Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Esai dan Maut dari Bogor

9 Juli 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09 435 0
Oleh Syaifuddin Gani

Ahad, 2 Agustus 2009. Saya meninggalkan Kendari dengan menghikmati sebuah titah Nabi Muhammad, "barang siapa yang ke luar rumah karena menuntut ilmu maka ia telah berjuang di jalan Allah sampai ia pulang kembali".

Saya harus melaksanakan salat Magrib di udara, karena pesawat Lion berangkat dari Kendari, sore hari. Bergetar juga salat di udara, apalagi malam mulai menyergap. Selain karena getaran badan pesawat, juga ada getaran lain yang bersumber dari hati saya. Menumpangi pesawat, bagi saya, selalu siap untuk menghadap-Nya. Jangan-jangan memang penerbangan ini adalah sebuah tiket menuju ke landasan haribaan-Nya. Di udara, saya takzim dan kagum menikmati cakrawala yang kemerahan seperti sebuah garis tegas-sejak dari Kendari-sampai mulai kecoklatan hingga berwarna legam. Sempat saya menulis sajak di dalam pesawat,

Garis api menelikung langit

Gelembung legam gelombang diam

Berdiang dalam tungku maharaya

Turun di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, udara terasa panas. Setelah mengambil koper, saya langsung menuju terminal dan menyetop Damri, menuju Pusat Bahasa, Jakarta. Setiba di wisma Pusat Bahasa, saya berjumpa dengan kawan-kawan penyair dan penulis dari Gorontalo, Pontianak, Medan, Jakarta, Lampung, Bali, Banten, Maluku, dan Surabaya. Kami akan mengikuti sebuah program penulisan esai se-Asia Tenggara yang diikuti penyair dan penulis Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Kegiatan ini disebut Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera):Esai. Yah, saya akan belajar dan diajar menulis esai, sebuah genre penulisan, selama enam hari di Wisma, Arga Mulya, Cisarua, Bogor.

Senin, 3 Agustus 2009. Bersama penyair dan penulis Brunai serta Singapura, kami menumpangi mobil yang disiapkan panitia menuju Cisarua, Bogor. Hal yang menjadi pertanyaan bersama adalah peserta Malaysia tidak datang. Informasi yang didapat panitia dari pihak Malaysia, pemerintah tidak "meluluskan" mereka ke Indonesia mengikuti kegiatan tahunan ini. Segera saja, "lagu lama" tentang hubungan sesama negeri jiran ini mengalun lagi. Kami pun menduga-duga mungkinkah karena hubungan Indonesia dan Malaysia yang kadang tidak sedap menjadi penyebabnya? Apakah kasus TKI, Blok Ambalat, dan klaim budaya menjadi penyebabnya? Ah, di televisi berita tentang Manohara dan Sultan Kelantan masih ramai menjadi sebuah "drama telenovela" yang mengharu biru.

Sepanjang Jakarta, hotel berbintang, gedung pencakar langit, dan jalan layang menjadi pemandangan yang menakjubkan sekaligus membosankan. Panas terasa mendesak hingga ke dada. Jarak pandang hanya sekian kilometer belaka. Kabut hitam akibat efek rumah kaca dan asap industri menyelubungi langit Jakarta. Sehingga konon, udara kota ini sangat buruk dan kotor melewati batas maksimal ketercemarannya.

Saya membayangkan, seandainya kali yang diapit kompleks pasar buah Wua-Wua diberdayakan pemerintah Kota Kendari menjadi objek wisata yang khas, Kendari akan memiliki daya tarik bagi siapapun. Saya selalu takjub dengan laut di bawah "Jembatan Triping" yang menjorok ke dalam area pertambakan penduduk karena keunikan dan kejernihan airnya. Di kiri dan di kanan terdapat pohon-pohon bakau (yang mulai tergerus), menjadikan lokasi itu sangat spesial dan potensial. Saya memimpikan, suatu saat nanti (entah kapan), diadakan lomba dayung katinting yang bertolak dari depan Kendari Beach dan melintas di bawah Jembatan Triping sebagai titik finis. Seandainya ini terjadi, kita telah menyelamatkan dan menghidupkan banyak hal, antara lain: katinting sebagai produk budaya lokal, hutan bakau sepanjang teluk, potensi wisata, dan air laut yang jernih. Tetapi sepertinya, itu memang sekadar mimpi, karena bakau kehilangan daya pukau. Ia kini ditimbuni tanah buat pembangunan yang merajalela!

