Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ketika Aryo Pulang

29 Juli 2012   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:28 159 1

Aryo mengepalkan tangannya lagi. Otot rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat.

Berkali-kali ia menghembuskan nafas, berat. Tubuhnya yang berbalut perban karena terluka di sana-sini, nyaris tak dapat rasakan lagi nyeri dan pedihnya. Ia sendirian di koridor itu.

Sendiri. Sulit kenyataan itu ia percaya. Tidak sampai tiga jam lalu ia masuk ke rumah sakit ini dengan tergesa, dihantar oleh Doni dan Ipay yang tergopoh-gopoh bersama dua orang perawat, mengangkat tubuh Giri yang basah kuyup bersimbah darah.

Aryo sendiri menderita cedera , meskipun tak sampai membuatnya tak sadarkan diri. Tapi bukan cedera itu yang membuatnya risau. Pikirannya tak lepas dari Giri yang kini berada di kamar di ujung bangunan rumah sakit ini, kamar jenazah.

Sesal dan kesal tidak bisa lagi ia bedakan. Keduanya memenuhi rongga dada dan kepala, begitu menyesakkan, karena ia sadar , tidak ada orang yang patut disalahkan atas kematian Giri selain dirinya. Tidak pula Doni dan Ipay, sahabat mereka yang saat ini juga kerepotan kembali ke lokasi kejadian, membersihkan TKP sebelum bukti-bukti aksi terlarang mereka ditemukan tim patroli polisi.

“Bodoh!”

Hentaknya keras.

Kalau saja ia tak mengajak ketiga temannya untuk adu balap motor dengan geng motor yang terkenal urakan di kotanya, di ruas jalan tol sepi yang belum selesai dibangun itu. Kalau saja motor Giri tidak mengalami slip roda, yang membuatnya terpelanting jatuh dan menjadi sasaran kemarahan geng motor itu yang kalap karena kalah taruhan. Kalau saja Liana tidak terlalu menuntut pernikahan secepat kilat, tentu ia tidak akan sekalut itu memilih keluyuran di tengah malam mengajak teman-temannya mabuk dan adu balap motor.

Apa yang harus ia katakan kepada orang tua Giri? Bagaimana cara mengatakannya? Air mata merebak di pelupuk matanya membayangkan wajah kedua orang tua Giri yang telah renta, yang ia telah anggap sebagai orang tuanya sendiri. Bahkan yang lebih ia hormati daripada orang tua kandungnya.

Wajah-wajah itu, tidak sanggup Aryo bayangkan duka cita yang akan sangat dalam tergurat di sana.

Giri yang mereka banggakan, yang telah dua tahun, genap seusai ia menamatkan SMU-nya resmi menjadi tulang punggung keluarga. Giri yang memilih bekerja serabutan demi membiayai kebutuhan hidup keluarga dan sekolah dua orang adik perempuannya, Nina dan Tari, daripada melanjutkan kuliah.

“ Aku akan tetap kuliah Yo, tapi nanti, setelah Nina dan Tari selesai SMU-nya. Sementara itu, aku mau kerja. Kasihan Bapak ku Yo, sudah sakit-sakitan , tidak kuat kerja berat lagi seperti dulu, apalagi ibu….”

Masih jelas terngiang jawaban Giri ketika ia menyesalkan keputusannya untuk tidak langsung mendaftarkan diri ke perguruan tinggi, padahal ada beasiswa penuh menantinya dari sebuah perusahaan ternama.

Aryo menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Tidak, ia tidak sanggup untuk mengatakannya sekarang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun