Baru saja saya membaca sebuah situs resmi bola, mungkin Anda juga mengetahuinya. Nama-nama mereka, para algojo itu, antara lazim dan samar. Mereka adalah Alvaro, Karim, dan Paulo. Dua nama yang konon cukup mematikan adalah Cristiano dan Gonzalo. Nah, nama ini cukup menggetarkan lutut, sebab pelurunya hampir sama kencang dengan larinya dari kejaran, Gareth.
 Bola memang penuh daya sihir. Ia mengundang decak kagum. Jangan salah, ia mengandung pesona magis yang melenakan. Para penggila bola, dapat terkutuk dalam--meminjam lagu dangdut Ike Nurjannah--terlena oh terlena. Tapi di bibir pedangdut janda itu, kedengarannya bukan terlena, tetapi "terlinaaa oh terlina". Menggetarkan lutut dan hati para jomblo.
 Di final nanti, apa boleh buat, mental Cules saya kambuh. Saya berdiri di sisi Juve. Saya tak rela Madrid mengangkat piala, bersulang, lalu berpesta. Tidak. Bahkan jika bisa, tropi La Liga pun gagal ia raih, dan tentunya beralih ke tangan Messi. Tapi akankah?
 Laga yang diprediksi terseksi dan paling bermarwah ini, tentunya sangat emosional. Betapa tidak, Zidane yang kini pelatih Madrid terlahir dan masyhur sebagai pesepakbola dunia, saat ia berkostum zebra di Juventus. Ia berhutang budi pada si Nyonya Tua. Bagaimana mungkin dia akan mencabik-cabik harga diri Juve, klub yang membesarkannya dan mengantarkannya pula ia dipinang Madrid?
 Tapi ini sepakbola bung. Kadang tak manusiawi dan tak peduli asal-muasal sang pemain. Uang atau odoi dalam bahasa Tolaki, profesionalitas, dan gengsi menjadi biang pertaruhan. Ini Eropa brow, bukan Liga Indonesia yang di masa silam pernah bangga dengan gol bunuh diri.
 Yah, begitu pula Higuain yang didepak dari Madrid ke Napoli. Konon, ia tak mampu bersaing dengan CR7 di klub ibukota Spanyol tersebut. Tetapi, di mantan klub Maradona itu, ia tampil sebagai ular paling mengerikan. Patukannya memakan korban. Ia setajam silet. Pemain brewok itu lalu hijrah ke Juve dan siap melumat mantan klub yang abai pada ketajamannya itu.
 Lain pula kisah Morota yang dijual murah ke Juve oleh Madrid. Di Juve ia berubah jadi singa lapar. Gol demi gol ia lesakkan. Juve terkesima, Madrid terpana. Petinggi Madrid ibarat terkena panah asmara, meminjam lagu Bang Haji dan Kak Ridho. Mereka jatuh cinta lagi. Pemain belia itu kembali dilamar.
 Dengan lain umpama, watak pragmatis dan oportunis Madrid, kambuh. Morata kembali dijambret.
 Laga final nantinya sungguh jadi perang dendam dan saling adu peluru. Dendam dan daya juang berpilin jadi satu. Khianat dan mengkhianati menjadi keniscayaan.
 Oh yah, para pembunuh bayaran akan beredar. Siap-siaplah menjadi saksi perhelatan paling menakutkan ini. Siapakah pelurunya yang melesak duluan? Siapa yang akan limbung? Tumbang?
 Oh tidak, pembunuh itu sudah siap-siap ke Cardiff. Mereka sudah latihan menembak yang jitu.
 Paulo dari tanah Amerika Latin, Argentina. Ia datang bersama pembunuh lainnya, Gonzalo, sebangsanya. Mereka berdua memaklumatkan lagi mitos negeri mafia.
 Ada nama menakutkan, Alvaro si klimis dari Spanyol. Eh, seorang Prancis berdarah Aljazair bernama Karim, siap memamerkan kebolehan tangan dinginnya yang dipadu cambang khas Aljazair. Pembunuh paling mengerikan berinisial CR atau Cristiano sebangsa Mourinho, siap mencari tumbal.
 Sebagai tempat perhelatan akbar ini, Wales disibukkan dengan satu nama, si kijang atau si belut, Gareth. Syahdan, pelurunya pernah menggetarkan Britania Raya yang kali ini sebagai penonton manis.
 Para pembunuh itu bermandikan uang. Mereka dibayar melewati akal sehat negeri miskin, untuk membunuh. Lagi lagi uang, kata sebuah lagu, saya lupa pelantunnya.
 Untuk menghibur diri saya sebagai pendukung Barcelona yang hanya duduk sebagai penonton, saya mengutip sebuah lagu yang dipolulerkan Om Ona Sutra, "Barcelonaaaaaaa, dengarlah suara hatiku ini".
 Foto: Millenium Stadium, Cardiff, Wales.