Waktu itu, Selasa, 25 Mei 2004 dini hari, benar-benar menjadi malam terakhirku mendengar bisikan kalimat mesra darinya, Herlina Hasyim binti Hasan Hasyim, wanita sempurna sepanjang hidupku yang kunikahi dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Malam itu seperti malam-malam biasanya, di mana saya selalu terhipnotis oleh insomnia sampai mentari datang menyapa. Hampir setiap malam, saya terus bermain dengan komputer pentium tigaku hingga mata benar-benar lelah. Kala itu, komputer pentium tiga masih cukup menjadi idola.
Di sampingku, dia sudah tertidur pulas dengan posisi badan menyamping di atas kasur melantai. Tangan kirinya bersandar di pahaku dan tangan kanannya menjadi sandaran wajahnya yang cantik, putih, dan bercahaya itu.
“Tidurlah agar si janin juga bisa beristirahat” rayuku sebelum dia tertidur dan tak ikut terbebani oleh insomniaku.
Saat itu, dia sedang hamil tujuh bulan. Kami tinggal di sebuah kamar kontrakan berukuran 6 x 10 meter, tepat di samping rumah pemiliknya, di Jalan Angkasa, Makassar.
Kami menikah pada 16 September 2003 di hadapan seorang imam nikah di salah satu tempat di Kota Makassar. Meski tanpa diwalikan dan disaksikan oleh seorang pun dari keluarga kami, namun pernikahan tersebut kami lakukan dengan penuh keikhlasan. Kami sepakat menikah untuk terlepas dari perzinahan. Ketika itu, saya sudah semester enam dan dia baru semester empat.
Waktu digital di layar komputerku sudah menunjukkan pukul 03.00 Wita. Tumben saja, malam itu rasa kantukku mulai bersahabat. Tidak seperti biasanya, di mana saya baru bisa tertidur jika sang surya sudah datang menyapa.
Kusejajarkan tubuhnya dengan posisi kasur berukuran mungil itu agar aku juga mendapat tempat berbaring di sampingnya. Tak lama setelah kukecup keningnya, saya pun ikut terlelap, tak lupa sambil memeluk tubuhnya. Jika kuingat, hingga kini masih bisa kurasakan aroma tubuh itu.
Cukup pulas tidurku saat itu, bahkan nyaris tak ada mimpi yang membekas. Aku begitu lelap. Entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba saja kurasakan sentuhan jari-jemarinya di bibirku dan mendengar panggilannya. Saya mencoba bangun dan menyahutnya.
“Kakak, kakak, bangun. Kakak bangun” berulang kali dia memanggilku dengan suara lembutnya.
Sontak saya langsung terbangun. Bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan? Saat itu saya masih sangat ngantuk, mungkin karena hanya tertidur beberapa jam saja. Belum juga kudengar azan subuh di luar sana.
Mencoba untuk lepas dari kantukku, saya bangun dan duduk di hadapannya. Kulihat matanya yang sipit sudah berkaca-kaca, seperti ada genangan air mata. Tak lama, air matanya berlinang dan ia langsung memelukku dengan erat sambil berkata, “Kakak, janji jangan tinggalkan Elin (sapaan sayangku padanya). Kalau Elin sudah tidak ada, kakak janji tidak akan menikah lagi kan? Kakak jawab. Tidak akan lagi kan?
Subhanallah,,, (bisikku dalam hati).
Rasa penasaranku muncul, namun tak sempat menanyakan apa maksudnya. Saat itu, saya hanya mencoba menjawab pertanyaannya dengan suara pelan.
“Iya, kakak janji, selamanya tidak akan tinggalkan Elin” begitu jawabku singkat, meski tak kuketahui apa maksud dari pertanyaannya tadi. Di pikiranku saat itu, hanya ingin menenangkannya saja.
Air matanya terus mengalir. Rasa haruku ikut hanyut dalam tangisnya, meski belum kuketahui apa yang sebenarnya terjadi. Lantaran sangat penasaran, saya terpaksa mengajukan pertanyaan dan memintanya menceritakan apa yang terjadi.
Wajah putihnya memerah, basah karena air mata, dan tak henti menangis. Tak lama, dia menjawab pertanyaanku. Dengan suara terbata-bata, ia mencoba menguraikannya.
“Kakak, Elin mimpi buruk. Elin lihat ada makam di bukit dengan tulisan nama Elin sendiri di nisannya” tuturnya sambil terisak-isak.
“Kakak, Elin takut. Di makam itu, ada juga perempuan berpakaian putih seperti kafan, rambutnya sangat panjang dan menatap Elin” lanjutnya dengan derai air mata. Dia mulai lemas dan mencoba memelukku dengan erat. Namun kurasakan pelukannya lemah.