Yah, kami segera memasuki kota hijau Bogor yang dipelihara angin segar. Di kiri-kanan jalan, pohon-pohon merimbun. Di buki-bukit jauh, kabut memeluk puncaknya. Burung-burung beterbangan menanggalkan bunyi merdu. Menurut Arif Sanjaya, penulis Banten, Bogor adalah penyangga Jakarta. Masa depan Jakarta ada di hutan-hutan Bogor. Jika hutan Bogor dibabat lagi, maka bisa dipastikan Jakarta akan tenggelam. Di atas puncak bukit yang dingin itu, saya kembali menulis beberapa larik sajak:

Bukit-bukit ranum

Dingin berangsur-angsur

Lampu-lampu menganggur

Kabut lelehan benang diangsur

Melilit keheningan mengabur

2009

Ketika baris-baris di atas saya perlihatkan kepada penyair-novelis Mashuri, sambil mengutip pendapat seseorang ia mengatakan, tidak setiap kata-kata yang dipetik itu bisa menjadi puisi. Kata-kata yang dipetik itu, kemudian disimpan lagi di dalam lemari kata. Suatu waktu dibuka lagi dan ditimbang lagi, lanjutnya. Saya mengangguk dan kemudian kami tertawa, sambil (saya) menyelami makna kata-katanya.

Selama enam hari kami digembleng menulis esai. Esai yang telah kami kirim sebelumnya, sebagian besar tidak termasuk genre esai, hanyalah sebuah artikel atau makalah. Menurut Agus R. Sarjono, sebagai pemateri, kalau karya ilmiah menghilangkan sang subjek (penulis) di dalam tulisannya, sastra (puisi) menghadirkan sang subjek (penyair) di dalam teksnya, maka esai dapat menghadirkan dan menghilangkan sekaligus penulisnya. Dengan demikian, misalnya saya menulis karangan ilmiah tentang raibnya ribuan kayu jati di Muna, maka saya dapat menyampaikan pengamatan saya bahwa hilangnya kayu jati di hutan-hutan Muna dilakukan secara terstruktur oleh pihak tertentu. Tentunya, sebagai karya ilmiah saya harus mampu memaparkan data objektif, bukan rekaan, misalnya. Jika saya menulis puisi tentang jati Muna, saya bebas menyampaikan subjektivitas untuk berimajinasi dan berpendapat melalui metafora dan gaya bahasa yang sedapat mungkin memikat. Di dalam puisi saya bisa mengatakan bahwa jati Muna dijarah oleh maling dari negeri ajaib atau negeri peri. Negeri maling dan negeri peri hanya ada di dalam imajinasi saya, bukan suatu kenyataan faktual.

Sebaliknya, jika saya menulis esai tentang jati Muna, saya dapat memadukan objektivitas karangan ilmiah dan subjektivitas puisi. Saya dapat memaparkan data objektif sambil "lari" ke dalam rimba puisi, dan sebaliknya. Saya mungkin menulis kenyataan yang sesungguhnya siapa yang menggunduli jati itu dengan cara berkelakar dan bercanda, sehingga orang yang dimaksud tidak perlu tersinggung atau melaporkan saya ke pihak berwenang. Paling tidak, kupingnya memerah karena tersinggung sebagai pelaku. Esai adalah sebuah tulisan yang ringan, luwes, dan dapat lebih cepat sampai maknanya ke pembaca. Tentunya, pembahasan saya ini adalah sebuah pengandaian belaka, imajiansi, atau perumpamaan. Karena saya sendiri tidak sedang menulis secara benar dan serius tentang hal itu. Saya pun tidak tahu-menahu tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas gundulnya jati Muna itu. Bahkan, saya tidak berani mengatakan bahwa pelaku penggundulan jati di Muna itu adalah seorang bupati yang pongah dan keras kepala, misalnya, yang tidak pernah disentuh hukum.

