Secara nasional, perilaku mengikuti trend pun sangat kasat mata. Misalnya trend mempraperadilankan putusan KPK maupun wabah batu akik. Hingga saat ini sudah tiga praperadilan yang dikabulkan oleh pengadilan atau bahasa lainnya mengalahkan (sementara) lembaga anti rasuah (contoh: kasus Komjen BG, Mantan Walikota Makassar dan Hadi Purnomo). Tetapi ada juga yang ditolak seperti Mantan Menteri Agama SDA, Jero Wacik, dan Sutan Batugana. Hal ini diawali oleh kesuksesan kuasa hukum Komjen BG yang kemudian mendorong beberapa tersangka KPK berbondong-bondong melakukan hal yang sama. Tentu saja kita salut akan semangat mencari keadilan dan memberi pembelajaran hukum bagi masyarakat Indonesia.
Soal batu akik juga menjadi fenomena tersendiri, tidak hanya secara nasional bahkan internasional. Ketika jalan-jalan ke Mangga Dua Square pada pertengahan 2014, saya sempat mampir ke gerai batu akik dan sempat hampir membeli (pembaca jangan bertanya kenapa tidak jadi beli, itu urusan pribadi). Ternyata beberapa bulan kemudian terjadilah demam batu akik nasional. Disebut demikian karena gandrung batu akik melanda seluruh lapisan masyarakat, kaya-miskin, tua-muda, bahkan anak-anak. Sisi positif dari peristiwa ini adalah tereksplorasinya batu-batu dari seluruh penjuru negeri yang selama ini tidak banyak diketahui seperti sisik naga dari Enrekang maupun giok dari Aceh. Sulawesi Tenggara sendiri memperkenalkan batu-batu dari berbagai daerah seperti: Ereke, Kabaena, Asera, dan Sonai melalui beberapa kali pameran. Dengan demikian menciptakan mata pencaharian baru bagi masyarakat. Negatifnya juga tidak sedikit, seperti: hadirnya modus baru penipuan melalui batu sintetik. Adapula yang menelantarkan pekerjaan utamanya bahkan anak istrinya karena lebih sibuk mengurusi (menggosok) batu akiknya. Aspek mistis juga turut ambil bagian, karena beberapa kalangan meyakini bahwa batu akik mengandung karamah tertentu. Bahkan pedagang sembako "banting stir" menjadi pengepul batu.
Beberapa polarisasi dalam masyarakat di atas menggambarkan betapa labilnya kondisi mental maupun tradisi masyarakat kita. Begitu mudah seseorang maupun kelompok masyarakat mengikuti sesuatu yang kebetulan sukses dilakukan atau diperoleh oleh seseorang maupun kelompok masyarakat lain. Jika saja kita mau sedikit merenung bahwa tidak mungkin semesta ini hadir dalam keseragaman, tidak mungkin kita hanya makan nasi saja, tersangka tahu diri bersalah, dan tidak mungkin semua ngurus batu semata. Bahwa hidup butuh keseimbangan, warna warni seperti pelangi yang indah.
Atas segala realitas sosial tersebut, aku teringat guru agama yang pernah mengajarku di sekolah dasar dahulu. Selesai menuliskan satu surah pendek di papan tulis, kami diminta menuliskan kembali untuk selanjutnya diberikan nilai. Salah seorang temanku melambai-lambaikan hasil kerjanya dengan nilai 8 pemberian guru agama yang setelah kuperhatikan bukanlah tulisan Arab disitu melainkan hanya liukan-liukan tinta dari mata pulpen. Lantas kutanyakan tulisan apa itu? temanku menjawab ini buri lodo-lodo (bahasa etnis Tolaki, Kendari, Sulawesi Tenggara, yang berarti tulisan cacing). Akupun terpengaruh mengikuti cara temanku itu dalam menyelesaikan tugasnya, padahal tugas itu telah kuselesaikan sesuai tulisan Arab di papan tulis. Ketika menyetorkan tugas yang telah kuganti itu kepada guru agamaku, aku berharap mendapatkan nilai yang minimal sama dengan temanku si penulis cacing itu. Guru agamaku hanya menatapku sesaat kemudian menghadiahiku pilohu, yaitu cubitan dengan cara mencengkeram kulit pahaku dan memutarnya seperti angka delapan pada kertas tugas temanku. Aku kecewa dan malu atas kejadian itu. Itulah pelajaran pahit bagi orang yang suka meniru, nyontek dan sebagainya.
Cerita guru agamaku di sekolah dasar itu membuatku menyimpulkan beberapa hal dalam hidupku: pertama, perbuatan yang sama dapat dinilai berbeda walaupun penilainya orang yang sama. Kedua, jangan mengukur kesuksesan diri sendiri dengan memandang kesuksesan orang lain. Ketiga, belajar menghargai apa yang dimiliki atau hasil karya sendiri. Mungkin saja apa yang tengah kujalani saat ini merupakan hikmah dari cubitan angka delapan yang dihadiahkan guru agamaku dahulu.
Wallahu A'lam bissawab
SYAHRUL MARHAM