Dia menatapku, namun tak langsung menjawab. Wajahnya tenang, tatap matanya dingin, tapi aku bisa melihat raut kesedihan yang samar di matanya. Rani tak pernah bisa menyembunyikan apa yang dia rasakan, meskipun kata-kata tak pernah mudah keluar darinya.
"Apa maksudmu, Robby?" jawabnya akhirnya, suaranya lembut, namun ada ketegangan yang terpendam.
"Entahlah," aku menjawab, mengusap wajah dengan tangan, merasa sedikit kelelahan. "Aku hanya mencoba... berulangkali mengartikan jarak, namun sampai saat ini, aku tak tahu bagaimana cara mendekatkannya."
Rani menundukkan kepala, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir habis. Di matanya, ada keraguan yang sulit kuartikan. "Kita cukup mengikuti aliran, bukan?" katanya pelan. "Aliran waktu, aliran takdir. Kadang, sejauh apapun jaraknya, semua akan mengalir dan bemuara pada hilirnya."
Aku mengamati Rani, tak bisa memungkiri bahwa aku merindukannya lebih dari sekadar pertanyaan konyolku ini. Kami sudah terlalu sering saling menyembunyikan rasa ini, muak dengan kata-kata indah ---yang tak pernah menjadi paragraf utuh. Apalagi cerita?
Hari-hari berlalu, dan semakin sering kami bertemu dalam berbagai kesempatan, aku merasa perasaan ini semakin tumbuh. Tetapi, entah bagaimana, kami selalu menemukan cara untuk mengalihkan percakapan ke hal-hal yang lebih aman---perihal pekerjaan, kegiatan, atau bahkan obrolan ringan tentang cuaca. Tapi di balik semua itu, aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin kami ungkapkan.
Aku menulis puisi untuknya, banyak sekali. Namun tak pernah kutunjukkan. Di setiap baris, ada bayang-bayangnya, ada dirinya yang berdiam di ruang-ruang pikiranku. Setiap kata, setiap kalimat yang kubuat, seperti bentuk lain dari perasaan yang tak mampu kuungkapkan secara langsung.
Isyarat darinya ada, namun terhalang dinding tebal. Di matanya, ada kehangatan yang berusaha ia sembunyikan. Terkadang, aku melihatnya menatap jauh ke luar jendela, seolah ada sesuatu yang sedang ia cari, sesuatu yang ia tak bisa temukan di dunia yang dia jalani. Jujur, saat itu aku takut, takut salah membaca tanda.
Namun, kami berdua tahu---meskipun kami berbicara dengan cara kami sendiri, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.
Suatu malam, setelah pertemuan yang penuh ketegangan, kami duduk sambil makan di pinggir jalan, sambil diskusi tentang masa depan. Aku melihat Rani menunduk, namun kali ini tidak ada senyum seperti biasanya. Ada ketenangan yang lebih dalam, tapi juga seakan ada ketegangan yang sama-sama kami rasakan.
"Rani," aku berkata dengan hati yang berdebar, "apakah kau merasa kita hanyut di aliran yang sama?"
Rani tersenyum, tetapi senyumnya terasa tipis. "Aku rasa begitu," jawabnya, "meskipun kadang aku merasa kita berada di persimpangan yang berbeda, tetapi derasnya rasa seakan membawa kita ke muara yang sama."
Aku menatapnya, ingin sekali mengungkapkan semuanya, namun kata-kata tak datang dengan mudah. "Tapi kita selalu... terpisah sedikit, bukan?" kataku, suaraku terhimpit perasaan yang sulit dijelaskan.
Rani mengangguk perlahan, menunduk sejenak. "Kita selalu berusaha mendekat, Robby, tapi ada kalanya, kita harus menerima bahwa kedekatan itu hanya ada dalam angan."
Ada keheningan panjang yang mengikuti kata-katanya. Aku ingin menjawab, memberi semangat, mengatakan bahwa mungkin kami bisa melewati semua ini bersama. Tetapi entah kenapa, aku tahu jawaban itu tak akan cukup untuk mengatasi kenyataan yang sudah ada di depan mata kami.
"Kadang, kita terlalu berusaha, kan?" lanjut Rani, suaranya semakin lembut. "Kadang, kita hanya perlu menerima bahwa sekeras apapun kita berusaha, manusia tak akan bisa mengatur takdirnya sendiri."
Aku merasa sakit di dadaku, tapi aku tahu ini bukanlah saatnya untuk berdebat. "Mungkin," jawabku pelan, "tapi itu tak mengurangi perasaan ini. Tak mengurangi betapa aku... merasa kita memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar omong kosong ini."
Rani memejamkan mata, lalu menarik napas panjang. "Aku tahu, Robby," katanya, hampir berbisik. "Aku tahu. Tapi kita tak bisa melawan waktu, menaklukkan ruang, atau kenyataan yang mengikat kita."
Aku ingin menggenggam tangannya, memberi tahu dia bahwa aku siap untuk menunggu, siap untuk melewati semua ini. Tapi aku hanya bisa menatapnya, dalam diam yang penuh dengan ketidakpastian.
Beberapa minggu kemudian, Rani semakin sibuk. Proyek besar yang ia luncurkan menjadi pusat perhatian, dan semua mata akan terfokus padanya. Aku tahu, di balik kesuksesannya, ada beban yang tak pernah ingin ia tunjukkan. Aku juga tahu bahwa dia semakin menjauh, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Sementara itu, aku tetap berjuang di jalan yang tak pernah ia pilih---di dunia yang penuh dengan protes dan ketidakadilan.
Suatu malam setelah sebuah gala besar yang diadakan oleh perusahaannya, kami bertemu lagi. Rani tampak lelah, tetapi senyum tipisnya selalu berhasil menutupi semua itu. Kami duduk berdua, dalam keheningan yang lebih berat dari biasanya.
"Aku harus pergi, Rani," aku akhirnya mengatakannya, meskipun hatiku bergetar. "Aku tak bisa lagi berpura-pura bahwa ini akan berubah. Mungkin kita tak ditakdirkan untuk bersama."
Rani menatapku, matanya seakan kosong, tetapi ada sesuatu di sana yang membuatku tak bisa melanjutkan kalimat itu. "Apa maksudmu, Robby?" tanyanya, dengan nada berat dan terbata-bata.
Aku menghela napas panjang. "Aku tak tahu, Rani. Aku hanya tahu satu hal: cinta ini akan selalu ada, meskipun dunia ini menghalangi kita. Mungkin tidak dalam bentuk yang kita inginkan, tapi aku yakin itu ada. Dalam setiap kata, dalam setiap kenangan."
Rani mengangkat tangan, menyentuh pipinya seakan menahan air mata yang tak mau jatuh. "Kita tak pernah punya kesempatan untuk mengatakannya, Robby," katanya perlahan. "Tapi aku tahu... aku tahu kita selalu ada di sana, dalam satu sama lain."
Aku menggenggam tangannya, tanpa kata-kata, karena dalam diam itu, kami tahu---meskipun kami terpisah oleh perbedaan, cinta ini akan tetap hidup. Bahkan jika itu hanya dalam kenangan, dalam kata-kata yang menguap dan tak pernah membiru di awan.