Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Belajar Menulis dari Pesantren Guluk-guluk

26 Desember 2014   03:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:27 69 2
Berawal dari membaca tulisan Bapak Much Khoiri di buku "Unesa Bermartabat", saya ingin sedikit berbagi pengalaman yang pernah saya dengar. Saya mengatakan demikian karena teknik yang ingin saya tuliskan ini berasal dari pondok pesantren di Guluk-Guluk, bukan pondok pesantren di mana saya belajar.

Saya mulai belajar menulis sudah sejak duduk di bangku SMP tapi tidak pernah tuntas. Maksud saya, saya hanya ikut mood sesaat. Sewaktu masih kelas satu SMP Nurul Jadid, saya belajar menulis puisi. Alhamdulillah, meskipun saya belajar tanpa guru, satu puisi saya yang berjudul "Yang Terlepas dan Yang Terhempas" dimuat di Buletin Sidogiri. Kemudian pada waktu duduk di kelas dua SMP, saya belajar ke dua orang guru. Moh Siddik dan Samawi A. Su'udi namanya. Masih belajar menulis puisi. Namun waktu itu saya tidak pernah memublikasikan tulisan saya.

Baru setelah saya hampir lulus SMP, saya kembali menulis puisi untuk ikut lomba menulis di MA Miftahul Ulum. Sebuah sekolah yang tidak jauh dari sekolahku. Alhamdulillah, puisi saya yang berjudul "Ibu" lolos sebagai nomor dua. Pertama kali ikut lomba menulis dan lolos sebagai juara.

Satu hal yang perlu saya ceritakan di sini adalah setiap saya menyukai sesuatu maka saya selalu berusaha mencapainya hingga saya merasa lelah. Saya pun banyak bertanya tempat-tempat dan daerah-daerah yang mendukung terhadap tercapainya keinginan saya itu.

Karena waktu itu saya suka menulis, maka informasi yang saya dapatkan adalah ada pondok pesantren yang memang gandrung terhadap dunia kepenulisan. Sebuah pondok pesantren yang telah banyak melahirkan penulis-penulis sastra ternama. Ia adalah pondok pesantren yang ada di Kecamatan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep.

Akhirnya, saya pun bertanya-tanya seperti apakah pesantren tersebut mendidik para santrinya sehingga suka menulis. Sebab dalam bayangan saya waktu, ketika mendengar kata pesantren tentu yang menjadi topik utama adalah kitab. Para santri disibukkan dengan kitab dan hidup mandiri sehingga sulit untuk beraktivitas yang lain. Yang ada dalam kehidupannya hanya mengaji, berwirid, dan salat berjemaah.

Rasa penasaran itu saya bawa hingga saya masuk ke MAN Sumenep. Bahkan rasa itu semakin besar ketika samakin banyak para penulis yang saya kenal berasal dari pesantren di Guluk-Guluk. Misalnya, M. Faizi, Faruqi Munif, Sofyan Rh. Zaid, dan lain-lain.

Saya bertanya pada beberapa teman yang memiliki pengetahuan lebih tentang gaya belajarnya di sana. Satu hal yang kemudian saya temukan dari cerita teman saya. Terlepas apakah cerita itu benar atau tidak, namun tampaknya cerita ini dapat dijadikan contoh untuk diterapkan di lembaga yang ingin mendorong mahasiswanya menulis.

Model Buku Besar

Model yang digunakan di sana adalah model buku besar. Setiap kelas memiliki sebuah buku besar yang pemegangannya bergilir setiap hari. Setiap orang yang mendapat giliran memegang buku tersebut, wajib menulis di buku itu. Tulisan tidak dipaksa, bebas. Boleh puisi, cerpen, esai, atau artikel.

Pada hari berikutnya, buku itu digilir lagi ke teman yang lain. Begitu seterusnya. Sehingga dalam satu minggu minimal ada enam tulisan di buku itu. Berarti dalam satu bulan ada sekitar tiga puluh tulisan yang terkumpul. Dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh tulisan. Bukankah itu sudah menjadi buku yang cukup tebal?

Dengan metode seperti itu, siswa atau santri menjadi kecanduan untuk terus menulis. Apalagi, tulisan seorang siswa dapat dibaca oleh teman-teman sekelasnya dan diapresiasi. Tentu ada motivasi tersendiri untuk terus menulis yang lebih bagus lagi pada giliran berikutnya.

Metode buku besar tersebut sebenarnya hanyalah sebuah pancingan agar siswa dapat menulis. Sebab, setelah mereka merasa senang dengan menulis, di samping menulis buku besar, mereka menulis sendiri secara individu. Awalnya memang hanya main-main di buku besar namun ternyata dapat menjadi sungguhan.

Tak heran jika di kemudian hari banyak antologi cerpen, puisi, dan novel yang diterbitkan oleh santri atau siswa yang berasal dari Guluk-Guluk. Kalau pun tidak menulis secara pribadi, tulisan dalam buku besar tersebut dapat disisir kemudian dijadikan antologi bersama. Tentunya akan memiliki nilai lebih ketika tulisan itu dibukukan dan dibagikan ke teman-teman sekelasnya. Ada kenangan tersendiri.

Itulah metode yang kutemukan dari cerita teman tentang bagaimana pesantren di Guluk-Guluk melahirkan para penulis. Saya rasa metode ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh para civitas akademika Unesa. Bagaimanapun Unesa sudah memproklamirkan diri sebagai Pusat Kajian dan Gerakan Literasi. Itu artinya Unesa seharusnya dapat menjadi contoh teladan bagi perguruan tinggi lain untuk selalu menghasilkan tulisan.

Namun, saya sadari untuk memulai tentunya sangat sulit. Untuk menggerakkan para mahasiswa menulis dan juga dosen menulis tentu butuh perjuangan keras. Nah, tampaknya metode ini dapat dijadikan contoh untuk menggerakkan mahasiswa menulis. Saya yakin dengan metode ini, setiap tahun akan lahir ratusan tulisan dari para mahasiswa. Dan Unesa akan benar-benar berubah dan akan menjadi role model dalam dunia literasi.

Semoga bermanfaat!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun