Saya mengalihkan pandangan pada halaman di samping rumah saya yang menjadi ladang air keruh. Saya bisa melihat bayangan diri saya di masa kecil sedang bermain dengan ban sepeda bekas yang ukurannya nyaris sedada. Menggelindingkannya di tengah-tengah hujan deras. Saya tak pernah takut bila besok hari akan sakit. Satu-satunya hal yang saya takutkan adalah ibu saya --dengan tubuh tambunnya-- menunggu saya di depan pintu, memegang gagang sapu yang siap mendarat di salah satu bagian tubuh.
Jika hujan belum behenti lebih dari sejam, biasanya saya melabuhkan kapal-kapal kertas dari hasil robekan buku sekolah. Kadang-kadang saya mengoleskan lambungnya dengan sabun cuci ibu agar kapal-kapal itu bisa melaju beberapa detik sebelum akhirnya basah dan karam. Pernah satu kali saya menghabiskan sekeping buku tulis setebal 25 halaman yang dulu harganya berkisar 500 perak. Sampai-sampai ayah saya menyita tas sekolah saya. "Itu mubazir!" Kata beliau sambil marah-marah. Saya kesal dan kabur ke rumah tetangga, pulang sehabis Isya karena kelaparan. Sekarang saya kira itu aneh sekali. Saya yang salah, malah saya yang marah.
Menjadi kanak-kanak merupakan hal terindah yang pernah dimiliki manusia. Dengan segala kesederhanaan mengartikan kebahagiaan serta kepolosan dalam memandang dunia. Sementara hujan menjadi mesin waktu yang senantiasa merawat kenangan. Dari yang manis hingga yang paling menyedihkan. Seperti hari ini, saat ini.