Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sego Jogja

12 September 2014   02:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:56 53 0
Membicarakan Jogja memang tidak ada habisnya, mulai dari tempat wisata, kesenian maupun budayanya. Barangkali sudah menjadi tujuan wajib bagi para wisatawan untuk ke kawasan jalan malioboro, keraton dan candi prambanan. Tentu tidak lengkap ketika kita mengunjungi kota jogja tanpa menikmati berbagai kuliner yang tersedia seperti Gudeg Jogja dan Bakpia yang menjadi primadona khas Jogja.

Apabila kita berjalan mengelilingi kota Jogja, kita akan menemukan Sego Macan yang dijual oleh pedagang angkringan. Nasi porsi kecil (lebih banyak dari nasi kucing) dengan lauk yang minimalis menjadi kesan pertama ketika makan nasi ini. Ternyata jika diperhatikan banyak varian sego (nasi-red) yang ada di Jogja antara lain Sego Gurih yang merupakan makanan khas perayaan sekaten, Sego Abang Jirak (abang dalam bahasa jawa berarti merah) di gunung kidul yang menjadi nasi merah paling terkenal se-nusantara, atau Sego Segawe.

Untuk nama yang disebut terakhir berbeda dari sego yang lainnya, karena Sego Segawe bukanlah jenis makanan tetapi merupakan gerakan nilai untuk melatih sikap sederhana terutama bagi generasi muda di Jogja. Sego Segawe singkatan dari Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe (sepeda untuk sekolah dan bekerja) bertujuan untuk jogja yang lebih humanis karena dengan bersepeda kita akan menjadi generasi yang sehat, hemat dan ramah lingkungan.

Untuk mengingatkan warga pada gerakan ini, didirikan seamcam patung sepeda dengan tulisan Sego Segawe di beberapa titik strategis di Jogja. Betapa indahnya ketika kota yang merupakan salah satu tujuan utama wisata di Indonesia dari turis mancanegara menjadi kota humanis yang menunjukkan salah satu khazanah ke-Indonesia-an yang santun, ramah dan sederhana.

Apabila dilihat dari kondisi sekarang ini, Jogja cenderung menuju kota yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor, sebut saja di sepanjang jalan malioboro berapa ratus sepeda motor yang terparkir, belum ditambah dengan mobil yang terlihat memenuhi jalan tersebut setiap akhir pekan sehingga menyebabkan kemacetan, tetapi tidak  mengherankan karena kawasan tersebut merupakan kawasan wisata. Di tempat lain, betapa sesaknya  volume kendaraan sepanjang jalan kaliurang,  jalan colombo, dan selokan mataram yang merupakan jalan yang mengelilingi dua kampus besar UGM dan UNY atau sepanjang jalan laksda adi sucipto sampai jalan Jogja-Solo.

Kondisi tersebut bertolak belakang dengan gerakan nilai masyarakat jogja yang humanis melalui pembiasaan bersepeda terutama generasi muda sebagai sasaran. Apalagi kalau kita tengok eksodus mahasiswa baru dari luar kota Jogja tidak jarang terlihat nyaman berkendara dengan motor bahkan mobil di dalam maupun luar kawasan kampus. Terdapat jarak antara gerakan nilai yang bersumber dari masyarakat Jogja dengan warga pendatang inilah yang menjadi salah satu tidak sinkronnya tujuan dengan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tetapi tidak semata-mata bisa disalahkan ketika pendatang dari beragam daerah yang mempunyai latar belakang budaya dan tingkah laku yang berbeda bisa langsung mengetahui, mengerti, dan membaur dengan situasi sosial dan budaya Jogja.

Perlu regulasi yang jelas untuk menciptakan kota yang humanis karena Jogja merupakan Jendela Indonesia. Tanpa aturan yang jelas, gerakan nilai Sego Segawe hanya sebagai gerakan ceremonial yang tidak jelas arah dan capaiannya. Selain itu perlu kerjasama yang baik dari pemerintah, masyarakat dan pihak kampus untuk membentuk sebuah langkah nyata demi mensukseskan gerakan tersebut. Kemudian perlu kesadaran juga kepada warga pendatang untuk menghormati dan ikut berpartipasi aktif khususnya generasi muda (mahasiswa) dalam gerakan nilai Sego Segawe, karena bagaimanapun setiap pendatang harus mematuhi dan mentaati segala aturan hukum baik tertuli maupun tidak tertulis serta ikut mensukseskan pembangunan sosial budaya di wilayah Jogja termasuk program-program untuk menjadikan Jogja sebagai kota humanis dan ramah lingkungan. Jangan sampai kota yang masih sangat kental dengan budaya ini lambat laun menjadi kota yang terbawa pada arus pembangunan industri yang akhirnya meninggalkan nilai sosial dan budaya sehingga menjadi pesakitan Kota

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun