Akun Instagram adhityaanp bertanya ketika Ibu Ani mengunggah foto berjudul 'Semut di tongkol bunga Kuping Gajah (Anthurium crystallinum).
"Ini kamera yg ibu pake buat foto di instagram, punya pribadi atau puny negara bu? @aniyudhoyono." komentar adhityaanp menanggapi foto Ibu Ani.
Pertanyaan ini menurut saya bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan ini adalah pertanyaan awam yang menurut anak sekarang saya kategorikan sebagai kepo atau ingin tahu. Tapi apa reaksi bu Ani menanggapi pertanyaan bernada 'pancingan' ini?
"@adhityaanp Pertanyaan anda agak keterlaluan, tapi akan saya jawab biar gamblang. Yang dipakai oleh biro pers, kemungkinan punya negara. Kalau yang dipakai saya tentu milik pribadi. Ingat jauh sebelum jadi Ibu negara, pada tahun 1976 saya mendapat hadiah perkawinan sebuah tustel dari ortu. Paham?", begitu jawab bu Ani.
Ini bukan 'kemarahan' pertama bu Ani di media sosial Instagram. Publik tentu belum lupa dengan foto Almira dengan background upacara 17-an di istana kepresidenan, foto Ibas berbaju lengan panjang, foto keluarga berbaju batik di pantai Pacitan, hingga foto 'penampakan' keluarga SBY saat tahun baru. Tidak ada yang salah dengan foto-foto hasil jepretan bu Ani maupun juru foto istana yang diunggah melalui akun instagram bu Ani. Yang membuat saya heran adalah komentar bu Ani menanggapi pemberi komen foto-fotonya.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan ibu negara kita, Ani Yudhoyono? Begitu mudahnya seorang pendamping Presiden 'tersulut' amarahnya hanya gara-gara komen atau pertanyaan sederhana di media sosial? Sadarkah ia bahwa media sosial bagi sebagian kalangan merupakan media pencitraan, yang membentuk 'diri' penggunanya sedemikian rupa, bahkan terkadang 'lebih indah' dari aslinya?
Jikalau kita dengan sengaja mencitrakan diri sedemikian negatifnya bukankah itu berarti ia anti pencitraan, yang berarti pula berseberangan pandangan dengan sang suami yang setengah mati menjaga citranya? Atau mungkinkah seorang Ani Yudhoyono meniru laku Farhat Abbas yang menciptakan 'musuh bersama' di twitter demi popularitas? Saya kok tak yakin bu Ani dengan sadar melakukan itu. Beda dengan Farhat Abbas yang 'menikmati' popularitasnya dari cara ia berkomentar negatif. Makin aneh makin populer ia.
Dalam pandangan saya apa yang dilakukan bu Ani (sadar atau tidak) di media sosial tak bagus bagi pencitraan keluarga Cikeas, karena masih ada klan Cikeas yang akan meneruskan jalan politik setelah pak Beye harus turun di tahun 2014 ini.
Saya tak tahu apakah ada lembaga survey yang sengaja mensurvey kondisi demikian untuk melihat 'bu Ani Factor' berpotensi menggerogoti popularitas Pak Beye. Atau adakah korelasinya antara 'bu Ani Factor' dengan konvensi partai Demokrat yang tak diminati 'pasar'? Semuanya masih dugaan, saya yang rakyat biasa hanya bisa menduga-duga semua itu bisa berkorelasi.
Jika itu korelatif, bersiaplah keluarga Cikeas menuai badai dari aktivitas negatif sang ibu di media sosial. Ini bukan menakut-nakuti tapi kecenderungan banyak media dan banyak pihak 'menggoreng' isu kemarahan ibu negara secara besar-besaran, dengan tujuan yang sangat transparan: politisasi 2014. Tak perlu susah payah mengungkap Century atau membidik anak bungsu dalam kasus Hambalang, cukup menunggu momen "ibu" berkicau di media sosial. Kena...deh!! Paham!!