Saya pun demikian, diam dan ketakutan karena terkejut mendengar cerita tersebut. Sempat terlintas di pikiranku jika ini adalah pertanda? Namun saya berusaha tetap tenang, karena saya juga harus menenangkannya.
“Tenang, tenang sayang, itu hanya mimpi. Biasanya, mimpi itu selalu terbalik dengan kenyataannya. Mungkin saja Allah memberi isyarat kalau nanti persalinan Elin akan berjalan lancar” kataku mencoba menenangkannya.
Kucium keningnya sambil kepeluk, mungkin dengan begitu ia akan merasa nyaman.
Betul, dia mulai tenang. Isak tangisnya perlahan terhenti. Beberapa saat kami terdiam dalam sunyi. Tangannya masih melingkar di tubuhku, lalu kutatap wajahnya sambil kuperlihatkan senyumanku. Dia pun membalas dengan senyuman kecil.
Suasana mulai tenang dan saya mencoba mengalihkan pikirannya dengan membicarakan tentang calon bayi kami. Kelak, apakah dia akan mirip denganku atau dirinya.
Ternyata bahan pembicaraanku itu ampuh. Dia juga mulai menyukainya. Sesekali juga kami sudah mulai bercanda dan tertawa pelan.
Seperti biasa, jika membahas calon bayi, dia selalu berkata jika bayi itu harus mirip denganku. Apa lagi sudah ada hasil USG dari dokter kandungan yang menyatakan bahwa janin di dalam perutnya adalah laki-laki.
“Nanti bayinya harus mirip kakak yah. Kalau besar, dia harus jadi laki-laki penyayang, pintar memasak, dan mencuci baju seperti kakak. Tapi warna kulitnya harus ikut putihnya Elin yah” tuturnya memancing tawa ringan menjelang subuh itu.
Warna kulit istriku memang sangat putih. Nenek moyangnya adalah keturunan Cina dan Belanda. Dia lahir dan besar di Kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut). Berbeda denganku yang memiliki warna kulit gelap. Maklum, saya lahir dan besar di Kota Bima, NTB. Ibuku, Almarhumah Hj Hafsah adalah kelahiran Bima, sedangkan ayahku HM Suyuti, kelahiran Kabupaten Jeneponto, di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Suasana mulai mencair, hatiku juga sudah tenang. Dia juga tak lagi mau mengingat mimpinya. Suara azan mulai berkumandang, dia bergegas beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
“Kak, tolong ambilkan handuk” pintanya dari dalam kamar mandi.
Tak lama setelah kuberikan handuk dari balik pintu, dia keluar dengan sedikit menggigil. Dia baru saja mandi dan mengambil air wudhu. Wajah dan rambutnya masih terlihat basah. Dia melangkah pelan menghampiri tempat tidur dan mengambil mukenah, perlengkapan salatnya. Saat itu dia juga mengajakku untuk salat berjamaah. Namun dasar diriku yang malas dan malah mengabaikan ibadah wajib itu. Aku hanya berbaring di tempat tidur sambil memperhatikan dia saat salat.
JANJI TUHAN
Kali ini, gerakan salatnya sedikit lebih lambat. Tidak seperti biasanya. Kupikir mungkin karena janin di perutnya yang semakin membesar sehingga membuatnya sulit bergerak normal.
Akan tetapi tebakanku salah. Saya tidak menyadari perubahan di sekujur tubuhnya yang semakin gemuk. Wajahnya, lengannya, jari-jari tangan, dan kakinya, terlihat semakin membengkak.
“Ahh, di internet saya baca, kalau orang hamil memang makin gemuk” kucoba menetralisir pikiran negatifku.
Di balik jendela sudah mulai terang. Tak ingin pikiran negatifku terus berkecamuk, saya mengajaknya untuk jalan-jalan subuh. Tanpa alas kaki, kami melangkah ke arah Taman Makam Pahlawan (TMP) Makassar. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah kontrakkan kami.
Namun belum tiba di TMP itu, sekitar 50 meter jaraknya, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan meminta pulang.
“Kakak, sakit perut Elin. Ayo pulang” ajaknya dengan nada memelas. Terpaksa kami harus memutar arah dan kembali ke rumah kontrakkan.
Dalam perjalanan pulang, kami masih sempat bercanda seperti dua anak kecil yang menikmati waktu bermainnya.
Tak terasa sudah hampir tiba di depan rumah. Sempat kutanyakan lagi sakit di perutnya. Namun dia menjawab sudah agak baikan. Sebelum masuk ke rumah, dia meminta izin membeli nasi kuning yang dijual di depan rumah.
Usai menyantap sarapan pagi itu, saya memilih kembali ke kamar untuk menyambung tidurku. Sementara dia membersihkan dapur. Tak menunggu waktu lama, saya langsung tertidur menyambung kantukku yang tertunda semalam. Cukup pulas juga tidurku pagi itu.
