Pembahasan mengenai globalisasi merupakan sesuatu yang “seksi”. Sebab pembahasan mengenai hal tersebut penuh dengan dialektika erotis pada konteks kekinian. Oleh karena itu menarik jika kita sedikit “genit” untuk mencari tahu sejarah perkembangan globalisasi dan implikasinya bagi sistem kehidupan sosial. Untuk itu dalam tulisan ini penulis mencoba merajut literatur dari beberapa buku yang terkait. Dalam hal ini penulis bersumber dari tiga buku, yaitu: (1) “ Colonization To Globalization: ‘Might Is Right’ Continues ” yang ditulis oleh Zeenath Kausar; (2) “ The Globalization of Poverty “ yang ditulis oleh Michel Chossudovsky; dan (3) “ Global Dimensions: Space, Place and The Contemporary World “ yang ditulis oleh John Renni Short.
Globalisasi sendiri merupakan suatu sistem saling ketergantungan antar negara di seluruh dunia yang saling menguntungkan, baik dalam hal sospol maupun pembangunan ekonomi yang didasari oleh aturan hukum. Sedangkan menurut IMF, globalisasi merupakan pertumbuhan saling ketergantungan ekonomi antar negara di seluruh dunia melalui peningkatan volume dan berbagai transaksi barang dan jasa melalui lintas perbatasan dan arus modal internasional, dan juga melalui penyebaran difusi teknologi yang cepat dan luas.
Perkembangan globalisasi di dunia tidak lepas dari pengaruh negara Barat. Dimana secara tradisional perkembangan globalisasi dapat ditelusuri melalui jejak-jejak pada jaman kolonisasi di negara Barat. Sedangkan secara eksternal kolonisasi negara Barat tidak dapat diacuhkan, walau pada awalnya melalui kegiatan perdagangan yang masuk ke wilayah Timur dengan misi kebudayaan dan kemanusiaan. Hingga akhirnya misi ini menciptakan kolonisasi intelektual, pembentukan sistem negara-bangsa, dan kontrol Eropa-Amerika dalam ekonomi dan teknologi informasi.
Sementara secara modern, globalisasi dapat dilihat berikutnya pada sistem sebuah negara. Konsekuensi yang umum terjadi dari perkembangan globalisasi membuat beberapa kalangan cendikiawan muslim pada akhirnya mulai menerima beberapa ideologi barat, meliputi sekulerisme dan nasionalisme yang terjadi pada saat kaum muslim juga sedang mengalami kolonisasi. Contoh terbaik untuk menggambarkan ilustrasi ini adalah negara Arab dan Turki. Pada akhirnya banyak negara-negara yang harus beradapatasi dengan sistem-sistem Barat tersebut.
Kolonisasi barat pun telah memasuki fase yang amat vital yaitu kontrol ekonomi dan teknologi informasi (IT). Badan organisasi ataupun agensi seperti GATT, IMF, dan lain sebagainya sebenarnya merupakan sarana yang secara ‘gamblang’ bagi barat untuk lebih mendominasi dunia. Melalui institusi finansial, mereka berharap negara-negara non-barat akan memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap barat, yang pada akhirnya maksud dan tujuan ‘globalisasi’ mereka dapat terlaksana. Maka dari itu, proses kolonisasi sebenarnya masih terus berlanjut hingga pada saat ini, namun dengan kemasan yang lebih apik dan telah berhasil memberikan khayalan-khayalan pada negara-negara yang telah terjerat oleh pihak barat.
Sistem kolonial terus tumbuh dan berkembang hingga pengeksploitasian dari bagian besar kemanusiaan oleh kekuatan kolonial Imperialis Barat sulit untuk dideteksi dan dihentikan. Kausar menyatakan bahwa sistem kolonial sulit untuk dipertahankan jika para aliansi tidak memberikan kesempatan untuk kaum imperialis hingga ke berbagai lapisan masyarakat di dalam koloni. Oleh karena itu strategi populer dari kekuatan kolonial adalah beraliansi dengan beberapa elite dan tokoh kaum pribumi untuk membangun kekuasaannya pada negara jajahannya dengan kepentingan ekonomi dan politik pribadi. Woodis menegaskan strategi penting yang di adaptasi oleh kaum kolonialis adalah ‘divide et impera’ yang sangat membantu kaum kolonialis membangun dan melanjutkan penjajahan. Ia menegaskan bahwa ‘divide et impera’, adu domba seputar kebangsaan, suku, agama antara satu dengan yang lain menjadi hal yang paling essensi dari kolonialisme.
