Rina, dengan candaan khasnya, melempar lelucon tentang kopi pagi mereka, "Bayu, kamu ini kalau nggak ada kopi kayaknya bisa salah masuk kantor deh!"
Bayu, yang sedang menyesap kopinya, tertawa. "Iya, nih. Kopi di sini kayak bensin buat aku. Kalau nggak minum, mesinnya nggak mau nyala!"
Percakapan mereka berlanjut, tetapi topiknya berubah menjadi lebih serius ketika Rina mulai berbicara tentang rencananya untuk membuka usaha sendiri. "Yu!, aku lagi mikir nih, pengin buka usaha kecil-kecilan. Kira-kira enaknya jualan apa ya yang cocok?"
Bayu menatap Rina dengan ekspresi serius, menaruh cangkirnya. "Rina, kamu kan suka banget sama baking. Kenapa nggak coba buka toko kue? Aku yakin bakal laku keras, apalagi kalau kue-kue tradisional yang unik."
Rina mengangguk pelan, tampak mempertimbangkan usul Bayu. "Hmm, kue tradisional ya? Kayak lemper atau risoles gitu?"
"Tepat sekali! Kamu bisa coba variasi rasa yang unik, atau mungkin kue-kue yang jarang ditemui. Jangan lupa, branding yang menarik juga penting lho," saran Bayu sembari tersenyum.
Pak Darman, yang sedang lewat dengan nampan penuh gelas kopi, menimpali, "Betul itu, Rina. Di sini, yang unik-unik selalu dicari orang. Kamu bisa mulai dari yang kecil, lalu kembangkan pelan-pelan."
Rina tersenyum, terinspirasi oleh ide dan dukungan dari temannya dan Pak Darman. "Makasih, ya, Yu. Dan makasih juga Pak Darman. Kayaknya aku harus mulai riset deh!"
Keduanya tertawa lagi, menikmati sisa pagi mereka dengan secangkir kopi yang masih menghangatkan tangan dan hati mereka. Rina merasa semangatnya mulai berkobar, siap untuk menjelajah peluang baru yang mungkin akan membawanya pada petualangan bisnis yang menarik.
***
Beberapa hari setelah percakapan di warung kopi Pak Darman, Rina memutuskan untuk melakukan riset pasar dengan mengunjungi pasar tradisional di kota Bandung. Bersama Bayu, ia berkeliling mencari inspirasi untuk produk kue tradisional yang ingin ia buat. Pasar yang ramai dan penuh warna menjadi latar belakang sempurna untuk hari mereka.
"Rin, coba lihat ini, kue cubit versi greentea. Kira-kira kalau kita modifikasi dengan rasa lokal gimana?" tanya Bayu, sambil menunjukkan sepiring kue cubit yang baru saja dibeli dari salah satu pedagang.
Rina memeriksa kue tersebut dengan minat. "Wah, bisa nih. Bayangkan kalau kita tambahkan ekstrak pandan atau bahkan kopi. Bisa jadi hit nih!"
Mereka berdua tertawa saat membayangkan berbagai kreasi kue yang mungkin mereka buat. Di antara tawa dan canda, Bayu tiba-tiba menyeriuskan wajahnya, "Rin, kamu udah mikirin soal branding dan pemasaran belum? Kita bisa bikin kemasan yang eco-friendly, tawarkan ke kafe-kafe kecil sebagai menu pendamping kopi."
Rina mengangguk sambil mencatat ide tersebut di ponselnya. "Ide bagus, Yu! Aku juga pengin branding-nya mencerminkan budaya lokal, tapi dengan sentuhan modern."
Kemudian, mereka berhenti di sebuah kedai yang menjual aneka bahan kue. Rina membeli beberapa bahan, seperti tepung beras dan santan, sambil berdiskusi dengan pemilik kedai tentang resep kue tradisional yang mungkin bisa dimodifikasi.
"Bu, menurut ibu kue apa yang lagi dicari-cari orang sekarang?" tanya Rina kepada pemilik kedai.
Pemilik kedai, seorang ibu paruh baya dengan senyum ramah, menjawab, "Sekarang ini banyak yang cari kue pukis, nak. Mungkin bisa dibuat dengan rasa-rasa unik, seperti coklat atau keju."
Rina dan Bayu bertukar pandang, keduanya tampak tertarik. "Makasih banyak, Bu!" ucap Rina seraya membayar pembelian mereka.
Mereka berdua meninggalkan pasar dengan kepala penuh ide dan hati yang gembira. Rina merasa lebih siap dari sebelumnya untuk memulai usahanya. Di tengah keceriaan mereka, sebuah pesan dari Pak Darman masuk ke ponsel Bayu, "Siang ini senggang, ngopi yuk di warung, ada yang ingin saya omongkan tentang rencana Rina."
Mata Rina berbinar, penasaran dengan apa yang mungkin Pak Darman tawarkan untuk membantu mewujudkan mimpinya.