Namun untuk kedua kalinya, dia kembali membangunkanku. Dengan cara seperti biasa, dia menyentuhkan jari-jemarinya di bibirku. Tanpa bermalas-malasan, saya langsung terbangun. Sempat kuperhatikan jam di ponsel menunjukkan waktu sekitar pukul sembilan.
Kejadian tadi malam seperti terulang lagi. Dia duduk di depanku dengan berlinang air mata.
Kalimat yang sama seperti semalam, memintaku agar tak meninggalkannya. Berulang kali ia ucapkan itu. Rasa penasaranku kembali bertanya. “Ada apa lagi”
“Kakak, Elin lemas sekali. Elin takut. Kakak jangan pergi” ucapnya dengan nada pelan.
“Kakak, kalau Elin sudah tidak ada, siapa nanti yang urus kakak. Elin takut kak. Elin sedih. Kalau Elin sudah tidak ada, kakak jangan berhenti doakan Elin” berulang-ulang ia mengucapkannya. Lalu kutarik tanganya, kupeluk, dan kucium keningnya.
Saat itu, kulihat wajahnya sudah putih memucat. Jari-jari kaki dan tangannya makin membengkak. Sudah tidak seperti orang hamil pada umumnya. Dia duduk di ujung tempat tidur, meneteskan air mata dan mengeluhkan rasa sakit di perutnya serta keram di beberapa bagian tubuhnya.
Dia memelukku. Dia sandarkan wajahnya di dadaku. Kali ini aku gemetaran, seperti ada rasa takut yang sangat besar. Rasa takut yang tak bisa lagi kulawan dengan pikiran positif. Di pikiranku bahwa bakal terjadi sesuatu yang sangat buruk.
Tak tahu harus berbuat apa, saya memutuskan untuk memanggil beberapa tetangga. Namun saat akan kulepas pelukannya, tiba-tiba saja dia terjatuh ke belakang. Dia roboh di atas kasur dan sempat memanggil nama ibunya, “Mama…!!!”.
Saat itu juga seluruh tubuhnya ikut membiru. Dari ujung kaki hingga ke bagian kepala, kulihat dengan jelas wajahnya yang putih memucat itu berubah menjadi warna biru tua.
Hanya sekali dia berucap kata “mama” dan setelah itu dia tak sadarkan diri lagi. Aku berteriak sembari menangis keras dan meminta pertolongan. Tak lama, para tetangga berdatangan. Kucoba juga menghubungi beberapa temanku lewat telepon dan SMS. Tak lama, sebuah taxi datang bersama seseorang yang kukenal. Dia adalah sahabat kami, teman satu kampus dan organisasi, dia juga orang yang cukup banyak tahu tentang kehidupan kami.
Dengan taxi itu, Elin dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit (RS) Ibnu Sina, depan Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Saat tiba, dia langsung diberi penanganan cepat. Dia dibaringkan di tempat tidur dekat sebuah tabung oksigen. Ada selang dimasukkan didua lobang hidungnya, ada juga selang yang dimasukkan lewat tenggorokannya untuk menghisap busa yang keluar dari mulutnya.
Seorang dokter juga datang membawa alat untuk mengecek kondisinya serta janin di dalam perutnya. Setelah itu, dokter menyatakan bahwa jantung si janin sudah tak berdetak lagi. Saya hanya diminta berdoa agar ibunya selamat dengan cara dioperasi. Dokter menyuruhku mencari tiga jenis obat. Namun di apotik di sekitar rumah sakit swasta itu, tidak ada yang menjualnya. Saya terpaksa keliling mencari obat itu di apotik lain yang jaraknya cukup jauh. Dari tiga jenis obat resep dokter, hanya dua yang bisa kudapatkan. Bentuknya seperti botol kecil berisi cairan. Katanya untuk disuntikkan ke dalam infusnya.
Kala itu, saya memang sempat berharap agar salah satu di antara mereka harus selamat. Entah istriku atau anakku. Tapi karena dokter menyatakan bahwa si janin sudah tak bernyawa, harapanku kini pada istriku.
Namun Allah SWT berkehendak lain. Para dokter, suster, dan tim medis tak berhasil menolongnya. Dan benar, Sang Khaliq lebih menyayangi istri dan anakku. Saat itu, aku meronta, menangis sekeras mungkin. Dalam hati, kututurkan berulang kali doa agar dia tetap baik-baik saja, atau berharap kejadian itu hanya mimpi semalam.
Tapi, Innalillahi Wainnaillaihi Roajiun. Tepat pukul 14.25 Wita, istriku menghembuskan nafas terakhirnya. Dia pergi untuk selamanya, meninggalkan lautan impian dan harapan pada diriku.