Sangat jelas sistem kolonial memiliki implikasi yang sangat buruk bagi tata kehidupan manusia. Pemanipulasian dan pengeksploitasian oleh penjajah kepada terjajah menyebabkan Negara terjajah semakin ‘tergerogoti’ baik SDA maupun SDM- nya, yang pada akhirnya menguntungkan bagi kaum penjajah dan yang terjajah semakin termarjinalisasikan dan tertindas. Dengan demikian sangat jelas bahwa kolonialisme mempunyai misi dan kepentingan pribadi bukan ‘memberdayakan yang tidak berdaya’, tetapi Imperialisme untuk mengkontrol sebagian besar dunia. Pada kenyataannya, kekuatan kolonial tidak akan pernah memberikan kebebasan kepada koloninya karena kebebasan dan otonomi untuk koloni berarti berakhirnya kerajaan Imperialisme mereka.
Sementara menurut John Renni Short perkembangan globalisasi di dunia dapat dilihat melalui tiga fase sepanjang sejarah (Round of Globalization). Pertama, pada tahun 1492 sampai 1865. Fase pertama dari globalisasi digerakan oleh kebutuhan dan perputaran ekonomi. Globalisasi ekonomi pada tahap ini adalah sebuah proses dimana hasil produksi lokal memasuki ruang lingkup perekonomian global yang menjadi terglobalisasi akibat pasar-pasar yang saling terhubung satu sama lain. Cara-cara dan praktek perekonomian lokal tertransformasikan karena adanya hubungan dengan sistem perdagangan dunia. Geopolitik global didominasi oleh nasionalisme ekonomi yang memiliki kepercayaan bahwa kepentingan negara meningkatkan pertumbuhan perekonomian, dan cara untuk melakukan hal tersebut melalui promosi perdagangan ke luar negeri. Akibatnya negara menjadi terinternasionalisasi dengan misi utamanya untuk meningkatkan perdagangan luar negeri, menguasai sumber daya dan mendorong kolonisasi.
Selain itu negara diarahkan untuk melakukan ekspansi dan tindakan internasional, sehingga batas antara peran sebagai aktor global atau aktor nasional tidak lagi jelas. Dalam konteks ini disaat kepentingan global terhubung dengan reposisi global, dengan demikian negara menjadi aktor internasional. Fase pertama dari perkembangan globalisasi secara budaya pada akhirnya menciptakan asimilasi budaya diantara budaya pendatang dengan budaya lokal. Dalam hal ini pengaruh negara-negara di belahan benua eropa sangat dominan terhadap negara-negara timur.
Kedua,pada tahun 1865 sampai dengan tahun 1989. Fase kedua ini ditandai dengan makin menguatnya globalisasi ekonomi dan terjadinya internasionalisasi politik yang semakin berkembang dan globalisasi budaya yang makin meluas. Menguatnya pertumbuhan ekonomi pada masa ini dipengaruhi oleh terjadinya perubahan pada sistem transportasi yang mempengaruhi interaksi secara ruang dan waktu, contohnya penemuan kereta api. Akibat perkembangan pada bidang transportasi tersebut, jarak dan waktu menjadi semakin dekat sehingga interaksi diantara negara-negara menjadi semakin mudah. Di fase kedua ini kemudian paham imperialisme pun turut berkembang. Imperialisme berkembang di benua Eropa dan Amerika sebagai negara koloni. Akibat dari paham imperialisme ini pula globalisasi dalam sektor budaya berkembang pada fase kedua ini.
