Senja di Malioboro biasanya penuh dengan kehidupan---gelak tawa turis, teriakan pedagang yang menawarkan dagangan, dan alunan musik jalanan yang memeriahkan suasana. Namun sore itu, ada sesuatu yang berbeda. Di sudut sebuah kafe kecil, Ares duduk diam, memandangi segelas kopi yang masih mengepulkan asap tipis. Cangkir itu berwarna hitam pekat, dengan aroma yang begitu familiar, namun seolah tak mampu menyentuh indra penciumannya. Di luar, warna jingga senja memeluk Yogyakarta dengan lembut, namun di matanya, cahaya itu tampak pudar, seakan kehilangan daya magisnya. Hiruk-pikuk khas Malioboro, yang biasanya membahana, kini terasa begitu jauh. Suasana itu terasa sepi, hanya ada denting gamelan samar dari toko seberang, suara kendaraan sesekali melintas, dan bisikan angin yang tak cukup mampu menggoyahkan kekosongan di hatinya. Seperti dirinya, kota ini tampaknya sedang menyimpan sebuah cerita yang belum tuntas.
KEMBALI KE ARTIKEL