Penghargaan atas kemantapan iman keluarga Ibrahim-Hajar dan Ismail, ritual ibadah korban terus dijalankan hingga saat ini. Korban sembelihan binatang ternak dagingnya ditebarkan kepada fakir-miskin. Namun bukan daging atau darahnya yang sampai pada Tuhan, tetapi ketundukan mengendalikan nafsu dirinya (ketakwaannya). Berkorban merupakan simbol kepatuhan individu pada Tuhannya, sekaligus simbol solidaritas sosial.
Korban merupakan ibadah yang menghancurkan mental kepemilikan yang semu. Rasa memiliki atas harta benda, jabatan, pangkat, bahkan diri sendiri.Karena hakikat kepemilikan sejati adalah milik sang pencipta. Penyembelihan binatang hakikatnya menyembelih hawa nafsu binatang dalam diri.
Sebagai bangsa yang mayoritas muslim sejatinya layak mengaca diri pada jejak jiwa pemuda sejati, Ismail.
***
Hampir satu abad lalu, pada akhir tahun 1917, sesudah lustrum perkumpulan mahasiswa Indologi di Leiden, beberapa orang wakil Indische Vereeniging, Chung Hwa Tsung Hui dan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang akan menjadi pejabat di Hindia Belanda, mereka membentuk suatu federasi yang bernama Indonesisch Verbond. Sebagai pengurusnya disetujui tiga orang, Suwardi Suryaningrat, dr.Yap Hong Tjoen dan Mr.Jonkman.
Orang bumipoetra Hindia Belanda, orang peranakan Tionghoa dan orang Belanda yang kelak akan bekerja di Hindia, diduga baik, apabila mereka selagi belajar bersama-sama membicarakan berbagai masalah yang akan mereka hadapi nanti, apabila mereka sudah menunaikan tugasnya. Majalah Hindia Poetra menjadi majalah Indonesisch Verbond.
Dalam lingkungan Indische Vereeniging hiduplah berangsur-angsur keyakinan bahwa kemajuan Tanah Air hanya dapat dicapai dengan “perjuangan atas kekuatan dan kemampuan sendiri”. Terlebih dulu Tanah Air yang bakal merdeka dari penjajahan itu hendaklah mempunyai nama sendiri. Hindia tidak dapat dipakai sebagai namanya, sebab jajahan Inggeris sudah memakai nama “India”.
Tanah Air yang akan merdeka itu, harus mempunyai nama yang tidak menimbulkan keraguan. Pada tahun 1850 sudah ada seorang ahli etnologi Inggeris, J.R.Logan yang mempergunakan nama Indonesia itu sebagai pengertian ilmu bumi bagi sekumpulan pulau yang Hindia Belanda terletak di dalamnya.
Profesor Van Vollenhoven di Leiden membela hak bumiputera atas tanahnya menurut hukum adat dalam buku karangannya yang sangat menarik De Indonesier en zijn grond. Di atas landasan itu Indische Vereeniging dalam tahun 1921 menyebut dirinya Indonesier, orang Indonesia, dan menamakan TanahAirnya Indonesia.
Cita-cita tentang persatuan bangsa, nama sendiri Indonesia dan non-kooperasi terhadap pemerintah Kolonial dipropagandakan secara intensif dengan surat kepada kenalan dan kawan-kawan di Tanah Air, yang konsekwen diberi nama baru “Indonesia”. Majalah Hindia Poetra setelah diambil kembali dari penerbitan Indonesisch Verbond diteruskan setahun lamanya sebagai majalah Indonesische Vereeniging. Sesudah itu namanya diganti menjadi Indonesia Merdeka.
Tahun 1925 nama Indonesische Vereeniging diganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Dalam tahun itu, setelah nama Indonesia rata-rata diterima oleh pergerakan rakyat di Tanah Air da cita-cita “Persatuan Indonesia” makin hari makin meluas diterima di Tanah Air, Perhimpunan Indonesia menunjukan pula propaganda keluar Nederland. Yang ditujunya supaya nama Indonesia diakui orang di luar negeri, terutama pada pergerakan yang progresif dan humaniter. (YGGB, 1973: 200).
Spirit perjuangan Perhimpunan Indonesia (PI) di Nederland menggema di Tanah Air. Akibatnya, pada 15 Nopember 1925, Mohammad Tabrani pemuda asal Pamekasan, Madura tamatan OSVIA Bandung terpilih sebagai Ketua Panitia Persiapan Kongres Pemuda. Maka Kongres Pemuda I 30 April-2 Mei 1926 pun terlaksana di Jakarta.
Kongres Pemuda Indonesia I, 30 April-2 Mei 1926 itu dipimpin M.Tabrani ketua, Sumarto wakil ketua, Djamaludin sekretaris dan Suwarso bendahara. Kongres yang mengawali persatuan nusa, bangsa dan bahasa. Dalam panitia duduk saudara-saudara: Bahder Djohan, Sumarto, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, M.Tabrani, ditambah dengan saudara Hamami, Sanusi Pane, Suwarso, Djamaludin Adi Negoro, Sarbaini, Djamaludin Adinegoro, dan Mohammad Yamin.
Lima bulan sebelumnya, pada 15 Nopember 1925 di Gedung Lux Orientis di Jakarta. Hadir Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun dan beberapa peminat perorangan. Dengan suara bulat dibentuk sebuah panitia yang mempunyai tugas menyelenggarakan Konggres Pemuda Indonesia Pertama, tujuannya: “Mengggugah semangat kerja-sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di tanah Air kita, supaya dapat diwujudkan dasar-pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia, di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia.”
“Bagaimana kita dapat memajukan pertumbuhan semangat persatuan nasional dengan menghindari segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan kita, maka Panitia memilih acara-acara yang mengandung unsur-unsur pemersatu dan menjauhkan diri dari benih-benih perpecahan.”
Pada Kongres Pemuda Indonesia I dalam pidato penutupnya, M. Yamin berkata:
“ Sejarah kini ialah menuju nasionalisme yang dalam dan luas, ke arah kemerdekaan dan tujuan yang lebih luhur, yaitu kebudayaan yang lebih tinggi nilainya, agar Indonesia dapat mempersembahkan kepada dunia hadiah yang lebih berharga dan lebih indah, selaras dengan kebanggaan kita”.
Pada Kongres Pemuda I, Kongres lantas akan mengambil keputusan bahasa Melayu yang akan dijadikan bahasa persatuan. Namun jalan pikiran M.Tabrani menyatakan bahwa tujuan kita bersama yaitu satu-nusa, satu-bangsa dan satu-bahasa. Kalau nusa itu Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsur Bahasa Melayu mendasari bahasa-Indonesia.
“Djamaludin Adinegoro dan Mohammad Yamin memahami, menghargai dan menyetujui jalan pikiran saya”, demikian kata M.Tabrani, sehingga pengambilan putusan tentang nama bahasa persatuan itu ditunda dan hendaknya dikemukakan dalam Konggres Pemuda Indonesia kedua.
Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama diteruskan dua tahun kemudian dengan Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928. Kongres yang kemudian populer dengan Sumpah Pemuda dimana disepakati Trilogi Sumpah Pemuda: Satu Tanah Air Indonesia, Satu Bangsa Indonesia dan Satu Bahasa Indonesia.
Spirit Sumpah Pemuda ini ialah pengorbanan nafsu-egois diri dan kelompok atau kesukuan, menjadi lebur satu identitas bangsa, tanah-air dan bahasa: Indonesia. Sebuah rintisan yang dipropagandakan Perhimpunan Indonesia (PI) di Nederland, terwujudlah sudah.
Jiwa Berkorban
Perjuangan menyatukan ideologi gerakan di kalangan pemuda terpelajar, membutuhkan waktu dua tahun lebih. Dari kongres pertama, 1926 menuju kongres pemuda II 1928. Bukan waktu yang singkat. Betapa nafsu egois kepentingan diri sendiri, kelompok dan kesukuan harus berani disimpan dan dilebur demi perjuangan otonomi bangsa merdeka dari kolonial. Bila dihitung dari rintisan Perhimpunan Indonesia (PI) sejak 1921, membutuhkan waktu 7 tahun.
Bukan sekedar waktu, tenaga, dan pikiran yang dikorbankan demi rakyat dan bangsa Indonesia. Para pemuda yang rata-rata usianya duapuluhan sudah tampil menjadi para pemenang atas nafsu-ananiyah (egois) dirinya. Spirit jiwa mereka sudah menggelora rasa senasib sepenanggungan. Mereka sudah putus urat nafsu kepentingan individualisnya, lebur mengedepankan orang lain, rakyat banyak pada umumnya. Jiwa sosial sudah terketuk dan akhirnya terpatri kuat.
Karena itu tak heran apapun mereka korbankan. Selanjutnya sejarah mencatat Mohammad Hatta, Nazir Dt. Pamuncak, Ali Sastroamidjojo dan Abdul Madjid harus ikhlas dipenjara karena tuduhan menghasut oleh pemerintah di Nederland. Disusul kemudian Soekarno dkk tahun 1929 ditangkap dan dipenjara di Sukamiskin (Bandung) setelah propaganda perjuangan untuk membela rakyat.
Penderitaan diri sendiri sudah menjadi resiko para founding father kita sejak masa muda. Bahkan hingga mereka senja usianya, mereka jauh dari kemewahan apalagi berfoya-foya. Dalam pikirannya hanya ada bagaimana membela dan memajukan rakyat.
Karena jiwa berkorban, sebagai kalangan intelek mereka rela dipenjara sebelum kelak berakhir menjadi pemimpin bangsa. Namun kini jiwa-jiwa juang seperti mereka rasanya sulit ditemukan dalam karakter kaum intelek bangsa. Ironisnya kini justru sebaliknya, betapa mudah bermunculan menjadi pemimpin bangsa namun berakhir di penjara.
*penulis Sekretaris Bidang Kajian dan Dakwah Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat, penulis freelance, Pembina Kader di Majelis Pendidikan Kader PW Muhammadiyah Jabar.