Ketiga, terjadi sejak tahun 1989 sampai tahun-tahun berikutnya dimana globalisasi telah mencakup ketiga sektor politik, ekonomi, dan budaya. Reglobalisasi atau fase ketiga ini ditandai dengan meningkatnya globalisasi ekonomi, politik dan budaya. Arus globalisasi telah meninggalkan warisan yang telah memberikan dampak bagi negara-negara yang terkena arus globalisasi. Pada kelanjutannya dampak globalisasi yang ada pada sebuah negara yang akan mempengaruhi hubungan selanjutnya dari negara tersebut kepada negara lainnya. Menurut J. Renni bumi laksana sebuah rangkaian tempat yang mengalami proses yang berulang-ulang dari reglobalisasi, contohnya seperti kota Sydney di Australia.
Implikasi globalisasi
Globalisasi satu sisi memiliki implikasi yang positif bagi perkembangan ekonomi suatu negara, akan tetapi pada kenyataannya skenario globalisasi ini hanyalah dibuat semata-mata oleh orang orang yang berkepentingan (western world) dengan maksud mendominasi. Dimana hal ini sebenarnya hanya khayalan belaka untuk sebagian besar non-western world (negara-negara selain di barat). Semua harapan jutaan orang di seluruh dunia telah sirna ketika mereka menyadari bahwa sebenarnya globalisasi itu hanyalah sebuah permainan negara barat untuk mendominasi secara menyeluruh di dunia. Seluruh negara yang menaruh kepercayaan pada kerjasama finansial multinasional dan internasional, organisasi-organisasi, bank, dan semua isu pembangunan ekonomi telah menyadari bahwa mereka telah dengan cerdik ditipu.
Oleh karena itu secara kritis globalisasi hanyalah sebuah trik semata dari pihak-pihak barat untuk dapat masuk ke dalam negara-negara di seluruh dunia dalam menanamkan hal-hal yang berkaitan dengan saling bekerja samanya seluruh negara-negara di dunia, saling ketergantungan antar negara, pembangunan bersama, dan hal lainnya, yang ternyata hanyalah sebuah intrik yang telah disiapkan secara matang untuk dapat mendominasi dunia.
Pada hakikatnya mereka (barat) sedang menjajah negara-negara di dunia ini dengan cara yang berbeda. Menurut Ali A. Mazrul, globalisasi itu adalah homogenisasi dan hegemonisasi. Contohnya adalah pada dress-code atau cara berpakaian. Pada abad 20, cara berpakaian di rata-rata pada tiap negara menjadi sama dimana kesamaan ini adalah sama dengan cara berpakaian ala barat, yang dimana dapat menunjukan suatu hegemoni di masyarakat luas terhadap cara berpakaian barat. Contoh kedua adalah dari segi bahasa, dimana bahasa barat (inggris) menjadi bahasa global, hal ini juga memperlihatkan homogenitas dan lagi-lagi menjadi sebuah hegemoni yang mendunia sebagai western hegemonization.
Hal-hal lain pada situasi homogenisasi dan hegemonisasi yang menjadi gaya hidup masyarakat luas juga telah berhasil mereka masuki, sebagai contoh kasar adalah branded (merk) barat yang telah berhasil masuk ke pasar global dan menjadikannya sebagai sebuah lifestyle. Merk-merk ini telah berhasil mendunia dan populer, dimana hal ini sebenarnya telah merasuk menjadi sebuah ideologi, budaya, dan komoditas yang berpengaruh secara global. Melalui globalisasi, masyarakat luas benar-benar diperdaya oleh konteks internasional guna mengoptimalkan pembangunan di negaranya masing-masing. Namun yang terjadi sebenarnya mereka sedang mengalami proses penjajahan yang intens oleh pihak barat untuk dapat mendominasi masyarakat luas, melalui sospol, budaya, informasi, teknologi, dan hal lainnya.