Aku berbisik pada jenazahnya, “Aku tahu kau sangat kuat. Aku tahu kau tak ingin meninggalkanku. Aku tahu kau ingin melihat buah hati kita, merawatnya, membesarkannya, dan menjadikannya anak yang baik dan soleh. Aku tahu kau ingin mimpi-mimpi kita terwujud. Bertahanlah! Kuatlah! Bangunlah! Jangan tinggalkan aku!”
Menurut dokter, istriku keracunan kandungan dan janin dalam perutnya sudah meninggal dua hari sebelumnya. Rahimnya tidak sehat akibat terlalu banyak makan makanan yang asin dan pedas, serta kurang bergerak atau olahraga. Selain itu, diduga karena beban pikiran lantaran menikah tanpa sepengetahuan orang tua dan keluarganya.
Jenazahnya sempat disemayamkan semalam di rumah sakit depan kampus itu, kampus tempat kami kuliah, berorganisasi, dan mempertemukan jodoh. Teman, sahabat, serta orang-orang yang mengenal kami, berdatangan menjenguk dan mengucapkan bela sungkawa. Mereka yang datang cukup banyak, bahkan memenuhi halaman rumah sakit itu.
Jenazahnya disemayamkan satu malam untuk menunggu ayahnya datang dari Bitung. Rencananya, jenazah istriku akan dibawa pulang dan dimakamkan di kampung halamannya. Saya berharap agar dia dimakamkan di Makassar saja. Namun keluarganya menolak. Hingga keesokan hari, ayahnya Hasan Hasyim dan beberapa keluarganya tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar untuk menjemput energi hidupku itu. Jenazah istriku dibawa ke Bitung juga menggunakan pesawat. Kali ini, dia pulang ke kampung halamannya tak lagi duduk di kursi penumpang, seperti saat dia pulang liburan, melainkan di bagasi pesawat.
“Kenapa tidak bilang kalau Elin sakit. Kenapa tidak bilang kalau kalian sudah menikah. Keluarga di Bitung pasti marah besar” ujar salah seorang keluarganya dengan wajah yang memerah dan nampak marah.
Kala itu, rasa takut menghantui pikiranku. Namun bukan takut dengan keluarganya, melainkan takut akan perpisahan yang akan memilukan hati seumur hidupku. Dan benar, saya tak diizinkan untuk ikut mengantarnya hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Sebab, keluarganya beralasan bahwa mereka masih menolak kehadiranku. “Maaf Ulla (sapaan akrabku sejak menjadi mahasiswa di UMI). Bapak bukan melarang kamu ikut. Tapi bapak hanya ingin menjaga nama baik keluarga di Bitung. Ulla juga belum bisa diterima oleh keluarga di sana” ujar Bapak Hasan dengan wajah yang sedih dan berlinang air mata. Dia juga sempat memelukku sambil menetaskan air mata.
Tubuhku semakin lemas saat itu. Tak jelas apa yang kupikirkan dan akan kulakukan. Selain rasa sedih dan rasa bersalah yang semakin besar, saya juga tidak tahu alasan apalagi untuk meyakinkan keluarganya, agar saya bisa ikut mengantar jenazah istri saya.
Sejak jenazahnya dibawa saat itu, saya tak pernah lagi bertemu istriku. Selama lima tahun saya tak pernah melihat dan menziarahi makamnya. Bukan tak punya uang atau tak punya kesempatan, namun keluarganya belum memberi izin. Saya sempat berpikir untuk berangkat sembunyi-sembunyi, namun saya tak tahu di mana lokasi makamnya.
Hingga waktu berjalan selama lima tahun, Allah SWT akhirnya menjawab doa-doaku. Tepat setelah lebaran Idul Fitri 2009 lalu, kedua orang tuanya meneleponku dan meminta saya untuk datang.
Begitu bahagianya saya saat itu. Lima tahun menunggu dan akhirnya diberi kesempatan. Saya pun ke sana dengan membawa lautan rindu. Di sana, saya menginap di kamar almarhum istriku. Kondis kamarnya masih rapi. Kata Parno, adik kandung istriku, setiap pagi mertua perempuanku selalu membersihkannya. Di kamar itu, tak banyak foto-foto istriku, sehingga hanya beberapa saja yang bisa kugandakan dan kubawa pulang. Di rumah itu juga menjadi sepi. Setelah Elin wafat, yang tersisa hanya mertua laki-laki, mertua perempuan, dan adik iparku. Parno kini menjadi anak tunggal dan dia sangat disayangi oleh kedua orang tuanya.
Makam almarhumah istriku berada di kaki bukit, sekitar 100 meter dari rumah orang tuanya. Di situ adalah tempat pemakaman umum. Bersama ibunya, saya berulang kali menziarahi dan membersihkan makam yang dilapisi tegel itu. Saya melapnya dengan air, mencabut rumput-rumput dan memindahkan dedaunan kering yang jatuh di atas makamnya.