Well, mari saya tunjukkan jurus yang diberikan kepada saya tadi: "Mas Syaiful Rahman, apa yang ada di pikiranmu adalah tulisanmu yang perlu memindahkan dalam bentuk tulisan. Pindahkan saja ke dalam tulisan. Jangan takut salah. Edit sesuai dengan racikan yang diinginkan. Yang penting tuangkan lebih dahulu ke tulisan. Hasilnya pasti buruk karena belum disunting tapi tidak apa-apa. Kemudian, sunting hasil tuangan itu."
Saya rasa pernyataan di atas, sebenarnya, bukan hal baru. Namun, sering dilupakan oleh kebanyakan penulis, khususnya penulis pemula (lebih khusus lagi saya, penulis pemula). Yang seringkali muncul pertama dalam benak penulis pemula adalah bagaimana membuat tulisan yang bagus. Padahal sang penulis belum menulis satu huruf pun. Hal yang sangat ironis dalam pikiran sehat.
Memang pemikiran tersebut tidak salah. Siapapun menginginkan suatu kesempurnaan. Itu naluri manusia. Tapi, sekarang mari berpikir realistis saja. Apakah seseorang dapat membuat kopi yang enak jika dia belum pernah membuat kopi walau hanya sekali?
Ya, lebih tepatnya adalah bagaimana kita berproses. Menulis sama dengan koki, demikian kata Tere Liye, sang novelis best seller. Yakni, yang paling penting dan pertama kali dipikirkan adalah menyalin isi pikiran ke atas kertas atau layar. Tak peduli apakah itu bagus atau buruk. Sebab kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Mengapa itu menjadi kunci utama? Tentu saja jawabannya adalah tanpa menyalin isi pikiran lantas apa yang mau disalin? (Masa kopi mau disalin ke kertas? Hehe) Oleh karena itu, menulis juga sering diistilahkan dengan menuliskan isi pikiran atau ide. Memang untuk penulis pemula hal ini tidak mudah. Sekali lagi itu karena yang dibayangkan adalah tulisan yang bagus.
Seorang penulis hebat sekalipun, saya berani mengatakan "pasti" pernah memiliki tulisan yang jelek. Tidak hanya jelek menurut orang lain bahkan menurut dirinya sendiri sekalipun. Tapi, mereka tetap menulis, menulis, dan menulis. Sebab menurut Tengsoe Cahyono, kunci untuk bisa menulis hanya "menulis". Tanpa menulis maka impian untuk menjadi penulis sama dengan memimpikan "es hangat". Dua hal yang berlawanan.
Selanjutnya, penulis pemula biasanya sering berpikir takut salah ketika ingin menuliskan idenya. Tentu saja hal itu menjadi hambatan yang kronis dalam menulis. Rasa takut akan membuat seseorang minder dan tidak percaya diri. Rasa takut selalu menjadi momok bagi orang yang ingin berubah. Sering saya contohkan, bukankah Tomas Alva Edison mengalami seribu kali kesalahan atau kegagalan sebelum menemukan lampu pijar? Atau bukankah ada beberapa orang peneliti justru menemukan hal baru karena kesalahan?
Lantas bagaimana tulisan penulis yang terkenal bisa menjadi hebat? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena setelah menulis itu diedit. Mengedit sebuah tulisan ini merupakan hal yang sangat penting untuk menghasilkan tulisan yang hebat. Bukan hasil tulisan pertama yang paling penting tapi tulisan setelah diedit. Kenapa demikian? Karena tulisan yang sudah diedit itu akan dikonsumsi oleh pembaca dan di situlah pembaca memberikan penilaiannya.
Kalau ingat apa yang dikatakan oleh seorang penyair ternama Sapardi Djoko Damono, ketika tulisan sudah jadi maka sang penulis mati. Bagaimanapun penilaian pembaca terhadap suatu tulisan, sang penulis sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun sang penulis berusaha menjelaskan melalui lisan namun hal itu menjadi percuma atau justru menenggelamkan tulisan itu sendiri. Bahkan bisa jadi sang penulis kehilangan pamor di mata publik. Itulah kenapa masa editing itu sangat penting dalam dunia kepenulisan.
Dalam masa editing, sebuah tulisan bisa saja ditambah, dikurangi, atau bahkan diganti. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghasilkan tulisan yang baik. Untuk itu, seorang editor harus berani dan tega terhadap tulisan. (Meskipun jujur saja, saya sering tidak tega untuk mengedit terlalu banyak terhadap tulisan saya sendiri.) Namun itu sama seperti belajar memindai isi pikiran ke dalam bentuk tulisan, hanya sebuah proses.
Memang ketika selesai menulis, sang penulis seringkali merasa tulisan itu sudah sempurna. Sehingga ketika yang penulis langsung mengedit maka cenderung tulisan tersebut tidak berubah sama sekali. Oleh karena itu, ada istilah masa pengendapan tulisan. Yaitu, membiarkan tulisan tanpa disentuh dalam waktu tertentu.
Setiap penulis memiliki masa yang berbeda-beda dalam melakukan pengendapan. Ada yang tiga hari, satu minggu, dua minggu, satu bulan, bahkan kabarnya, puisinya Chairil Anwar yang berjudul "Aku" mengalami pengeditan hingga satu tahun. Jadi, tak ada patokan khusus dalam masa pengendapan.
Pengendapan menjadi penting karena untuk menghilangkan subjektivitas penulis terhadap tulisannya. Semakin lama masa pengendapannya, konon, semakin bagus. Tapi, dalam proses editing agar tulisan itu bagus sebenarnya juga tidak bisa lepas dari kemampuan yang dimiliki oleh penulis waktu mengedit. Semakin baik kemampuan yang dimiliki oleh sang editor maka semakin bagus pula hasil akhir tulisan tersebut. Dan sebaliknya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Suyatno, M.Pd. di atas, dalam masa editing itu juga sang penulis dapat dengan mudah menentukan mau dibentuk seperti apa tulisan itu. Dalam istilahnya mau diracik bagaimana. Itu semua bergantung sang penulis. Bisa diubah menjadi esai, puisi, cerpen, atau apa pun. Yang paling penting dalam proses menulis adalah menulis. Titik.
Barangkali itu penjelasan singkat mengenai jurus yang diberikan oleh Kepala Humas Unesa di atas untuk menulis. Masih ada sepuluh jurus lagi yang insya Allah akan saya bahas di lain kesempatan. Semoga bermanfaat!