Kita tidak akan tumbuh menjadi ingatan yang lain, Fe
Kecuali kau temukan seseorang yang menyimpan doa-doa
Di bawah langit ibu kota
Suatu kali ia datang dan terseret oleh keinginannya sendiri
Pada pipinya kau lihat mendung merekah
Dan jarak di langkah kakinya meninggalkan tempat tinggal yang jauh
Dikelilingi suasana ramai;
Macet, sibuk, asing, sesak
Riuh di dadanya adalah keresahan orang-orang tak tahu jalan
Sesudah suatu hari yang lelah
Ia mengeluh
Tiba di satu penginapan atau rumah sewa termurah yang masih terlalu mahal bagi kantongnya
Di pinggiran kota
Cahaya lampu warna-warni mengubah malamnya
Dimanjakan lanskap gedung-gedung
Kerlap lampu-lampu mobil di kejauhan
Ia berkata:
Datang ke Jakarta ialah kekalahan yang indah
Tuhan tak memberinya banyak hari yang panjang
Sebab ia pengunjung dengan waktu terbatas
Satu hari sebelum pulang
Ia tersesat saat akan menuju stasiun
Sebelum sampai di sebuah gerbong
Ia melihat kereta-kereta melintas
Tak tersentuh
Segalanya terjadi secepat itu
Kita berlalu seperti itu
Sehingga mungkin
Kita tidak akan tumbuh menjadi ingatan yang lain, kecuali...
Kau kenang aku, Fe,
Sebagai pejalan tersesat di peron itu,
yang kau tidak mengatakan di mana arahnya–kecuali selamat jalan yang diakhiri tanda tanya:
Apakah kita berpisah?
Dari dalam kereta ia melihat hal-hal yang dilewatinya
Dari luar kau bisa melihatnya menjauh–pulang, perlahan-lahan
Dan di dalam hatinya kau berakhir seperti Jakarta
Yang macet, penuh, sibuk, dan menyesakkan
Karena ia pendatang;
Terjebak, kosong, kesepian, dan mengeluh
Tapi tidak ingin pulang