Globalisasi yang dimaknai sebagai sebuah kolonialisme pada akhirnya di masa kekinian bertransformasi menjadi Neo-Kolonialisme. Para ahli menegaskan bahwa Neo-Kolonialisme mempunyai efek destruktif yang lebih besar daripada kolonialisme. Seperti halnya kolonialisme, agent-agent Neo-Kolonialisme meliputi kekuatan internal dan eksternal. Kekuatan eksternal adalah kekuatan negara-negara Eropa besar dan United States, yaitu sebagai kekuatan Barat. Sedangkan kekuatan internal termasuk di dalamnya beberapa elit- elit politik dan intelektual yang mempunyai kepentingan pribadi. Karena itu, mereka beraliansi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kekuatan eksternal neo-kolonialisme.
Neo-kolonialisme bisa juga digambarkan sebagai bentuk imperialisme, karena kekuatan- kekuatan imperial melakukan peran yang menentukan di dalam ekonomi, politik dan kesemua hal-hal pada daerah jajahan secara tak langsung. Bekas-bekas negara jajahan memang sudah diberikan kemerdekaan tetapi mereka tetap diatur dari luar dengan berbagai bantuan dari beberapa elit dan strata ekonomi, politik, kaum intelektual dari kaum pribumi.
Implikasi neo-kolonialisme umumnya ada 3 hal, yaitu: Pertama, membodohi masyarakat dan membuat mereka mengira bahwa negaranya telah merdeka tetapi pada kenyataannya neo-kolonialisme menciptaan “pseudo-administrator states”. Maksudnya adalah pemimpin negara pribumi muncul sebagai administrator negara tetapi kekuatan imperial mengatur negara itu secara tak langsung. Kedua, neo-kolonialisme melanjutkan hal yang sama seperti kolonialisme terdahulu, yaitu pengeksploitasian SDA dan SDM sampai eksploiter-eksploiter pribumi. Ketiga, neo-kolonialisme menciptakan pemimpin bangsa yang tidak patriotik, yang memakan daging bangsanya sendiri. Dengan cara ini mereka membantu membangun dan memperkuat desain imperialis yang terjadi di negaranya dan bahkan mereka memperlemah kekuatan politik dan ekonomi negaranya sendiri.
Dampak buruk dari globalisasi pada akhirnya menciptakan kemiskinan. Michele Chossudovsky berusaha memetakan gambaran mengenai kemiskinan di beberapa negara akibat perkembangan globalisasi ini. Kemiskinan pada negara-negara tersebut salah satunya disebabkan oleh liberalisasi perdagangan bebas yang dilakukan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) serta kebijakan ekonomi yang ‘dipaksakan’ untuk diterapkan pada negara-negara tersebut oleh lembaga keuangan dunia semacam Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund). Michele Chossudovsky melalui bukunya memaparkan mengenai studi kasus dari beberapa negara yang terkena kebijakan reformasi ekonomi yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Michele Chossudovsky menganalisis masa lalu dan masa kini dalam kaitannya dengan utang, globalisasi dan pendanaan internasional. Ia menggambarkan bagaimana lembaga keuangan dunia (IMF, Bank Dunia, dll) yang menghancurkan negara-negara lain dan memiskinkan mereka dengan kedok kapitalisme dan kebebasan. Ia juga memaparkan dengan jelas proses dolarisasi dan perannya di New World Order (Tatanan Dunia Baru).
Bank Dunia, IMF dan WTO menyebut kebijakan ekonomi yang mereka lakukan dengan istilah “reformasi ekonomi”. Istilah “reformasi ekonomi” yang diberlakukan pada negara-negara yang mengalami kesusahan tidak lain sebenarnya merupakan “pembunuhan” terhadap negara-negara tersebut. Sistem “pasar bebas” yang mereka lakukan dimanipulasi, perjanjian WTO justru memberikan hak istimewa dan berlebih kepada para konglomerat terbesar di dunia keuangan maupun industri, serta mengendalikan kemampuan pemerintah nasional dengan mengatur perekonomian negaranya. Program yang dilakukan IMF memacu pemerintah negara yang mengalami kesusahan memprivatisasi besar-besaran “kue ekonomi” mereka, melakukan liberalisasi pasar dan menghemat pengeluaran yang terkait kesejahteraan sosial masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.
