Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Nilai-Nilai Sosial dalam Novel "Bila Malam Bertambah Malam"

19 Juli 2024   07:00 Diperbarui: 19 Juli 2024   07:25 37 0
Biografi Penulis:

I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir 11 April 1944) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah seorang penulis drama, cerpen, esai, novel, skenario film dan sinetron. Putu sudah menulis dan mengenal sastra sejak ia masih duduk di bangku SMP. Karya pertamanya, cerpen "Etsa", dimuat di surat kabar harian Bali Sulu Indonesia. Ia pertama kali berakting di teater saat masih duduk di bangku SMA, di mana ia membintangi dan menyutradarai dramanya sendiri bersama grup yang ia dirikan di Yogyakarta. Putu bergabung dengan  Teater Benkel dari tahun 1967 hingga 1969. Setelah itu ia bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta. Ia pernah tampil dalam pertunjukan di Volkstheater. Selanjutnya pada tahun 1971 bergabung dengan Mandiri Teater  yang didirikan  dengan konsep ``Berawal dari apa adanya''.

Cerpennya sering dimuat setiap hari di majalah Kompas dan Sinar Harapan. Dua skenario film garapannya yakni Perawan Desa dan Kembang Kertas berhasil meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI). Ketertarikannya pada seni teater tidak diragukan lagi. Ia memimpin kelompok teater Mandiri sejak tahun 1971. Bersama timnya, Putu Wijaya telah banyak melahirkan produksi teater yang sukses  baik secara nasional maupun internasional, termasuk di Amerika Serikat.


"Bila Malam Bertambah Malam"

Sinopsis:

Novel "Biar Malam Bertambah Malam" mengisahkan tentang kesetiaan menopang cinta yang berbenturan dengan arogansi tatanan sosial yang menjadi ciri khas masyarakat. Kisah ini berlatar di Tabanan, Bali, dan menggambarkan kehidupan Gusti Bian, seorang bangsawan kuno yang merupakan sisa dari sistem feodal Bali. Gusti Vian masih ingin mempertahankan tatanan lama yang merayu orang berdasarkan kasta. Namun putranya, Ratu Ngurah, jatuh cinta pada Nyoman Niti, warga asli Gusti Bian yang mengakui kemandiriannya sebagai manusia. Guncangan tidak bisa dihindari akibat benturan antara nilai-nilai lama yang sudah membusuk dengan nilai-nilai baru yang hendak berkembang.

Novel ini bercerita tentang Nyoman, seorang gadis yang lahir dari keluarga kurang mampu. Nyoman tinggal dan diajar oleh Gusti Biang, janda seorang bangsawan yang sudah meninggal. Ia memiliki seorang anak bernama Ngurah. Gusti Biang mempunyai seorang asisten  bernama Wayan, seorang lelaki tua yang merupakan sahabat mendiang suaminya. Dan kuncinya ada di tangan Wayan, veteran Perang Kemerdekaan sekaligus kawan  I Gusti Ngurah Rai yang gugur dalam Perang Puputan dan setia mengabdi pada keluarga Gusti Biang selama bertahun-tahun. Siapakah Ratu Ngurah yang sebenarnya? Sejauh mana ia dan ibunya bisa menerima kenyataan yang diungkapkan wayang?

Karena Nyoman bukan anak bangsawan, Gusti Biang merasa bisa mengambil tindakan apa pun terhadapnya karena  menghidupkan kembali Nyoman. Seiring berjalannya waktu, Nyoman menjadi jengkel dan emosi dengan perlakuan Gusti Biang lalu pergi. Putra tunggal Gusti Biang, Ngurah, kembali ke tanah air. Gusti Biang menjadi sangat marah  ketika Ngurah mengatakan akan menikah dengan Nyoman,  bukan Sagun Rai, anak seorang bangsawan.

Dari bagian pertama bukunya, terlihat jelas bahwa Gusti Biang adalah seorang lelaki tua, yang pandangannya terpaku pada masa lalu, sering lekat dengan nostalgia. Dia juga orang yang sombong dan egois, dan dalam banyak situasi dia egois terhadap kasta dan darah bangsawannya sendiri dan tidak mempertimbangkan orang lain. Kalau tidak, ternyata dia mudah sekali mengubah perasaannya. Dia berubah dari marah menjadi bahagia dengan relatif cepat dan sebaliknya.

Meski seumuran dengan Gusti Biang, Wayan dinilai sebagai sosok yang jauh lebih rendah hati dan sabar. Ia sering  menenangkan karakter lain dalam cerita. Pada pandangan pertama, dia terlihat seperti orang yang periang dan baik hati, tapi dia bisa menjadi serius bila diperlukan. Kita juga melihat bahwa dialah yang paling peduli terhadap orang lain.

