Jika dalam artian mudik yang sebenarnya adalah kepulangan dari kota ke desa selama lebaran, maka saya kira saya tidak pernah benar-benar mudik. Bahkan jika arti dasar mudik hanyalah pulang, maka saya pikir saya juga tidak pernah benar-benar pulang.
Saya lahir, tumbuh, dan bekerja di satu tempat yang sama. Perjalanan hidup saya pendek. Saya nyaris tidak pernah ke mana-mana dan hanya mendiami sebuah titik. Lebih seperti satpam cungkring berkumis tipis yang setia berkeliling komplek. Oi, tapi saya bukan satpam.
Terus terang, kadang-kadang hal seperti itu membuat saya bertanya-tanya seperti apa rasanya makna pulang yang sebenarnya, atau bagaimana rasanya punya kampung halaman. Namun saya tidak sedang berkeinginan menjadi salah satu dari manusia nomad. Tidak. Mereka memang punya sejarah perjalanan dan langkah yang panjang. Tapi mereka tidak memiliki sebidang tanah kelahiran yang benar-benar bisa dirindukan.
Rutinitas Lebaran Fitri saya cuma sebatas berputar-putar di sebuah kecamatan yang pucat dan membosankan. Yang tetapi saya rasa akan sangat saya rindukan apabila cita-cita saya kawin dengan seorang wanita bule dan tinggal di sebuah negara yang dingin dengan harga kebutuhan hidupnya yang mahal itu terkabul.
Sehari penuh lebaran biasanya saya habiskan untuk mengunjungi nenek saya yang juga tinggal di sebuah kampung --yang pada dasarnya lebih terpencil. Saya tidak bercanda walaupun ini terdengar aneh. Tapi, ya, saya mudik --jika itu bisa dibilang mudik-- dari sebuah kampung menuju sebuah kampung lain yang lebih kampung. Hah!