Akronim “Jilbab Syar’i” menjadi sebuah neologisme dalam konteks budaya Islam Indonesia. Sebuah neologisme biasanya membawa kepada interpretasi baru, kesibukan baru bahkan kecemasan baru. Sebagai sebuah istilah, “Jilbab Syar’i” bisa saja menjadi
contadictio in adjecto, dimana kata sifat yang menerangkan, yaitu “
syar’i” dan kata benda yang diterangkan yaitu “
jilbab” berada pada posisi kontradiksi secara logis. Untuk menyebut satu saja perbedaannya, bahwa kata “jilbab” memiliki konotasi budaya dan “syar’i” sendiri merupakan term agama. Akan semakin rancu jika istilah jilbab syar’i ini—dengan model jilbab yang panjang sampai menutupi badan—kemudian dihadapkan dengan jilbab konvensional (bukan syar’i?) yang hanya sekedar penutup kepala atau memanjangkan jilbab-nya sampai menutupi dada dan setengah badan misalnya. Lalu banyak orang bertanya, yang syar’i yang mana? Ini adalah kecemasan sebagian orang terhadap terminologi jibab syar’i itu sendiri.
KEMBALI KE ARTIKEL