Belitung, 1920. Aroma gaharu dari kelenteng tua di sudut pecinan bercampur dengan lantunan azan Maghrib dari surau kampung nelayan. Di tengah pemandangan senja yang syahdu, Wu Liang berdiri di depan altar leluhur. Tangan tuanya gemetar saat membakar kertas sembahyang. “Para leluhur, ampunilah anakku. Ia telah melupakan jalan yang kalian ajarkan,” bisiknya dalam dialek Hakka.
KEMBALI KE ARTIKEL