Ah, menulis tentang Muna, mengingatkan lagi kenangan bersama almarhum Wan Anwar ketika kami berkunjung tahun 2004, silam. Dengan perasaan yang tersayat, kami melihat puluhan truk pengangkut jati, siap dimuntahkan ke dalam kapal besi di dermaga Lakilaponto, Muna, yang sandar di bibir dermaga. Kami menyaksikan dengan hati terluka di atas bibir dermaga. Pemandangan itu terjadi setiap saat, disaksikan rakyat Muna yang sebagian besar miskin. Setelah kami kembali ke penginapan, saya menulis puisi di bawah ini dan almarhum menulis cerpen yang kemudian diberi judul "Sepasang Maut".





Puluhan keranda antri di dermaga, petang itu.

Rongsokan badan menuju peristirahatan nasib.

Peti  mayat resah menghantarmu

Menganga di sepanjang pantai

Puluhan mata bajo memandang dari kelam pesisir,

Menanti takdir yang terlindas pekuburan pasir.



Arakan badan

Arakan leluhur

Di belakang Wuna, Wuna tinggal legenda.



Puluhan keranda antri di dermaga, petang itu.



Dermaga Lakilaponto, Maret 2004



Mengenai pohon jati dan Muna, Wan Anwar menulis dengan gaya yang sangat menyentuh, sebagaimana yang dimuat pada antologi puisi Sendiri 3 yang diterbitkan Teater Sendiri Kendari, tahun 2006 silam. Inilah kutipan tulisannya:

"Tapi saya beruntung sempat menyeberang ke Raha/Muna, meskipun saya iri kepada penyair Cecep Syamsul Hari yang begitu tiba di Raha sebuah sajak berjudul "Raha" lahir dari tangannya. Oleh pemilik hotel (hotel yang sebenarnya rumah) di Raha saya diantar ke sebuah desa, malam-malam, untuk melihat kain tenun khas Muna. Pada kedatangan kedua, saya lebih beruntung karena sepanjang malam ditemani Gani, Roy, dan Inal (yang pertama seniman Kendari asal Mandar, yang lainnya seniman Raha) jalan-jalan ke pantai/pelabuhan Raha. Bersama mereka saya menikmati lampu-lampu neon berderet sepanjang pelabuhan, menikmati debur ombak pelahan, serbuan angin laut, dan kesibukan malam pelabuhan. Mereka bicara banyak tentang Muna, meski sebagian tak terekam dalam ingatan. Mereka bercerita tentang tugu pembatas Raha, tentang kebersahajaan seorang ibu tokoh politik di negeri ini, tentang kontu kowuna (batu berbunga), tentang rencana pembangunan hotel di tepi pantai menjelang PORDA, tentang sumber minyak di bawah tanah Raha, dan tentang penebangan kayu jati yang terus berlangsung hingga kini.

Ah kayu jati? Dengan sedih malam itu saya saksikan bagaimana truk-truk mengangkut kayu jati yang sudah diikat rapi dan langsung dimasukkan ke kapal-kapal yang akan menyeberangkannya entah kemana. "Kayu jati Raha kualitasnya nomor wahid," begitu kata Roy. Saya terhenyak sejenak: kayu jati, nomor wahid! Betul-betul spiritual: kayu jati kayu yang hebat (makanya kita menggunakan ungkapan "jati diri" untuk mengungkapkan etos bangsa) dan wahid bukankah ahad (satu)? Pulau Muna ini pulau yang menyimpan "jati" kualitas ahad! Tentu tak elok jika penggerogotan atasnya (baik alam maupun kebudayaan) dibiarkan. Pada kesempatan ini saya ingin meminta sesuatu pada Roy dan Inal: jaga pulaumu dengan seluruh dayamu. Dapatkah kesenian berperan dalam hal ini?"

Tulisan bergaya esai Wan Anwar di atas, memberi gambaran yang menggetarkan tentang penggundulan jati di Muna. Itulah sebabnya, Kendari dan Sulawesi Tenggara membuat redaktur Horison tersebut jatuh cinta dan ingin kembali lagi ke sini suatu waktu. Niatnya terealisasi tahun 2008, lalu tahun itu dikatakannya ingin kembali lagi ke sini dan berkunjung ke Keraton Wolio, Buton. Niat itu tidak akan pernah terealisasi lagi. Wan Anwar segera menuju "keraton" Sang Khaliq, 23 November 2009. Persis setahun saat ia di Kendari, November 2008 saat ia menyatakan keinginannya untuk ke sana lagi.

