"Salim, masih di sini rupanya! Kapan kamu menulis memoarmu, 'Di Usia 40, Aku Mulai Hidup'?" canda Budi sambil memesan kopi.
Salim tertawa, "Ah, Budi, kamu ini. Memoar? Saya baru saja mulai, kok. Masa sudah pensiun aja."
Anita tersenyum, "Tapi serius, Lim. Kamu sudah mulai menulis kan? Jangan sampai nanti kepala empat, masih bilang 'mau mulai' terus."
"Sudah dong, Nita. Malah, dua minggu lagi, saya mau mencoba sesuatu yang baru. Sebuah antologi cerita pendek," jawab Salim sambil menyesap kopi panasnya.
"Wah, serius nih?" tanya Anita, matanya berbinar penasaran.
"Serius. Tapi jujur, saya kadang ragu. Apa iya bisa ya?" Salim menghela nafas, matanya memandang jauh ke luar jendela.
Budi menepuk bahu Salim, "Lim, kapan kamu akan berhenti meragukan diri sendiri? Kamu punya bakat, pakai itu. Siapa tahu, nanti ada produser film yang kepincut."
Mereka bertiga tertawa.
"Bayangin aja, Salim. Naskahmu di layar lebar, semua orang tahu kisahmu. Itu kan hebat!" Anita menambahkan, antusias.
"Nah, itu dia. Saya pengin bisa buat sesuatu yang berarti. Bukan cuma buat saya, tapi mungkin bisa inspirasi orang lain yang merasa terlambat," Salim akhirnya berbagi harapannya.
Suasana menjadi sedikit hening, mereka semua tahu betapa mendalam keinginan Salim untuk berhasil.
"Tapi, sebelum itu, ada yang lebih penting nih," Budi tiba-tiba berkata serius.
Salim dan Anita memandangnya, bingung.
"Pertama-tama, kamu harus traktir kita malam ini! Sudah berhasil mulai menulis, harus dirayakan," canda Budi, mengembalikan suasana riang.
Salim tertawa, "Ya sudah, malam ini saya yang bayar. Tapi jangan sampai lupa, ya, doa dan dukungan kalian sangat saya butuhkan!"
"Selalu, Lim. Selalu," sahut Anita, mereka bertiga tersenyum lebar, berjanji akan selalu mendukung satu sama lain dalam mengejar mimpi-mimpi mereka.