Pasar bebas yang diterapkan justru identik dengan kemiskinan manusia, kerusakan alam dan lingkungan, apartheid (Afrika), rasisme dan perselisihan antar etnis, mengabaikan hak-hak perempuan, dis-lokasi ekonomi, pemindahan paksa atau penggusuran dan pengungsian, petani gurem, pabrik harus ditutup akibat bangkrut dan kehilangan pekerjaan yang menyebabkan pengangguran. Lebih lanjut Michele Chossudovsky menuduh IMF dan Bank Dunia telah mendukung penggunaan kekayaan global yang dilakukan oleh para spekulan melalui mekanisme manipulasi pasar mata uang dan komoditas. Parahnya, data statistik ekonomi dimanipulasi sendiri untuk menunjukan bahwa kebijakan yang mereka lakukan bekerja sesuai dengan yang seharusnya.
Legitimasi reformasi “pasar bebas” bersandar pada ilusi serta ditopang melalui manipulasi secara terang-terangan melalui data ekonomi dan sosial yang termasuk bagian angka pada kemiskinan. Bank Dunia memperkirakan bahwa 18 persen dari dunia ketiga adalah sangat miskin dan 33 persen adalah miskin. Dalam studi Bank Dunia, garis kemiskinan global secara sewenang-wenang ditetapkan pada pendapatan per kapita sebesar US $ 1 per hari. Sedangkan yang berpendapatan diatas US $ 1 per hari dianggap sebagai “tidak miskin”.
Melalui manipulasi data statistik pendapatan kotor, Bank Dunia melayani tujuan yang berguna mewakili orang miskin di negara berkembang sebagai kelompok minoritas. Bank Dunia, misalnya memperkirakan bahwa di Amerika Latin dan Karibia hanya 19 persen dari populasi negara tersebut adalah ‘miskin’, sebuah distorsi kotor ketika kita mengetahui bahwa fakta di negara-negara bagian Amerika (dengan pendapatan per kapita tahunan lebih dari US $ 25.000) didefinisikan oleh Biro Sensus Amerika berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini merupakan penilaian subjektif dan bias yang dilakukan, terlepas dari kondisi aktual pada masing-masing negara. Dengan liberalisasi pasar komoditas dalam negeri, harga bahan makanan pokok di negara berkembang telah mengalami kenaikan. Standar satu dolar per hari tidak memiliki dasar rasional, hal ini bisa terlihat pada kelompok populasi di negara berkembang walaupun memiliki pendapatan per kapita 2,3 atau bahkan 5 dolar per hari tetap dikategorikan miskin (karena mereka tidak dapat memenuhi pengeluaran dasar pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan).
Di sisi lain, UNDP (salah satu organisasi PBB yang menangani program pembangunan) merancang ‘Indeks Kemiskinan Manusia’ (Human Poverty Index / HPI) berdasarkan dimensi kekurangan yang paling mendasar, yaitu: rentang lamanya hidup, pendidikan dasar dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesejahteraan. Perkiraan kemiskinan yang diajukan oleh UNDP menggambarkan pola yang lebih menyimpang dan menyesatkan daripada yang dilakukan oleh Bank Dunia. Hal ini dapat dilihat bahwa 10,9 persen dari populasi penduduk Meksiko dikategorikan oleh UNDP sebagai ‘miskin’. Kenyataannya, situasi yang diamati di Meksiko selama dua puluh tahun terakhir terjadi pengangguran massal, lumpuhnya pelayanan sosial, pemiskinan petani kecil dan penurunan secara dramatis dalam pendapatan riil yang dipicu oleh devaluasi mata uang secara berturut-turut.
