tanyaku kepadanya.
Pukul empat sore,
setelah beranjak dari peron
yang terasa jauh dari peradaban.
Hujan baru saja reda.
Aku lebih suka pada apa
yang datang sesudahnya,
ia menjawab.
Kupandangi matanya yang berkilap
wajahnya seperti halaman
belakang rumah nenek —yang kata ibu akan lebih segar jika dilihat—
dari atas balkon
Apa itu? aku menyahut.
"Itu," jawabnya seraya menunjuk.
"Pelangi. Susunan warna indah
dengan garis melengkung.
Kata orang, hidup kita
akan terasa lebih mudah
setelah melihatnya."
Aku mengangguk.
Aku lebih suka melihatnya bahagia.
Segala yang ia bicarakan
selalu terdengar menarik.
Sekalipun ia tahu
aku buta warna.