Nyaris semua warga yang mendengar berhamburan keluar rumah, menuju pos ronda setempat. Ada yang hanya memakai baju, ada yang hanya memakai celana dalam, bahkan ada yang bertelanjang.
Berduyun-duyun mereka berkumpul ke sebuah pos ronda yang terletak di pertengahan kampung yang agak kumuh dan muram itu.
"Siapa yang kemalingan?" tanya seorang warga yang telanjang.
"Entah," jawab yang bertugas ronda.
"Lalu kenapa kau memukul kentongan?" tanya ibu-ibu yang mengenakan daster.
"Tadi saya melihat ada seseorang yang lari terbirit-birit membawa Harga Diri," terangnya, "makanya saya pukul."
"Astaga. Kejam betul dia," ucap seorang warga yang hanya memakai celana, "ke mana dia lari?"
"Dia lari ke semak-semak. Hilang dalam gelap."
"Siapa jualah yang kehilangan Harga Diri di saat-saat begini. Kasihan benar dia."
"Harga Diri siapakah kira-kira?" tanya salah seorang warga pada kerumunan mereka. "Entah," jawab seorang lagi, "cuma keluarga Haji Amat, Ustad Gofur, dan Pak RW yang punya Harga Diri di kampung ini."
Sekejap kemudian munculah Pak RW sambil mengucek-ucek matanya. Dia baru bangun tidur.
"Siapa yang kemalingan?" tanya Pak RW.
"Entah," jawab warga yang meronda sambil mengupil.
"Tadi katanya, dia melihat ada orang asing lari ke semak-semak, Pak. Sambil membawa Harga Diri," terang seorang warga.
"Lalu? Adakah dari kalian yang merasa kehilangan Harga Diri?"
"Tidak, Pak. Harga Diri kami sudah tiada sejak cukup lama," jawab beberapa warga yang ada di pos serentak.
"Kau," tunjuk Pak RW pada satu warga yang tidak memakai baju dan celana, "Harga Diri kamu masih ada?"