Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Bahaya Mengintai Kompasianer pro-Demokrasi

26 November 2009   04:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 450 0
[caption id="attachment_29902" align="alignleft" width="159" caption="karet"][/caption] BERASAL  dari pasal karet (hatzaai artikelen) sebagaimana di atur dalam pasal 27 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE), khususnya ketentuan dalam ayat 3 sebagai berikut: “… Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik …“ Persoalannya adalah tidak terdapat parameter yang dapat digunakan untuk menakar terjadinya peristiwa “penghinaan” atau “pencemaran nama baik” dalam UU ITE itu sendiri. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan jika kaidah di atas dilabeli kata “pasal karet” yang senafas dengan pasal 160 KHUP made in Pemerintahan Kolonial Belanda itu.  Yang boleh ditarik ulur penafsirannya oleh orang yang merasa terhinakan atau tercemar nama baiknya. Biasanya dilakukan oleh penguasa dari negeri tiran yang tidak senang dikritik. Tapi masihkah ada negeri seperti itu? Yang pasti pasal karet tidak memberi jaminan kepastian hukum bagi pencari keadilan. Sementara kepastian merupakan salah satu sendi dasar hukum, disamping aspek manfaat dan keadilan. Pertanyaan selanjutnya adalah, “layakkah kita pertahankan ketidak-pastian seperti itu ditengah hembusan angin demokratisasi yang kian bertiup dari gerakan pro-demokrasi di Indonesia?”. Dan saya menduga banyak blogger, khususnya Kompasianer yang telah mewasiatkan dirinya untuk demokratisasi. Disadari bahwa Negara harus melindungi warganya dari penghinaan dan atau pencemaran nama baiknya. Dan saya sepakat dengan semua itu, terlebih lagi pada masa ini dimana akses infomasi makin mudah diperoleh dari manapun. Dan makin mudah saja lantaran tumbuhnya jurnalisme warga seperti Kompasiana Public Blog. Namun bukan berarti, untuk maksud tersebut, Negara  boleh melahirkan kaidah yang dapat ditarik-ulur seperti karet gelang. Sebab itu sama berarti kita mengembalikan lompat indah demokratisasi yang telah mulus kita gapai melalui reformasi kepada rezim tiran. Tentu akan menjadi sebuah ironi jika hal seperti itu tetap dipertahankan sementara Pemerintah Belanda sebagai bidan yang melahirkan KUHP telah meninggalkan pasal-pasal karet dalam hukum pidananya. Lantas mengapa kita mesti mengulangnya  melalui UU ITE? Entahlah…. Lagipula, soal terhina atau tercemar nama baik sesungguhnya hanyalah ikhwal yang berkenaan dengan sesuatu yang amat pribadi dan karena itu tak perlu rasanya membawanya ke ranah publik. Sehingga ketika ada warga atau bahkan pimpinan dari sebuah institusi yang merasa terusik nama baiknya atau merasa dihina oleh sebuah postingan, maka  cukup ajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang tunduk sepenuhnya pada kaidah keperdataan. Oleh karena itu, demi tegaknya demokratisasi di negeri ini, maka tiada pilihan lain bagi saya selain menolak seluruh pasal karet dalam perundang-undangan kita. Sama seperti yang tengah dilakukan oleh Rizal Ramli di MK. Bagaimana dengan Kompasianer lainnya? Akhir kata, para Kompasianer Nan Budiman, sebelum pasal karet di atas dicabut, ingatlah  “Think before post”.  Olehnya itu sediakan payung sebelum hujan ! Waspadalah!. Wassalam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun