Di suatu malam di Yogyakarta, Sastro duduk di kursi rotan tua di teras rumah anaknya. Angin dingin bulan Desember membawa bau tanah basah, namun pikirannya jauh melayang. Di tangannya tergenggam sepucuk surat yang baru saja ditemukan, terselip di antara buku-buku lawas milik istrinya. Surat itu, meski sudah usang dan hampir tak terbaca, seperti bara yang menghanguskan hatinya.
KEMBALI KE ARTIKEL