Parahnya dampak dari hal tersebut membuat negara-negara berkembang mengalami beban hutang yang terus meningkat secara signifikan. Jumlahnya pada tahun 1970 berkisar 62 milyar dolar Amerika, kemudian meningkat tujuh kali lipat pada tahun 1980 menjadi 481 milyar dolar Amerika lalu pada tahun 1998 jumlah utang ini meningkat 32 kali lipat menyentuh angka 2 trilyun dolar Amerika. Hal ini terjadi karena lembaga-lembaga pendanaan internasional seperti IMF dan Bank Dunia berusaha terus untuk mengelola utang-utang tersebut yang ditujukan untuk mengarahkan agar negara-negara peminjam secara formal terus berada dalam jeratan utang.
Melalui berbagai macam rekayasa sistem keuangan dan pengelolaan utang, pembayaran dirancang untuk ditangguhkan kemudian secara paksa menawarkan sistem-sistem pembayaran baru yang dibuat secara menarik. Strategi untuk tetap menjerat negara-negara berkembang dengan utang adalah untuk menghalangi negara-negara tersebut membuat kebijakan ekonomi yang mandiri. Jika negara-negara berkembang tidak mau menerima kebijakan tawaran keuangan maka dapat dipastikan negara tersebut akan menghadapi masalah yang sulit dalam melunasi hutangnya atau memperoleh pinjaman baru serta tidak akan memperoleh bantuan internasional. Selain itu negara tersebut pun akan dimasukkan dalam daftar hitam negara yang tidak patuh terhadap aturan dari lembaga-lembaga tersebut. Kondisi ini ibarat rentenir atau “lintah” penghisap darah sampai si korban lemas tidak berdaya karena banyaknya darah yang dihisap oleh sang “lintah”.
Dengan katalain globalisasi merupakan penaklukan suatu negara terhadap negara lain bukan dengan jalan “peluru”, akan tetapi melalui jalan pemberian pinjaman “kertas bernilai (baca:uang)”. Setiap bangsa yang menderita dipaksa harus bertahan sampai mereka menerima manfaat dari globalisasi. Pembatasan investasi luar harus dihilangkan, dilakukan privatisasi fasilitas bersama milik negara, dan pekerja tidak di-PHK tetapi upah mereka dikurangi. Mata uang lokal di negara-negara yang menjadi “korban” sistem pinjaman hutang, pada akhirnya harus menyesuaikan dengan dolar Amerika, yang memiliki dampak spiral inflasi yang sangat intens. Ketika inflasi, hasilnya rakyat tingkat bawah mengalami tekanan yang meningkat, termarjinalkan atau dilanda kelaparan serta tidak berdaya. Pada akhirnya kerusuhan sipil tidak terelakkan, karena hal tersebut bukanlah pilihan.
Chossudovsky menggambarkan beberapa kasus di berbagai negara di dunia yang terkena dampak dari produk globalisasi berupa “pinjaman hutang”, sebagai berikut:
Vietnam: Ada perang baru setelah perang senjata di Vietnam yaitu perang yang tercipta dari konsumerisme gaya barat di Saigon dan Hanoi yang bertolak belakang dengan kondisi kelaparan di tingkat lokal dengan kenaikan harga pangan yang tinggi yang pada akhirnya reformasi ekonomi yang dilakukan oleh IMF gagal menciptakan pemerataan. Justru yang terjadi adalah perkembangan ekonomi yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi sebaliknya sebagian besar masyarakat Vietnam tidak menikmati kondisi tersebut. Perang antara penduduk kota dan desa yang diakibatkan harga kebutuhan pangan meningkat tajam/tinggi, terjadi kelaparan ditingkat desa, PHK dengan skala masif oleh pekerja di sektor industri. Setelah perang senjata Vietnam mendapatkan pinjaman dari IMF yang tujuannya untuk perbaikan pasar ekonomi Vietnam sebesar 1,88 miliar dollar pinjaman diberikan setelah Amerika membuka embargo terhadap Vietnam oleh kelompok negara-negara donor yang istilahnya disebut “Paris Club”. Persoalannya adalah disatu sisi IMF memberikan pinjaman hutang, kemudian IMF menagih hutang yang digunakan Vietnam Selatan untuk membiayai perang yang oleh Michele Chossudovsky disebut dengan istilah “hutang yang buruk”.
Kemudian Chossudovsky menegaskan akan ketakutan serta kecurigaan mengenai kembalinya kolonialisme dan perbudakan ekonomi. Tanpa bayangan keraguan, bahwa ada kampanye yang disengaja dan sistematis “genosida ekonomi” terhadap Afrika dan seluruh negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Investasi pada akhirnya benar-benar tidak lebih dari ‘pengupasan aset’ yang dimiliki oleh negara-negara tersebut.
Somalia: struktur sosial seluruh perekonomian tradisional yang berbasis pada pertanian pedesaan serta peternakan nomaden perlahan “dihancurkan” dan diganti dengan adanya daging sapi serta produk susu dari Uni Eropa. Hal ini menyebabkan penggembala nomaden di Somalia menjadi kelaparan. Program IMF dan Bank Dunia yang telah menyebabkan ekonomi masyarakat Somalia masuk ke dalam lingkaran setan. Sehingga akhirnya pemerintah Somalia memiliki hutang yang cukup besar.
Rwanda: restrukturisasi sistem pertanian yang dilakukan dibawah pengawasan IMF dan Bank Dunia menyebabkan penduduk Rwanda menjadi miskin. Jatuhnya harga kopi menimbulkan kerusakan ekonomi yang sangat parah sehingga memicu ketegangan antar etnis suku Hutu dan Tutsi yang mengarah pada genosida atau pembunuhan etnis.
Sub-Sahara Afrika: ekspor apartheid dilakukan sepanjang bagian selatan benua Afrika mulai dari Angola sampai Mozambique melalui penguasaan atas lahan oleh The Boers (tuan tanah kulit putih) yang dijadikan lahan pertanian komersil dan eko-wisata, dalam hal ini mendapat dukungan dari Bank Dunia dan WTO. Akibatnya masyarakat lokal justru kehilangan atas kepemilikan lahan dan menjadi buruh tani diatas tanahnya sendiri.
Ethiopia: program penyesuaian struktural SAP (Structural Adjustment Programme) dari IMF dan Bank Dunia yang memotong anggaran sosial telah menaburkan benih-benih kelaparan di Ethiopia.
India: pencabutan upah minimum dan dukungan dari eksploitasi kasta yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia pada akhirnya menciptakan kesenjangan sosial yang sangat tinggi.
Bangladesh: Devaluasi dan liberalisasi harga yang diperparah dengan kelaparan dan deregulasi pasar melalui kebijakan dumping gandum Amerika membuat masyarakat Bangladesh tidak lepas dari jerat hutang setiap tahunnya.
Brazil: Pada saat itu negara Brazil mengalami peralihan dari negara Otoritarian (negara yang dipimpin oleh militer) menjadi negara demokratis. Pemimpin negara yang dipilih secara demokratis ternyata tidak membawa dampak perekonomian yang baik bagi masyarakat Brazil. Banyak skandal yang terjadi pada saat itu, hutang yang dilakukan pada rejim itu melalui program yang ditawarkan oleh donor adalah anti inflasi justru peningkatan suku bunga yang membuat program tersebut gagal. Akhirnya negara Brazil meminjam hutang sebesar 100 miliar dollar. Pada tahun 80-an bunga yang harus dibayarkan saja sebesar 90 millar dollar sedangkan hutang pokok hanya 120 miliiar dollar (hampir mendekati hutang pokok itu sendiri). IMF menawarkan sesuatu yang baru untuk memperbaiki ekonomi melalui upah buruh yang ditekan, eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan dengan memprivatisasi BUMN kepada asing malah semakin membuat perekonomian memburuk di Brazil. Kemiskinan semakin nyata dengan perjanjian ini. Untuk mengatasi kemiskinan secara makro ekonomi, maka pemerintah membuat buruh tani yang ada di desa menjadi pekerja pasar dan peningkatan polarisasi sosial dengan mendukung kelas pemilik tanah. Akan tetapi justru ini membuat tingkat pengangguran dan kemiskinan di kota semakin tinggi. Pada akhirnya negara donor mengontrol birokrasi pemerintah dan politisi negara menjadi bangkrut dan asetnya dijual melalui program privatisasi.
