Perempuan itu bernama Nadia, kutemukan ia sedang menunggu seorang lelaki ketika aku juga sedang menunggu seseorang. Aku tahu lelaki itu adalah kekasihnya.
Pada hari yang aku sendiri lupa kapan tepatnya, aku merasakan deritanya dari tempat yang aku tidak ingat entah di mana. Nadia duduk di sebuah bangku dekat dermaga, merajut tabahnya penantian yang kian menganga ditubuhnya. Namun di dalam dadanya, ia masih yakin bahwa kekasihnya itu akan berlayar dan kembali untuk menemuinya.
Ia selalu percaya bahwa lelaki tersebut bukanlah orang yang gemar membual. Tapi ia kerap menangis apabila teringat pada janji yang sampai sekarang belum ditepati oleh lelaki itu.
Jikalau kalian melihatnya sebagaimana aku melihatnya, mungkin kalian akan mengatakan hal yang sama denganku.
O, Nadia yang malang. Lihatlah dirimu. Pakaian lusuh itu sudah menyatu dengan tubuhmu. Dan matamu semerah senja yang berdarah. Setiap kali matahari jatuh di bawah keningmu dan tumbuh kembali dari bawah kaki. Tapi lelakimu tidak pula kembali. Sedang jari-jarimu hanya merapal pada ketiadaan. Tak ada yang bisa kau selamatkan. Tidak juga dirimu yang malang itu.
Kuberitahu pada kalian, cintalah yang menjadi alasan Nadia tetap menunggu kekasihnya yang dungu itu. Ya, memang terdengar klise sekali. Mungkin inilah salah satu alasan kenapa banyak orang pintar membenci orang-orang yang dimabuk cinta atau kasmaran. Tapi begitulah Nadia, perempuan yang kuceritakan dalam kisah ini.
Nadia dan kekasihnya adalah kesenjangan antara jarak dan perasaan. Sedangkan bumi, di kepala Nadia, memiliki titik tengah yang ia kira akan mempertemukan dirinya dengan kekasihnya lagi. Dan di dekat dermaga itulah titik yang ia maksud.
Di dalam kepalaku, kuciptakan pertanyaan yang ingin kubisikan ke telinga Nadia andai aku bisa memegang kepalanya. "Apa kabar kiranya lelaki kecintaanmu di sana, Nadia? Mungkin dia sudah mati. Atau malah sudah punya banyak anak dengan salah seorang wanita jalang perkotaan. Merantau hanyalah bahasa alih dari bosan. Tidakkah engkau menyadarinya? Bahwasanya, barangkali kekasihmu pergi untuk meninggalkanmu. Bukan malah untuk membawa pulang namanya dan menyandingkannya dengan namamu. Dengan sekoper uang, senda gurau tentang meriahnya pesta pernikahan impian."
Aku merasakan jika Nadia sedang menangis lagi. Sambil sesekali melabuhkan matanya di hadapan perahu-perahu nelayan atau kapal-kapal penumpang yang merenda pelayaran.
Airmata baginya ialah syarat dari kerinduan yang tak berbalas. Batas antara cinta dan omong kosong. Janji adalah bangkai yang menguarkan bau busuk menyengat. Paling menyengat. Semua orang berjanji. Namun menepatinya adalah perihal yang lain.
Kemarin yang juga entah kapan, seorang pemuda tampan pernah mengetuk pintu rumah Nadia, tapi ia hanya bersembunyi dari kalimat-kalimat romantis yang dilontarkan oleh lelaki tersebut, atau bunga paling merah muda yang dibawa olehnya. Tak ada tempat untuk cinta yang baru, begitulah pendirian Nadia.
Lalu aku berpikir dalam hati, tidakkah engkau sadar, Nadia? Kebanyakan orang membenci individu yang cengeng, yang ketika ditawarkan kebahagiaan, ia malah menghindar. Kupikir hampir semua orang tidak menyukai orang bersedih. Kecuali aku, barangkali. Karena aku menyukai kesedihan dan kerap merayakannya dengan sesulang tulisan.
Maka kutulis ini untuk kalian. Tentang Nadia, salah satu perempuan paling cengeng yang pernah aku temukan. Tapi tidak sedemikian singkat aku bisa menyukai Nadia, meskipun memang aku menyukai kesedihan.
Tentang pemuda tampan yang datang kepada Nadia, pemuda itu meminta Nadia untuk menjadi kekasihnya. Tapi Nadia menolak atas dasar kesetiaan pada kekasihnya yang di seberang, yang tidak kunjung pulang.
Pada kemarin yang lagi-lagi aku lupa kapan tepatnya, sepertinya sudah cukup lama, bahkan hingga hari ini, aku masih sering membayangkan Nadia terduduk dengan kulit yang perlahan keriput dan airmata yang semakin beringsut. Jiwanya kerontang. Matanya berdarah. Tapi cintanya tidak jua berkurang.
Jikalau kalian merasakannya sebagaimana aku merasakannya, mungkin kalian akan mengatakan hal yang sama denganku.
O, Nadia, apa kabarnya lelaki pujaanmu itu? Apakah dia sudah jadi tulang belulang? Atau dia kini malah sudah memiliki banyak cucu dari anak-anak yang keluar dari rahim seorang jalang?
Kau harus belajar merelakannya sebelum cerita ini jadi semakin panjang.
Sebelum kau jadi bujang lapuk yang tak pernah merasakan kenikmatan berhubungan badan. Dan sebelum orang-orang semakin tidak suka membaca cerita yang melulu tentang kesedihan.
Kupikir aku mulai membenci Nadia dan kesedihannya. Mungkin begitu juga dengan kalian.
Maka izinkan aku untuk menyelamatkannya, mengakhiri cerita ini dengan membunuh Nadia dengan segala penantian dan rasa sakit karena cinta yang dideritanya.