[caption id="" align="alignleft" width="189" caption="sumber ilustrasi: google "][/caption] Ketika Rezim Orba berkuasa, kita kerap mendengar kata "bahaya laten". Dan kata itu sering ditautkan dengan sebuah isme yakni komunis. Labelisasi itu bermula dari satu titik dalam perjalanan bangsa ini yakni pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada September 1966 atau yang popler disebut "G.30.S.PKI". PKI dituding menganut ideology yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya, komunisme dan hal-hal yang "berbau kiri" lainnya jadi sesuatu yang terlarang dengan diterbitkan TAP MPRS Tahun 1966. Luar biasa memang sikap Rezim Orba itu, hingga keturunan penganut komunis pun turut dimusuhi walau mereka masih kecil bahkan banyak yang belum lahir ketika pecah G.30.S.PKI. Mereka seakan menjadi warga kelas sekian di negeri ini. Ini jelaslah ironi bagi Negara hukum, yang mestinya tidak menegakkan perbedaan dalam menjalankan pemerintahan (
equality before the law). Jaminan konstitusional itu tak jadi sesuatu yang azasi bagi penganut komunisme dan keturunannya. Tapol dan Napol tidak diterima secara baik di tengah masyarakat. Begitulah akibat social yang merebak. Sebuah kesuksesan atas proses yang mengidoktinasi, yang saya kira juga kian memanjangkan deret pelanggaran HAM. Tapi justru tidak diambil peduli oleh Negara penggiat HAM, aneh!
klik Karenanya terbersit keyakinan bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang terlucuti daya kritis dalam menyikapi praktik politik itu. Alih-alih mendebatnya, bahan pembanding saja ketika itu tak beredar bahkan lebih sulit diperoleh ketimbang barang antik. Yang ada hanya sebuah doktrin Dan penjara pun dicadangkan bagi penganutnya. Hingga Gusdur ketika menjabat sebagai presiden meluncurkan gagasan pencabutan larangan komunisme, yang penuh kontraversial itu. Bahkan hingga saat ini, masih saja hadir pro-kontra soal itu. Terlepas dari semua itu, saya sepakat untuk melakukan hal luar biasa -tapi yang tidak melanggar HAM- untuk memerangi sesuatu yang mengancam negeri ini seperti katakanlah terorisme, narkoba dan korupsi. Ketiganya telah dipandang sebagai
extraordinary crime sehingga baginya masing-masing dibentukkan garda untuk memeranginya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, (KPK) Densus 88 Anti Teror serta Badan Narkotika Nasional (BNN). Pembentukan itu wajar, karena ketiganya adalah bahaya yang mengancam kita. Tapi saya kira, bukan hanya itu saja yang pantas dibentukkan garda. Masih ada yang lain, bahkan kejahatan yang lain itu lebih berbahaya, merusak sendi kita sebagai Negara hukum. Kejahatan yang saya maksudkan yakni "Mafia Hukum". Sebuah cerita lama tapi baru terungkap karena ada yang berani mengungkapnya. Dimulai dari skandal "Cicak vs Buaya" yang melahirkan Satgas Mafia Hukum (SMH). Kemudian berturut-turut muncul beragam skandal hukum antara lain kamar "V-Vip" di LP Pondok Bambu, "Gayus, Manusia 28 Milyar", Mr X dan SJ sesuai tudingan Susno Duaji dan entah siapa dan apa lagi nanti yang bakal terkuak. Semua itu menjadi bukti atas praktek kotor pada penegakan hukum di Negara ini. Selama ini praktik itu sulit dibuktikan keberadaannya tapi ketidak-adilan yang tercipta terasa di mana-mana Dari pinggir jalan hingga ke gedung-gedung pemerintahan.
(klik) Sesungguhnya kata "mafia hukum" itu bukan hanya dilekatkan pada intitusi penegak hukum tapi juga lembaga layanan public lainnya. SMH, sebagai-mana dilansir oleh detiknews
, mengatakan ada 9 macam mafia dan mereka siap melakukan perang terhadapnya.
(klik) Kata "perang" yang terlontar itu mengingatkan saya akan sikap Orba terhadap komunsime. Terlepas dari pro-kontra akan sikap Orba itu, saya mendukung sepenuhnya perang yang jadi pilihan SMH itu. Bahkan menurut saya, SMH mestinya meluncurkan rudal nuklir dalam perang itu. Ini tentunya hanyalah ungkapan guna melukiskan upaya yang harus ditempuh oleh SMH. Betapa tidak, mereka hanya dilimitkan waktu selama 2 tahun untuk melakukan
sweeping terhadap kotoran yang sudah merebak di mana-mana itu
. Tak cukup waktu saya kira tanpa upaya yang luar biasa, Dan memang dibutuhkan sesuatu yang luar biasa sebab praktek mafia hukum itu adalah soal yang luar biasa. Dan sayangnya lagi SMH hanyalah lembaga sekelas satgas yang bertindak atas nama presiden. Jadinya lebih berkesan bahwa pemberantasan mafia hukum, (maaf) hanya merupakan tugas kepresidenan semata. Padahal realitas yang terungkap dan akibat yang ditimbulkan oleh para
Mafioso itu menunjukkan bahwa perang tersebut adalah peperangan kita! Yang mestinya digencarkan hingga ke seantero negeri ini. Karenanya, kita membutuhkan sebuah garda nasional yang dibentuk hingga ke daerah-daerah. BNN saja ada ditingkat daerah. Mengapa hal yang berdaya rusak luar biasa itu tidak dibentukkan hal yang serupa. Sudah barang tentu perang ini dimulai pada lembaga hukum sebab dia adalah pilar utama penegakan hukum. Karena itu harus dikokohkan agar tak seperti "Benteng Takhesi" yang berkesan kokoh tapi sesungguhnya rapuh. Saya jadi teringat ungkapan Achmad Ali tentang "sapu kotor". Lantai tak mungkin dapat dibersihkan dengan menggunakan sapu kotor, demikian kurang lebih beliau mengungkap. Artinya, hukum tidak mungkin tegak kalau penegaknya berperilaku kotor. Yang hendak saya katakan pada postingan ini adalah diperlukan sesuatu yang luar biasa untuk memerangi hal-hal yang luar biasa pula. Seperti melawan mafia hukum. Kalau dulu Rezim Orba telah melakukan sesuatu yang luar biasa terhadap komunisme, mengapa kini tidak dilakukan hal yang sama pada para Mafioso itu. Sebab mafia hukum adalah rayap yang merapuhkan pilar Negara kita. Ya... seperti judul di atas,
"Dahulu Komunisme, sekarang Mafia hukum". Akhir kata,"
Ewako Satgas !!! ".
Wassalam. (sj)
KEMBALI KE ARTIKEL