Peru: Setelah adanya liberalisasi, harga roti di Peru meningkat menjadi lebih dari 12 kali lipat.
Rusia: Akibat produk globalisasi membuat sistem pemrintahan membantu oligarki dari kebijakan IMF dan Bank Dunia.
Yugoslavia: Melayani kepentingan strategis Jerman dan Amerika serikat dengan memotong arteri keuangan antara Beograd dan Republik, yang dampaknya membuat kesejahteraan sosial masyarakat kurang diperhatikan.
Korea, Thailand, Indonesia: Merupakan negara “macan asia” yang telah kehilangan taringnya. Dana dari bank sentral (US $ 100 Milyar) telah dijarah oleh spekulan internasional. Bentuk jaminan negara-negara tersebut ditanggung dan dijamin oleh bank yang sama dimana Wall Street terlibat dalam serangan spekulatif ini. Akibatnya tingkat kemiskinan dan pengangguran di negara tersebut sangat tinggi.
Dilematis tapi optimis
Berkembangnya globalisasi pada akhirnya memunculkan konsep “ might is right ” atau yang kuat yang menentukan. Istilah “ might is right”, pada awalnya dapat dilihat pada zaman kolonisasi oleh negara Barat. Dimana mereka mendominasi perdagangan dan perekonomian dari negara jajahannya. Yang kuat yang menentukan adalah sebuah simbol kekuasaan pada saat itu dan menjadi beban yang amat berat bagi bangsa yang dijajah, karena eksploitasi habis-habisan terhadap hak hidupnya.
Istilah ini sangatlah mengusung sebuah beban tersendiri bagi negara yang telah terjerat dalam jaring globalisasi Barat. Hutang finansial, hutang politik dan juga telah mempertaruhkan nilai-nilai kemanusiaan serta budayanya sendiri. Proses ini menurut Shireen T. Hunter yang pada intinya mengatakan bahwa pihak barat hanya tertarik kepada kebutuhannya sendiri, seperti dalam konteks mempromosikan demokrasi. Tidak jarang pihak Barat ikut campur dalam berbagai hal seperti politik suatu negara yang dibalik semua itu terdapat kepentingan barat itu sendiri. Barat masuk melalui kebudayaan dan telah banyak mengambil alih pemikiran-pemikiran kritis pada cendikiawan yang telah terpengaruh ideologi barat.
Terdapat dimensi-dimensi tertentu dalam perihal “might is right”, yaitu dimensi ekonomi dan budaya. Mengapa 2 hal tersebut? Karena kedua hal tersebut merupakan fondasi awal suatu bangsa. Bangsa yang telah di eksplotasi ekonomi dan kebudayaannya maka secara mudah dapat dihancurkan karena bangsa tersebut menjadi lemah karena tidak lagi memiliki nilai-nilai luhur dalam berbangsa.
Karena sudah menguatnya dan mengakarnya globalisasi di dunia, pada akhirnya negara-negera berkembang tidak bisa lepas dari cengkramannya. Jikapun ada solusi kiranya itu sangat sulit dilakukan selama tidak ada resistensi secara struktural dan massif oleh negara-negara berkembang tersebut. Namun bukan berarti lantas pesimis, sebab globalisasi merupakan keniscayaan. Kepesimisan itu dapat dilawan dengan melakukan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat oleh negara melalui jalan kemandirian dan meminimalisir pinjaman hutang ke IMF dan Bank Dunia, bahkan menghentikan pinjaman hutang kalau perlu. Sebuah simpul, globalisasi ibarat pohon yang rimbun, ia membuat teduh dibawah tetapi belum tentu berbuah manis.
Jakarta, 14 September 2012
* Sebuah tulisan ringkas
*Lebih lengkap mengenai tema di atas dapat dibaca dari 3 buku yang penulis tulis di paragraf awal..