Kembali ke soal esai. Begitu pula jika saya menulis tentang Piala Adipura yang diraih Kota Kendari tiga kali berturut-turut. Dalam paradigma esai, saya mungkin bisa berbangga atas prestasi tersebut sambil melakukan kritik karena masih banyaknya sampah yang berserakan. Seandainya saya menulis esai tentang Adipura Kota Kendari misalnya, saya dapat memberi pujian pada pemerintah kota seraya berkelakar bahwa bagaimana kalau tahun depannya saja kita raih piala bergengsi itu? Kita lakukan dulu gerakan kultural (kebudayaan) bersama masyarakat sehingga kebersihan itu benar-benar lahir dari kesadaran dan keberdayaan masyarakat. Artinya, gerakan pembersihan dan penataan kota bukan hanya gerakan struktural saja?

Mengenai pendapat "struktural" tersebut, hanyalah paham pribadi saya yang subjektif, karena belum tentu benar adanya. Boleh saja pemerintah mengklaim, ini adalah kerja kebudayaan. Tetapi tentunya, di akhir tulisan esai itu nantinya saya akan tetap berterima kasih dan bangga selaku warga Kendari karena telah berhasil meraih Adipura. Akan tetapi, sebelum saya benar-benar akhiri, saya akan sampaikan dulu pengalaman saya menjejali beberapa kota bersih dan tertata Indonesia lainnya, misalnya Kolaka, Tarakan, Bogor, Solo, Surabaya, atau Samarinda yang menawarkan tata kota yang menentrankan hati. Hampir lupa, saya akan bercerita tentang kenyataan bahwa yang turun langsung ke jalan, pasar, dan selokan untuk mengeruk sampah adalah para calon pegawai negeri sipil Kota Kendari, sebagai bagian dari pengenalan mereka menjadi abdi negara yang setia. Mereka mengisi absensi di jalan sebagai bentuk kehadiran berkantor. Tak lupa saya sampaikan pada pembaca bahwa setelah menerima sang Adipura, sampah-sampah kembali mekar.

Mohammad Sobary, seorang esais ulung dan pengamat politik, memberi materi esai dengan cukup unik dan menarik, seunik dan semenarik sendiri esai-esainya. Ia tegaskan bahwa seorang esais harus berani, tegas, tapi ramah, penuh canda, dan berkelakar dalam esainya. Ini penting agar "pihak" yang dikritik menerima kritikan itu tanpa harus marah. Bahkan dalam beberapa kasus "dampak" tulisan esai, banyak pihak yang dauber-uber sang esais merasa bangga, berterima kasih, dan malah bersahabat dengan sang esais.

Arif Bagus Prasetyo adalah seorang penyair dan kritikus sastra serta seni rupa. Esainya sangat berbeda dengan Kang Sobary dan Mas Agus. Ia sangat analitis, semi-ilmiah, dan banyak tokoh/pakar, serta pendapat ahli yang dia kutip. Katanya, tulisan harus dibiarkan mengalir. Jangan berpikir bahwa jangan sampai tulisan saya terlalu ilmiah (objektif) dan sangat berdasarkan pendapat pribadi (subjektif). Begitu pula dengan Prof. Madya Ampuan Dr. Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah, pemateri dari Brunai Darussalam. Sebagai seorang ahli, kritikus, dan sastrawan ia memadukan ketiga kecapakan itu dalam sebuah karya esainya. Berbeda di Indonesia, di Brunai esai adalah karya akademik atau ilmiah, sedangkan di Indonesia esai adalah genre tersendiri yang berbeda dengan karya ilmiah/akademik yang harus banyak mengutip teori dan pendapat ahli.

Hari kedua, kami digegerkan dengan berita di televisi tentang kematian Mbah Surip yang terasa tiba-tiba. Beberapa minggu terakhir ia menghiasi layar kaca Indonesia dengan lagu trend-nya, "Tak Gendong". Kepergiannya jadi buah bibir juga di kalangan peserta Mastera. Ia pergi di puncak ketenarannya dan dimakamkan di kompleks Bengkel Teater Rendra. Seakan-akan ia hanya muncul untuk mengatakan betapa berat perjuangan yang dilaluinya, kepada publik tanah air yang hanya mengenal artis-srtis beken. Maka diputar kembalilah video-video klip Mbah Surip, termasuk klip yang dibintangi dirinya dengan Rendra, seorang seniman besar Indonesia yang juga sudah lama terbaring tak berdaya di rumah sakit. Yah, sakit dan kematian adalah tanda-tanda dari Langit bagi manusia...

