Apakah kartu itu merupakan solusi yang pas? Rasanya memang kurang elegan jika membahas masalah pas atau tidaknya solusi itu. Untuk sementara, keberadaan kartu itu memang menjadi solusi yang terbaik untuk diambil oleh Jokowi. Secara pribadi saya pun tidak menafikan mengenai program tersebut. Ada banyak manfaat yang terkandung dalam kebijakan itu.
Pertama, melalui kartu itu maka pungutan liar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan lebih ternetralisir. Mungkin hampir semua rakyat kecil mengetahui bagaimana kesimpangsiuran penyaluran BSM dan Raskin pada masa pemerintahan SBY. Namun, rakyat tidak bisa berbuat apa-apa karena, di satu sisi, mereka merasa tidak enak jika harus cek-cok hanya karena segantang beras. Di sisi lain, pihak yang berwenang menyalurkan Raskin tersebut tidak memberikan transparansi, baik kepada rakyat maupun kepada pemerintah di atasnya.
Kedua, sistem penyaluran akan lebih mudah daripada BSM atau Raskin. Dengan kartu rakyat, masyarakat dapat menarik uang tidak hanya di satu tempat. Sebab, seperti yang diberitakan di Jawa Pos edisi hari ini (4/10/2014), penarikan uang juga dapat dilakukan di kantor pos, mini market, dan tempat lain yang ditunjuk. Artinya, masyarakat tidak perlu melakukan antrian panjang di depan kantor desa seperti pada kebijakan di masa SBY.
Namun, kita juga tidak bisa melupakan beberapa sisi negatifnya dalam rangka penyaluran kartu rakyat tersebut. Memang dalam setiap kebijakan yang dibuat tidak mungkin sempurna secara keseluruhan. Akan tetapi, bagaimana cara mengantisipasi setiap rintangan yang mungkin akan dihadapi itu sangat perlu dipersiapkan.
Mengenai penyaluran kartu ini, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Yaitu, kondisi masyarakat, alokasi waktu, dan kevalidan data. Tiga komponen itu merupakan komponen yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, kesuksesan penyaluran kartu ini tidak berada pada tersebarnya kartu melainkan perubahan yang terjadi terhadap kemajuan bangsa.
Kalau kita mau berpikir gamblang, masyarakat yang berhak menerima kartu tersebut adalah masyarakat miskin dan rentan miskin. Sudah umum diketahui, masyarakat yang berada di garis tersebut merupakan masyarakat terbelakang, awam. Dalam kehidupan mereka yang tergambar adalah bagaimana menyambung hidupnya. Mereka tidak paham mengenai teknologi. Sementara itu, kartu yang digunakan sebagai alat untuk pencairan uang itu membutuhkan pemahaman teknologi. Bahkan dengan adanya sim card aktivasi artinya masyarakat yang menerima dana bantuan itu sunnah muakkad (kalau tidak mau dikatakan wajib) untuk memiliki HP. Artinya, masyarakat perlu mengeluarkan uang terlebih dahulu untuk membeli HP, sedangkan untuk makan saja mereka masih terlunta-lunta.
Sudah selayaknya pemerintah memberikan pelatihan yang intens terlebih dahulu sebelum kartu itu diberikan. Di samping juga, pemerintah mesti menyiapkan sistem atau HP khusus di setiap loket pencairan dana sebagai aktivasi atau validasi data bagi mereka yang tidak memiliki HP.
Tapi, tampaknya hal itu akan sangat berbenturan dengan alokasi waktu yang ada. Sebagaimana diketahui, penyaluran kartu dimajukan dari jadwal yang ada dengan maksud untuk mengantisipasi ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi kenaikan harga BBM. Sementara itu, kenaikan harga BBM direncanakan sebelum tahun 2015. Berarti hanya ada waktu maksimal dua bulan untuk menyalurkan sekaligus memberikan pelatihan penggunaan kartu tersebut kepada masyarakat awam. Hal itu harus dilakukan di 19 provinsi sesuai jadwal penyebaran yang ditentukan oleh Jokowi.
Apabila tidak dilakukan pelatihan, sedangkan penyebaran sudah dilakukan maka hal itu juga akan menjadi hambatan tersendiri terhadap ketepatan program itu. Baik masyarakat maupun pihak yang berwenang dalam menyalurkan dana akan sangat terhambat dengan kondisi yang demikian.
Selanjutnya, jika pada program BSM dan Raskin sering terjadi penyimpangan data sehingga program tersebut banyak yang tidak tepat sasaran maka bagaimana dengan program kartu rakyat ini? Meskipun Jokowi hobbi blusukan tapi rasanya tidak mungkin mendatangi setiap orang miskin yang ada di negeri ini. Hal itu tidak dapat dimungkiri sebagaimana yang diberitakan dalam headline Jawa Pos hari ini. Pemerintah hanya menerima laporan pertanggungjawaban (LPJ) dari setiap kecamatan/desa yang berwenang menyalurkan dana itu. Padahal, sudah bukan barang baru lagi mengenai LPJ fiktif yang dibuat dalam setiap lembaga.
Hal itu sangat berkaitan erat dengan validitas data yang ada. Hingga saat ini, saya memang belum mengetahui secara pasti, pemerintah akan menggunakan data yang mana untuk penyaluran kartu itu. Bukan maksud meragukan, tapi tampaknya kurang begitu valid jika pemerintah hanya menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Sebab itu juga berkaitan dengan jarak waktu data dengan kondisi kehidupan masyarakat yang di luar dugaan. Misalnya, pada saat sensus penduduk kondisi perekonomian suatu keluarga berada di golongan menengah ke atas. Akan tetapi, karena sensus itu dilakukan setiap sepuluh tahun, jika dalam jarak sepuluh tahun itu ada hal buruk terjadi terhadap keluarga itu lantas bagaimana?
Masalah-masalah di atas merupakan masalah-masalah teknis yang harus dipikirkan solusinya. Penyaluran kartu rakyat sudah berjalan dan waktu untuk memutuskan kenaikan harga BBM semakin dekat. Belum lagi masalah inflasi yang ditafsirkan akan naik 7 persen jika harga BBM naik pada bulan ini. Maka masalah-masalah di atas semakin mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya. Semoga sukses!