Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Bocah Misterius

6 Agustus 2019   13:11 Diperbarui: 6 Agustus 2019   17:47 216 40
Pablo, atau tersebut karyawan kesayangan bosnya yang teramat polos itu akan terbangun pukul satu dinihari. Matanya kerap memerah dan melotot. Belakangan dia terus dihantui mimpi buruk tentang bocah laki-laki yang ditabraknya seminggu lalu. Darah segar dari bocah itu mengalir ke banyak arah, membuat tubuhnya yang kurus gemetar.

Saat ini, dia sedang sangat menyesali perbuatannya hingga tidak keluar dari apartemennya sejak kejadian itu, menghapus rutinitas mandi dari daftar kesehariannya yang membosankan, serta hanya memakan mi instan yang mungkin saja sudah kadaluwarsa.

Sesekali kantong matanya yang hitam dia munculkan di sela-sela gorden kamar yang berada di lantai tiga pada sebuah apartemen kecil yang terletak di Jalan Boulevard 11, Kota M. Hampir setiap satu jam dia mengintip ke arah jalanan, memastikan bahwa tidak ada mobil polisi yang mengincar huniannya yang dipenuhi gumpalan tisu, bungkusan mi, piring kotor serta baju dan celana yang belum dia laundri.

Pablo sudah tidak memikirkan pekerjaannya lagi. Telepon genggamnya dimatikan. Otaknya yang terkenal jenius dan membuatnya dinobatkan sebagai karyawan terbaik, hingga naik jabatan hanya dalam hitungan bulan itu pun dijejali sejumlah kekhawatiran. Seperti bayangan tentang masuk penjara yang terus mengejarnya. Dia sudah tidak memiliki tempat untuk memikirkan kepercayaan dari bosnya yang bertubuh gempal. Baginya, sembunyi dari keramaian adalah pilihan yang bijak untuk saat ini.

Pablo yang belum memiliki istri ini, pada dasarnya memang menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian buruk yang menimpa bocah laki-laki misterius itu. Dia berpikir bahwa bocah tersebut sudah tewas hingga dia tinggalkan begitu saja jasadnya terkapar di bawah mural bergambar wajah Obama. Namun tak jarang juga dia menggerutu dan menyebut-nyebut nama kedua teman yang memaksanya menenggak minuman keras yang bahkan botolnya saja tidak pernah dia sentuh sebelumnya.

"Ayolah. Bukankah memang untuk ini kita datang? Untuk merayakan kenaikan jabatanmu?" Apabila dia mengenang kata salah seorang temannya, Frank, yang berdiri longgar. Sambil memukul ringan pipinya. Waktu itu sekitar pukul 12 malam di dalam sebuah bar kecil yang terletak di pinggiran kota M.

"Ayo. Sedikit saja," bujuk kawannya yang lain. Yang bernama Bony.

Pada akhirnya, Pablo, si karyawan kesayangan bosnya itu menyesali keputusannya mengiyakan perayaan di sebuah bar sebagai bentuk pesta sederhana atas pencapaiannya yang luar biasa dalam beberapa bulan belakangan. Pikirnya, harusnya dia tidak datang ke tempat itu dan menghabiskan cukup banyak uang hanya untuk mabuk dan merasakan pusing di kepala.

Tapi apalah daya. Semuanya sudah terjadi. Selepas paksaan yang berlarut-larut itu, dia akhirnya terbujuk juga. Satu botol, dua botol, bahkan hingga tiga botol. Rupanya sensasi kepala yang berputar-putar dari bir kelas atas di bar itu membuatnya ketagihan. Pablo pulang terhuyung-huyung dengan mulut yang meracau.

Sempat juga dia dipukul pria botak bertato di sebuah kursi yang disinari redup cahaya lampion karena mengatakan lengan pria itu dipenuhi panu. Hingga membuat dirinya dan kedua temannya yang nakal ditendang keluar.

Ketiganya berpisah di parkiran. Salah satu temannya yang pulang dengan motor sempat terjatuh akibat menabrak bilik mesin ATM. Sedang seorang lagi menunggu jemputan dari anggota keluarganya.

Tokoh Pablo, sebagai karyawan tingkat atas tentu lebih berkelas.  Sebagai orang kepercayaan, dirinya diberikan mobil yang tidak terlalu mewah oleh bosnya. Mobil sedan hitam dengan bonyok pada bagian bemper depan dan mesin AC yang rusak, serta lampu sein yang kadang-kadang tidak menyala.

Dalam keadaan sendeng dia memaksakan diri untuk mengemudi, dengan bayangan panu di lengan pria botak yang membuatnya tertawa sendiri, juga bokong besar barista wanita yang membuat gugur air liurnya. Dia jalankan mobilnya perlahan, maju, mundur tersendat penuh keraguan.

Setelah keluar dari jalanan yang agak sempit itu, dia langsung tancap gas saat ban mobilnya baru menyentuh aspal jalan raya. Dia lebih mirip orang gila ketimbang orang mabuk. Dia berteriak-teriak tidak jelas di dalam mobilnya yang pengap.

Kegilaan berlanjut ketika kecepatan mobilnya telah melebihi 100 kilometer perjam. Dengan sekehendak hati dia menggiring laju kuda besinya ke kiri dan ke kanan. Karena jalanan memang sudah sangat sepi saat jarum pendek jam menyentuh angka satu dinihari.

Tapi beberapa menit kemudian dia mendadak hening dan diam. Mobilnya berhenti. Wajahnya berkeringat dan pucat. Matanya terbelalak. Saat itu ia merasa seperti telah menabrak sesuatu.

"Barusan tadi apa?"

Dadanya berdegup kencang. Seolah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhnya. Kemudian dia memutuskan untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi. Dengan mata yang sayu dia memandang sekitar, menemukan batangan kayu sebesar lengan yang telah patah. Pablo lega, menghela nafas. Sebetulnya dia terlalu takut apabila tanpa sengaja menabrak makhluk hidup seperti kucing. Apalagi kalau kucingnya betina dan masih menyusui empat ekor anak yang lebih kecil dari ibu jari kakinya.

Namun dia langsung jatuh terduduk saat menemukan tubuh seorang bocah laki-laki yang  kiranya berusia sepuluh tahunan, sedang terkapar bersimbah darah tepat satu meter di belakang lintasan mobilnya. Tubuhnya gemetar, mulutnya komat-kamit seperti membaca seribu doa dalam satu menit. Pablo mundur dengan menendang-nendangkan kakinya ke aspal yang dialiri oleh darah segar bocah itu.

"Tidak ada saksi. Tidak ada yang melihat." Ia melihat sekeliling dengan debar di jantung yang jauh lebih intens. "Tenang, tenang." Ia melongok ke atas dan menjerit sebentar saat melihat wajah Obama yang terpampang pada sebuah mural.

"Oh! Kau membuat saya semakin takut." Suaranya getir, samar dengan bibir yang masih bergetar. Ia semakin gugup.

Pukul satu dinihari lewat sebelas. Suasana jalan Boulevard 10 baginya semakin mencekam dan megerikan. Darah bocah laki-laki itu terus mengalir dan seperti mengarah padanya. Dia pun segera beranjak dan kembali masuk ke dalam mobil sambil  berbicara pada dirinya sendiri dengan mengulangi kalimat yang sama, "Aku tidak sengaja. Tidak ada saksi. Tidak ada yang melihat."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun