Namun, di tengah kedamaian ini, nama Rani tetap mengendap di sudut pikiranku. Setiap sore, ketika senja datang, aku teringat wajahnya, senyum tipisnya yang selalu menyembunyikan sesuatu yang tak terkatakan. Aku mencoba melupakannya, tapi gagal. Puisi-puisi yang kutulis masih penuh dengan bayangannya.
Pada suatu sore, sebuah pesan masuk ke ponselku.
"Bolehkah aku datang ke tempatmu?"
Setelah jeda panjang, aku menjawab:
"Tentu saja. Tapi tempat ini sederhana. Mungkin kau tidak akan merasa nyaman."
Dia membalas cepat.
"Aku tidak mencari kenyamanan, Robby. Aku hanya ingin bicara."
Tiga hari kemudian, sebuah mobil berhenti di depan rumah kecilku. Rani keluar dengan seorang pria di sisinya. Dia mengenalkan pria bernama David, partnernya dalam proyek sosial yang sedang mereka kerjakan. David tampak ramah, meski pakaiannya terlalu formal untuk suasana desa ini.
Kami berbicara di ruang tamu kecilku, obrolan awal terasa seperti basa-basi. David berbicara banyak tentang proyek mereka, sementara Rani duduk diam. Setelah beberapa saat, David pamit untuk melihat-lihat desa, memberi ruang bagi kami untuk bicara.
Begitu David pergi, keheningan menyelimuti. Aku menatapnya, tak ingin menyela. Kata-katanya terasa berat, seperti beban yang telah lama ia pikul sendiri.
"Robby," lanjutnya, suaranya gemetar, "aku tahu kita pernah berkata bahwa kita tak bisa melawan waktu atau kenyataan. Tapi aku lelah bersembunyi di balik semua itu. Aku hanya ingin tahu... apakah masih ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki semuanya?"
Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun jawabanku. "Rani," aku berkata akhirnya, "aku pergi bukan karena aku ingin melupakanmu. Aku pergi karena aku ingin menemukan diriku sendiri. Dan di sini, jauh dari segalanya, aku menyadari satu hal---jarak itu bukan tentang tempat, tapi tentang keberanian untuk melangkah."
Dia menatapku, matanya berkaca-kaca. "Dan sekarang? Apa kau masih percaya bahwa kita bisa melangkah bersama?"
Aku mengangguk pelan. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi, Rani. Tapi jika kita sama-sama mau mencoba, aku percaya... kita bisa menemukan jalan."
Air mata akhirnya jatuh di pipinya. Tanpa ragu, aku menggenggam tangannya, untuk pertama kalinya tanpa takut, tanpa ragu. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa jarak di antara kami benar-benar lenyap.
Rani menatapku, mencoba mencari kata-kata. "Aku pikir aku akan baik-baik saja tanpamu, Robby. Tapi semakin aku mencoba melupakan, semakin aku sadar betapa besar jarak yang sebenarnya ada di dalam hatiku."
Aku mencoba menenangkan diriku. "Jadi, apa yang membuatmu datang sekarang?"
"Aku hanya ingin memastikan, apakah masih ada kesempatan untukku, robb" jawabnya.
Kami berjalan keluar rumah. Langit senja kekuningan, menciptakan bayangan panjang di sekitar kami. Setelah beberapa saat, aku berkata pelan, "Rani, kau tahu aku mencintaimu, bukan?"
Dia berhenti, menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Aku tahu, Robby. Tapi ada sesuatu yang sulit ku katakan."
Aku menahan napas. "Apa itu, Rani?"
Dia menarik napas panjang, tampak ragu. "Aku sudah menikah."
Dunia seakan berhenti berputar. Aku memandangnya, mencari tanda-tanda bahwa ini hanya lelucon buruk, tapi ekspresinya terlalu serius.
"Menikah? Dengan siapa? Kapan?" tanyaku dengan suara yang lebih tinggi dari yang kuinginkan.
"David," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Kami menikah dua bulan yang lalu."
Aku merasa marah, bingung, dan hancur sekaligus. "Lalu kenapa kau datang ke sini? Kenapa kau masih bicara tentang kesempatan?"
Dia menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Karena aku ingin kau tahu, Robby. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Tapi aku tak punya pilihan lain."
Aku tertawa pahit. "Tidak punya pilihan? Apa maksudmu, Rani?"
Dia menghela napas panjang, seakan menanggung beban yang terlalu berat. "Kita berbeda, Robby. Beda keyakinan. Aku mencoba melawan, mencoba percaya bahwa cinta kita cukup untuk mengatasi semua itu. Tapi keluargaku... mereka tidak akan pernah menerima kita. Dan aku tidak bisa melawan mereka. Aku harus memilih jalan yang menurut mereka benar."
Aku terdiam, kata-katanya seperti menghujam hatiku.
"David... dia seagama denganku," lanjutnya. "Dia adalah pilihan yang tepat di mata mereka. Aku tidak pernah mencintainya seperti aku mencintaimu, tapi aku harus menerimanya."
Aku merasa hampa. "Jadi semua ini... semua yang kita punya, hanya berakhir karena itu?"
Dia menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Aku tahu ini tidak adil. Tidak untukmu, dan mungkin juga tidak untukku. Tapi aku tak punya kekuatan untuk melawan dunia, Robby."
Keheningan menggantung di antara kami. Aku ingin marah, ingin menyalahkannya, tapi aku tahu itu tidak akan mengubah apa pun.
"Rani, kalau begitu kenapa kau datang ke sini? Kenapa kau harus menghidupkan harapanku? Sesuatu yang sudah jelas-jelas kau bunuh?"
Dia terisak. "Karena aku ingin kau tahu, aku tidak pernah memilih ini dengan mudah. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu."
Aku menatapnya, merasakan campuran cinta dan kemarahan yang tak bisa kujelaskan. "Kau tahu, Ran? Mungkin kau tidak berhenti mencintaiku. Tapi kau berhenti berjuang untuk kita. Dan itu sama saja."
Dia menangis semakin keras, tapi aku tetap diam. Setelah beberapa saat, dia berbalik dan berjalan kembali ke mobil. David menatapku sekilas dengan ekspresi bingung sebelum masuk ke dalam mobil bersama Rani.
Malam itu, aku duduk dalam keheningan, mencoba memahami semua yang telah terjadi. Aku tahu cinta kami nyata, tapi aku juga tahu bahwa cinta itu tak cukup untuk melawan batas-batas yang diciptakan dunia ini.
Aku tak tahu apakah aku bisa memaafkannya, tapi aku tahu satu hal: aku harus melanjutkan hidupku, tanpa bayang-bayang Rani. Dia telah memilih jalannya, dan aku harus memilih jalanku.
Bintang-bintang di atas tampak berkilauan, seperti mata-mata kecil yang mengawasiku dalam diam. Aku menarik napas panjang dan menutup mata, membiarkan malam menelan semua kenangan yang masih tersisa.
Cinta kita mungkin abadi, tapi ia tak punya bentuk. Ia serupa bayang-bayang di langit, indah untuk dilihat namun tak bisa digenggam. Aku akan mencintaimu, Rani, tapi cinta itu akan kubiarkan menjadi puisi, sesuatu yang hidup dalam kata, tapi mati dalam kenyataan.