Freddy Budiman memang telah tiada. Seorang gembong narkotika yang konon menguasai pasar peredaran dari Medan sampai Papua. Seorang yang bahkan ketika mendekam di penjara mampu menjalankan bisnisnya; tetap dari balik teralis besi. Dan akhirnya, pada Jum’at tanggal 29 Juli 2016, Sang Gembong tersebut, Freddy Budiman resmi dieksekusi. Namun, kisahnya ternyata masih menyisakan sekuel. Menjelang dieksekusi, beredar ‘nyanyian’ Freddy Budiman. Sebuah ungakapan untuk menunda eksekusi, pun bisa jadi ia tak mau sendiri mati dihukum sebagai pesakitan bui.
Pada dasarnya begini, sebuah kejahatan yang digolongkan extra-ordinary crime atau media kerap menyebutnya sebuah kejahatan kerah putih, white collar crime, tidak akan dijalankan seorang diri. Sistemik, mungkin demikian cara mudahnya kita memberikan definisi.
Senggol kanan-kiri. Ciprat depan-belakang, selalu pasti dilakukan. Kejahatan bergelar extra-ordinary crime 100% pasti melibatkan pihak-pihak lain, bukan bermain sendiri. Dan, sebuah nyanyian horor Freddy Budiman, ia mengaku membayar uang setoran ratusan miliaran rupiah pada oknum di BNN dan petinggi Polri.
Metamorfosa "Justice Collaborator"
Dalam aturan yuridis Indonesia, tidak ditemukan istilah justice collaborator. Satu-satunya aturan yang mengatur mengenai hal ini hanya terdapat pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, justice collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Berdasarkan definisi tersebut, salah satu syarat justice collaborator memang tidak terpenuhi dalam sosok Freddy Budiman. Freddy Budiman merupakan arsitek atau tokoh utama dalam kasus ini. Namun, apabila terbatas dengan pelaku utama atau bukan, hanya terhadap hal tersebut, jangan berharap sebuah kejahatan yang terorganisasi; sebuah tindak pidana yang dijalankan secara sistemik akan dapat dibongkar sampai ke akar-akarnya.
Sebagaimana filosofi adanya justice collaborator adalah untuk turut mempermudah para aparat penegak hukum dalam membrantas kejahatan bergelar extra ordinary crime.
Maka dari itu, justice collaborator pun harus mengalami sebuah metamorfosa. Turut mengikuti dinamisasi di masyarakat karena pada dasarnya, seorang ‘cecunguk’, atau kroco, atau seorang yang bukan pelaku utama, apabila ia tertangkap apakah benar ia mampu dan mau mengungkap kejahatan para bos-bosnya? Selain dia bisa jadi tak tahu apa-apa, semisal ia hanya kurir, ia hanya tahu itu-itu saja. Bukan tahu hal-hal yang notabenenya vital. Justru keterangan akan jauh lebih valid jika disuarakan oleh tokoh utamanya. Karena ia mengetahui siapa, kapan dan apa saja yang dilakukan oleh sistemnya.
Meski nilai sebuah ‘nyanyian’ Freddy Budiman dapat diintrepretasikan sebagai cara ia untuk menunda eksekusi dirinya, setidaknya semangat penegak hukum untuk benar-benar membrantas kejahatan yang jauh lebih besar, terutama korupsi (sebagaimana nyanyian Freddy Budiman) memang benar nyata. Ghirah penegak hukum untuk membersihkan institusinya, akan berdampak positif di masyarakat.
Menunda sedikit waktu eksekusi dengan hasil akan mendapatkan oknum-oknum perusak institusi, sebenarnya menjadi langkah yang cukup bijak untuk mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Pun, tampaknya masyarakat akan sangat mahfum, mengapa eksekusi ditunda atau bahkan hukuman Freddy diringankan asalkan benar pernyataan Freddy. Membogkar tembok Gurita Korupsi Aparat Penegak Hukum.
Salam