Saya pernah membaca sebuah postingan dari Profesor A yang mengekspresikan ketidaksepahamannya dengan pendapat Profesor B. Alih-alih membahas ide atau argumen yang diajukan oleh Profesor B, Profesor A lebih memilih untuk menyerang pribadi B. Sebagai pembaca, saya merasa takjub dengan fakta bahwa seseorang dengan latar belakang akademik yang luar biasa bisa terjebak dalam retorika semacam itu. Ketika saya mengajukan sebuah pertanyaan sederhana, "Anda itu siapa?", bukannya mendapatkan jawaban yang konstruktif, saya malah menjadi sasaran serangan pribadi dari Profesor A dan pengikutnya.
Kejadian ini bukanlah insiden terisolasi. Seringkali kita melihat bagaimana perdebatan agama, politik, atau isu sosial berakhir dengan serangan pribadi antara dua pihak yang berselisih pendapat. Apa yang seharusnya menjadi forum diskusi yang sehat berubah menjadi pertempuran ego. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Salah satu jawabannya adalah kita cenderung melihat dunia dalam perspektif 'kami vs mereka'. Sehingga, ketika ada seseorang yang memiliki pandangan berbeda, kita merasa terancam dan cenderung melindungi diri kita dengan cara apapun, termasuk menyerang pribadi orang tersebut. Kita lupa bahwa perbedaan adalah hal yang alami dan berharga. Kita juga lupa bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat.
Selain itu, media sosial memudahkan kita untuk berinteraksi tanpa harus melihat ekspresi wajah, mendengar nada suara, atau merasakan emosi lawan bicara kita. Hal ini membuat kita mudah untuk melupakan bahwa di balik setiap akun adalah manusia dengan perasaan, pikiran, dan pengalaman hidupnya masing-masing.
Saat ini, budaya 'cancel' atau mengisolasi seseorang karena pendapat atau tindakannya juga semakin marak. Meski ada beberapa kasus di mana budaya ini memberikan dampak positif, namun seringkali hal ini justru menimbulkan polarisasi yang lebih dalam dalam masyarakat.
Dalam kisah lain yang saya temui, seorang ustadz menyerang pribadi ustadz lainnya dengan kata-kata yang tidak indah. Di tempat lain, seorang individu menulis tentang pentingnya berdoa dengan baik, tetapi kemudian berakhir dengan mendoakan musibah bagi pembacanya. Ironisnya, kita sering lupa bahwa kita semua sejatinya adalah makhluk yang penuh dengan kebaikan dan ingin menyebarkan kebaikan.
Mungkin saatnya kita kembali merefleksikan diri. Mengapa kita begitu mudah menyerang pribadi orang lain? Mengapa kita begitu mudah melupakan esensi dari diskusi dan perbedaan? Bagaimana kita bisa menjadi lebih empatik dan menghargai pandangan orang lain?
Sebagai penutup, saya ingin berbagi sebuah doa yang saya temukan, "Rabbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa Ba'da Idz Hadaitanaa wa Hab Lana Mil-Ladunka Rahmatan Innaka Antal-Wahhaab". Doa ini meminta kepada Tuhan untuk selalu memberi petunjuk dan rahmat-Nya, sehingga kita tidak mudah tersesat dalam perbedaan dan emosi sesaat.
Mari kita berusaha untuk selalu mengingatkan diri kita sendiri bahwa setiap individu memiliki nilai dan martabatnya. Setiap perbedaan pendapat adalah kesempatan untuk belajar dan memahami lebih dalam. Dan yang paling penting, mari kita jadikan media sosial sebagai wadah yang positif, konstruktif, dan penuh dengan kebaikan.