Wisma Arga Mulya tempat kami menginap dan mengikuti kegiatan ini, sangat dingin. Setiap kamar terdiri atas dua ranjang dan saya sekamar penulis muda Medan, Sukma namanya. Bukit hijau yang mengelilingi wisma membuat marmer lantai berubah jadi pendingin alami. Malam hari, selimut tebal harus menutupi seluruh tubuh. Asarpin, esais dari Lampung sampai harus memakai sarung tangan karna kedinginan. Bahkan Ni Made Purnamasari, penyair dari Bali harus melingkarkan syal di leher untuk berkompromi dengan gigil. Yanuardi Syukur yang murah senyum, berbaju dua lapis. Mashuri menghangatkan suasana dengan isapan 234-nya. Arif Senjaya mengakrabkan suasana dengan kelakar-kelakar komedik-kritisnya. Akan tetapi, Mulyadi Esem tetap saja cool meski berbatang-batang sang filter mengepul di bibirnya. Ah, Namira Mazlan, gadis bertahi lalat di hidung mancungnya. Dialah salah satu sumber angin kehangatan di tengah peserta. Ia fasih berbahasa Melayu, sefasih lidahnya melontarkan bahasa Inggris. Apakah ia menguasai bahasa Cinta?

Wow, menyaksikan bukit hijau di sana, saya seakan-akan hidup bersama iklan teh hijau di televisi, menyaksikan para pemetik daun teh di bukit-bukit itu. Pucuk, pucuk, pucuk...

Ah, salah satu rencana pertemuan yang, kemudian saya sesali tidak terjadi di puncak hijau itu adalah perjumpaan dengan Wan Anwar. Sebab sebelum saya ke Jakarta, ia meng-sms saya dan mengatakan ingin bersua di sana. "Sampai ketemu di Bogor", katanya. Dua bulan setelah sms itu, Wan Anwar telah meninggalkan kita semua. Perkiraan saya, ia akan menjadi salah satu pemateri, ternyata tidak. Di dalam sebuah hadist Qudsi diriwayatkan bahwa manusia punya rencana dan Tuhan juga punya rencana. Rencana Tuhanlah yang selalu jadi kenyataan. Hal ini bisa dimaknai bahwa, rencana manusia bisa menjadi rencana Tuhan. Dan rencana Tuhan dapat pula tidak direncakan manusia sebelumnya. Kang, damailah di Surga...

Menghikmati Bogor, saya membayangkan Kendari dan kota lainnya di Sulawesi Tenggara. Hutan Bogor terawat rapi. Bukit-bukitnya ditumbuhi teh yang menjadi sumber kehidupan. Jalanannya rapi dan kuat. Kotanya tertata, indah, dan menawan. Tentunya, di sini, juga banyak kelebihan yang pantas dibanggakan. Akan tetapi, biarlah masyarakat dan yang melancong ke sini, melihat dan merasakannya. Meski, tentunya, di Bogor bukan keindahan melulu yang ada. Sebab saya yakin, setiap kota masing-masing memiliki sisi-sisi baik dan buruknya.

Sekitar jam sepuluh malam, 6 Agustus 2009, saat mengerjakan tugas menulis esai, saya mendapat pesan pendek dari Raudal Tanjung Banua, menyusul pesan serupa dari Hasan Al Banna bahwa sastrawan besar Indonesia, W.S. Rendra telah kembali ke haribaan Ilahi. Saya tertegun sesaat dan sadar bahwa manusia pasti mati. Dan si Burung Merak yang menegaskan sebuah pernyataan di usianya yang ketujuh puluh di TIM 2005 silam bahwa saya ingin jadi tokoh historis bukan mitologis ini pun, akhirnya berpulang juga.