Nyoman menjadi orang termuda yang pernah tinggal bersama Gusti Biang dalam beberapa tahun terakhir, menjadikannya orang yang paling berbeda dari Gusti Biang. Gusti Biang memiliki jiwa dan sikap seorang pemuda yang keceriaannya kerap membuatnya iri. Keduanya sering bertengkar karena hal-hal kecil. Namun Nyoman juga peduli pada Gusti Biang dan sangat sabar merawat janda tua itu.


Tema:

Tema yang terdapat pada novel "Bila Malam Bertambah Malam" karya Putu Wijaya ialah tentang status sosil yang terjadi di suatu daerah di dekat rumahnya.


Nilai-nilai Sosial

Dalam novel "Bila Malam Bertambah Malam" terdapat beberapa nilai sosial yang tergambar dan dapat dianalisis:


Nilai Multikultural: Nilai Multikular adalah sebuah filosofi yang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Novel ini menggambarkan nilai-nilai multikultural seperti belajar hidup dengan perbedaan, membangun rasa saling percaya dan pengertian, menjaga rasa saling menghormati, dan berpikiran terbuka. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam interaksi dan penggambaran berbagai kelompok masyarakat dalam novel. Berikut penggalan dialog:
Nyoman: "Bapa Wayan!"
Bapa Wayan: "Apa Nyoman?" tanyanya tenang dengan suara penuh kasih
Nyoman: "Gusti Biang memanggil Bapa."


Nilai Budaya dan Ekonomi: Novel ini juga menggambarkan nilai-nilai budaya dan ekonomi, karena menggambarkan interaksi antara kelompok masyarakat yang berbeda dan aspek ekonomi dan militer masyarakat yang digambarkan dalam novel. Berikut penggalan dialog:
Gusti Biang: "Si tua itu tak pernah memenuhi tugas dengan segera, kalau aku sedang membutuhkannya. Tentu saja ia sedang berbaring di kandangnya, menembang seperti pemuda yang sedang kasmaran, sambil menghitung rusuk rumah yang tidak akan bertambah atau berkurang. Pura-pura tidak mendengar, dibiarkannya aku berteriak sampai pingsan. Sesudah aku pingsan atau lupa, baru dia datang dengan mukanya yang seperti buaya dan menjemukan. Wayaaan! Wayan Tuaaa!"
Bapa Wayan: "Nunas sugere, Gusti Biang"


Interaksi Sosial dan Rasa Hormat: Novel ini menggambarkan interaksi sosial dan pentingnya rasa hormat dalam masyarakat. Ini menggambarkan adegan di mana individu dari latar belakang sosial yang berbeda berinteraksi satu sama lain, menekankan pentingnya saling menghormati dan memahami. Berikut penggalan dialog:
Gusti Biang: "Tentu saja! Leherku sampai putus berteriak memanggilmu! Sejak kapan telingamu tidak bisa lagi dipakai baik-baik!
Bapa Wayan: "Tentu saja titiyang ada mendengarnya Gusti Biang, itu sebabnya titiyang datang."


Implikasi Terhadap Pembelajaran: Nilai-nilai sosial yang digambarkan dalam novel mempunyai implikasi terhadap pembelajaran dan dapat memberikan wawasan dalam konteks sejarah dan kemasyarakatan. Memahami dan menganalisis nilai-nilai ini dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika budaya dan sosial dalam narasi. Berikut penggalan dialog:
Gusti Biang: "Almarhum suamiku, tangan kanan raja yang meninggal tertembak Belanda, ah, Ratu Singgih! Gusti Ngurah Ketut Mantri pelindung dan pejuang yang gagah perkasa! Hanya takdir siallah yang menyebabkan beliau binasa!"


Amanat:
Pada novel ini banyak sekali mengandung berbagai nilai sosial yang mencerminkan multikulturalisme, dinamika budaya dan ekonomi, serta pentingnya interaksi sosial dan rasa hormat dalam masyarakat yang digambarkan. Sehingga amanat pada novel ini terdapat nilai sosial yang dapat kita ambil. Bahwa jelaslah sebagai makhluk bermasyarakat, kita tidak dapat dipisahkan dari makhluk lainnya. Karena kita saling membutuhkan. Kita harus bersikap setara sebagai makhluk hidup, tanpa membeda-bedakan kedudukan sosial, dan saling hormat-menghormati. Jika seseorang menyimpan rahasia, suatu saat kebenaran akan terungkap. Jika seseorang mengerjakan sesuatu dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, maka ia pun akan mendapat pahala yang baik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun