, tambahnya, biasa dilakukan oleh dokter rumah sakit. "Sah-sah aja tindakan jahitan itu. Seperti hanya basa-basi, masa tidak dilakukan tindakan. Sebenarnya ngga usah diapa-apain udah mati," ucapnya.
Polisi memberikan klarifikasi sebagaimana disiarkan kompas.com hari ini "Karena sebelum meninggal dunia, sebelum sampai ke dokter forensik, telah dibawa ke rumah sakit untuk diselamatkan nyawanya sehingga dokter sudah melakukan penyelamatan medis," kata Boy Rafli dalam jumpa pers di Kantor Humas Polda Metro Jaya Jakarta, Jumat (11/12/2009).
Boy Rafli juga menyatakan, Nasrudin Zulkarnaen sempat dibawa ke Rumah Sakit Mayapada Tangerang dan RSPAD agar nyawanya bisa diselamatkan. Oleh karena itulah, saat pemeriksaan forensik di RSCM, terlihat bekas jahitan pada jasad Nasrudin.
Klarifikasi ini justeru menimbulkan pertanyaan baru, upaya penyelamatan bagaiamana yang dimaksudkan dengan cara menjahit luka tembak sementara proyektir masih utuh bersarang didalam tempurung kepala.
Kalau nonton filem seputar kerja dokter, dalam menghadapi situasi pada saat menerima pasien kritis maka dokter terlebih dahulu memastikan apakah si pasien masih berdetak jantungnya atau tidak. Sebab jika jantungnya tidak bisa kembali berdenyut maka diputuskan oleh dokter tetang status kematiannya. Dengan demikian tidak diperlukan lagi tindakan medis selanjutnya yang berarti mayat tersebut sudah menjadi ‘barang bukti’. Tindakan menjahit luka tembak dimana masih terdapat proyektil di dalam rongga kepala, patut dipertanyakan
Jika sesorang telah meninggal dunia maka jasadnya lazim disebut mayat. Akan tetapi menjadi tidak lazim bilamana penyebab kematian mempunyai ciri yang mencurigakan sebagai akibat tindak pidana atau tegasnya bahwa orang tersebut meninggal dunia karena terbunuh. Apabila demikian halnya maka mayat tersebut bermakna sebagai ‘barang bukti’.
Sebagai barang bukti, tidak seorangpun boleh menjamahnya apalagi memindahkanya sebelum pihak kepolisian melakukan pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara atau TKP. Standar pemeriksaan oleh kepolisian biasanya dimulai dengan merentang ‘garis polisi’ atau police line berupa pita berwarna kuning atas wilayah TKP. Langkah ini sebagai upaya untuk menjaga keaslian dan melindungi kemungkinan terjadinya pengrusakan petunjuk maupun barang bukti di TKP.
Dalam banyak kasus, terutama ‘peristiwa bunuh diri’, seringkali masyarakat sudah ‘mengutak atik’ mayat tersebut karena rasa kemanusiaan, yaitu memindahkannya ke tempat pembaringan yang layak. Dengan kata lain mayat sebagai ‘barang bukti’ belum menjadi kesadaran hukum dimasyarakat kita. Padahal mengutak atik ‘barang bukti’ mempunyai resiko besar menghapuskan atau setidaknya mengacaukan sidik atau jejak petunjuk factual jika kemudian oleh pihak kepolisian ditemukan sesuatu ciri kemungknan terjadinya tindak pidana pembunuhan.
Mayat dalam ilmu forensic merupakan ‘barang bukti’ penting untuk mendapatkan petunjuk factual bagaimana, kapan waktunya dan apa penyebab kematian. Dalam hal ini kita mengenal cabang ilmu forensic yang berhubungan dengan mayat yaitu ilmu kedokteran forensic. Keaksian seorang ahli forensic merupakan alat bukti di pengadilan.
Jika masyarakat umum belum memahami status mayat sebagai barang bukti agaknya bisa diterima karena kondisi social kita memang begitulah adanya. Tetapi tidak mungkin kalau masyarakat profesi kedokteran tidak memahaminya. Mengenai hal ini tentu telah diatur dalam kode etik profesi dokter. Sebab logikanya tindakan medis hanya bisa dilakukan terhadap pasien yang masih hidup, seperti yang diucapkan Dr. Abdul Mun’im: Sebenarnya ngga usah diapa-apain udah mati," ucapnya.