Pagi harinya, udara bertambah dingin saja. Rasa duka dan kehilangan menghiasi wajah peserta Mastera. Sastrawan yang getol mengkritik kekuasaan yang lalim dan membantu kaum tertindas ini, berpulang dalam usia 74 tahun. Sebagai sastrawan besar, ia tak pernah "pergi" karena karyanya selalu dibicarakan. Suasana sepi. Kegiatan sesaat lengang. Ia adalah penyair yang dirindukan dan esais yang disayangi. Ia adalah dramawan besar dan banyak melahirkan generasi teater mumpuni. Salah satu kata-katanya yang sangat terkenal ialah "Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi. Hidup adalah perjuangan dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata". Hari ini, banyak orang yang "berjuang" tapi tidak sesuai dengan kata-katanya, bertentangan dengan janji-janjinya. Begitu pula kota dan provinsi saya, Kendari dan Sulawesi Tenggara, janji-janji diobral sedemikan rupa, sehingga setiap sudut kota dipenuhi baliho kata-kata dan wajah-wajah tersenyum ramah sekaligus menjengkelkan. Kota dan provinsi ini sepertinya dibangun dengan kata-kata belaka.

Sabtu, 7 Agustus 2009, Mastera Esai 2009 ditutup. Sejenak kami mengheningkan cipta dan berdoa untuk sang maestro, Mas Willy. Agus R. Sarjono tidak mengikuti penutupan karena pagi-pagi sekali harus melayat ke rumah duka. Ingin rasanya saya ikut bersamanya ke sana. Saya jadi ingat lakon "Sobrat" yang disutradarainya bersama BTR di TIM tahun 2005 silam. Karya Artur S. Nalan tersebut ia tambahi sebuah dialog sang ibu yang sangat mengesankaan saya dan tak terlupakan, "Ingat Sobrat, para nabi tak pernah berjudi, para nabi tak pernah berjudi". Dialog itu amat menyentuh dan mengingatkan saya pada perilaku para pejabat negeri ini.

Peserta dari Brunai dan Singapura pulang kembali ke negaranya. Kami dari Indonesia kembali ke kampung halaman masing-masing. Salah satu tugas berat kami adalah menulis esai dengan benar dan benar-benar menjadi penulis esai, kata Mas Agus. Saya sendiri tidak tahu, apakah nanti akan menjadi esais atau tidak. Di atas dari semua itu, kami harus kritis kepada penyimpangan kekuasaan, korupsi, kebohongan, pengurasan sumber daya alam, kepongahan, serta  kemerosotan nilai. Upaya menjunjung tinggi kemanusiaan, berpihak pada yang tertindas, mendorong keberadaban, menghormati nilai-nilai universal, saling menyintai, dan tidak saling memusuhi adalah amanah kami yang lain. Sebuah amanah yang super berat, tentunya. Seberat memikul utang negara dan kemiskinan akibat korupsi.

Kami pun tinggalkan Bogor. Di dalam pesawat, di udara,  saya masih yakin dengan pesan Rasulullah di atas. Ah, Bogor begitu mengesankan. Hijau teh, udara dingin, sampai maut yang menjemput Mbah Surip dan Rendra. Saya terkesima esai Emha Ainun Najib di sebuah harian yang saya baca di atas pesawat yang melaporkan saat-saat berpulangnya Mas Willy. Beberapa hari sebelum meninggal, beliau sempat bertanya pada Cak Nun, "Nun, kapan aku di bawa pulang". "Dibawa ke mana, Mas, jawab Cak Nun. "Dibawa ke Bengkel di Cipayung. Karena di sanalah rumahku, hutanku, kuburanku". Saya menarik nafas dalam-dalam. Pesawat akan segera mendarat.

Saya mengingat lagi cahaya terang dari Jakarta sampai senja kemerahan ketika tiba di Bandara Wolter Monginsidi kini. Menakjubkan, pesawat mendarat disambut gemuruh suara azan. ***

Syaifuddin Gani adalah penulis kelahiran Salubulung, Mambi, Sulawesi Barat, 1978. Menamatkan sekolah menengah atas di SMAN 1 Polewali dan Universitas Haluoleo Kendari tahun 1997 dan 2002. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1998. Buku Puisi tunggalnya Surat dari Matahari (KomodoBooks, 2011) masuk dalam daftar lima besar Anugerah Puisi Cecep Syamsul Hari 2010-2011. Tahun 2008 menikah dengan Ita Windasari di Tarakan, Kaltim, dan dikaruniai seorang anak Muhammad Faiz Raihan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun