Apa Soalnya?
Sebenarnya soal perolehan partai-partai Islam sangat sepele. Dan terlalu sangat sepele. Ideologi dan tafsir azasnya jelek? Tidak! Bahkan tiada tanding hebatnya ideologi partai Islam tersebut. Ceruk massanya yang sempit? Tidak! Dua ratus juta lebih. Itu bisa 80% perolehan suara. Lalu apa? Soalnya hanya terletak pada elit-elit dan penggede-penggedenya. Apa itu? Para elitnya, para penggedenya, tidak satu antara perbuatan dan perkataan. Tidak satu antara maksud Islam, maksud partainya, dengan kelakuan elitnya. Padahal soal yang begini, merupakan yang paling prinsipil dalam suatu partai yang bernafaskan agama. Lha, kalau agama sudah diremehkan, siapa yang mau hormat.
Sekarang coba periksa dua elit dari dua partai Islam itu sendiri. Anis Matta misalnya dari PKS, Islam mengajarkan lakon juhud dan sederhana, malah pakai rolek dan mobil alphard. Ditambah lagi gaya berpakaian yang jauh dari gambaran seorang yang alim. Mosok pake jins dan kaos ABG, sih? Ini yang saya sampaikan berdasarkan dan menurut cara berpikir orang kebanyakan, lho. Jadi nggak usah kecewa jika perolehan suara merosot, selama kelakuan nggak Islami itu diabaikan oleh elit-elit partai Islam. Ditambah lagi gaya hidup poligami bagi elit-elit partai Islam itu. Kalau dulu Nabi poligami sungguh-sungguh sebagai solusi kemelut yang dihadapi masyarakat awal Islam. Sekarang kalau elit partai Islam itu berpoligami, apalagi sampai empat dan impor pula dari Hongaria, jelas sebuah lakon kemewahan dalam kebutuhan seks. Sorry, saya harus ingatkan hal ini dengan pedas sepedas-pedasnya. Karena saya tidak suka agama ini diperolok-olok oleh elit-elit partai Islam tersebut.
Beralih ke Yusril Ihza Mahendra, ketua Dewan Syuro PBB. Kodo wae. Pake mobil mercy kemana-mana. Berlagak kayak anak muda dua puluh tahunan. Ini tidak benar. Saya saja, sudah canggung untuk bergaya umur dua puluh tahunan, padahan umur saya baru 35 tahun. Tapi itulah kenyataannya.
Solusinya
Solusinya, jika partai-partai Islam itu mau merebut kembali martabat mereka, pertama, gaya hidup mewah tinggalkan dengan tegas dari lakon elit-elit partai tersebut. Misalnya, rolek dan mobil alphardnya Anis Matta dijual dan hasilnya diberikan ke kas partai. Kalau pun ada yang tersisa dari hak milik pribadinya, cukup untuk ukuran biaya hidup rakyat kebanyakan. Lalu aktivitas partai yang tinggi, bagaimana? Biar dibiayai secara transparan oleh partainya, secukup-cukup dan sewajar-wajarnya. Bila perlu seperti Agus Salim, makan cukup pake kecap saja. Atau seperti Natsir, mau pelantikan saja, kudu pinjam jas, sampai kelihatan kekecilan. Mampu nggak? Kalau nggak mampu, minggir! Elit-elitnya yang lain ikut juga dengan cara itu, sehingga mereka menjadi contoh bagaimana disiplin dalam berpartai ditegakkan.
Yusril pun begitu. Jual mercy-nya. Nggak usah beracara. Cari makan dari dosen saja, yang jelas dan tidak syubhat rezekinya. Kalau nggak mau? Berarti memang berpartai Islam itu cuma main-main dan adu gengsi saja supaya disebut punya anak buah dan massa dimana-mana dan dengan itu kepala jadi besar.