Entah apa yang ada dalam benak orang tua yang mendaftarkan anaknya ke SSB. Membayangkan anaknya kelak seperti CR7 yang trilyuner, digilai cewek, de el el? Untuk yang ini, bukalah lembaran koran lama dan cari siapa saja pesepakbola negeri ini yang pernah jaya. Sekarang, bagaimana kebanyakan nasib mereka? Memimpikan anaknya setelah gantung sepatu menjadi Pengurus PSSI lalu jadi Ketua AFC seperti Platini di Eropa? Untuk yang ini, negeri ini belum memiliki data.
Karena itu saya tidak memasukkan dua orang jagoan saya ke SSB di kota Sampit meskipun saya sangat berbakat menjadi komentator sepakbola (benar, saya sangat gampang menemukan serta mencari-cari kelemahan taktik para tactician kelas dunai macam Mourinho, Sir Alex Ferguson, de el el ..... maklum). Paling tidak saat ini.Saya memilih memasukkan anak saya ke sebuah klub taekwondo.
"Lho, katanya hobi bola, anak koq ga' diarahkan ke SSB?" tukas seorang kawan.
"Nantilah," saya jawab, "Setelah mereka mencapai sabuk tertentu dan sudah bisa mempertahankan diri baru saya masukkan SSB. Banyak juga pesepakbola dunia yang baru belajar sepakbola setelah usia SMP."
"Maksudnya?"
"Lho, apa ga liat. Pemain, supporter, pengurus .... semua suka tawuran. Jadi, utamakan dulu bekal bela diri baru belajar sepakbola. Ibrahimovic, misalnya, gak sembarang pemain berani bikin gara-gara. Pemegang black belt taekwondo. Kalo mukul juga ga nanggung, kan?"
"Betul juga," ujarnya setelah berkontemplasi. "Kayak Zidane, ya? Kalo aja dia punya kehebatan bela diri, pasti tidak pake nyundul-nyundul seperti itu. Minimal Kung Fu-nya Eric Cantona yang dipake."
Nah, belum lagi resiko dikeroyok supporter. Tanpa martial arts skill yang bagus, jelas tak bakal bisa berlaga secara berkesinambungan. Atau diakali pengurus klub atau diobok-obok Pengurus PSSI.
Kesimpulannya, masukkan seni bela diri dalam kurikulum SSB sebagai mata kuliah wajib.
Selamat ber-Kung Fu di lapangan sepakbola.