Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Underground

11 November 2012   12:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:37 95 0
“Aku suka tulisan-tulisan kamu,” suara laki-laki membuka percakapan jarak jauh dengan saya suatu malam sementara saya tengah membunuh malam dengan berbagai aktifitas agar bisa tidur.

“Oh ya?” Saya meresponnya dengan senang. Meski tak terlalu terkejut. Saya telah melakukan analisis SWOT atas diri saya sendiri. Saya tau kelebihan, kelemahan, dan potensi yang ada pada diri saya. Beberapa tulisan menjadi favorit saya, meski banyak juga yang bila saya baca ulang membikin malu diri saya sendiri.

”Aku mau jadi fan kamu.” Dia melanjutkan.

Percayalah. Dia bukan laki-laki pertama dengan kalimat terakhir itu.

”Tapi aku gak tau profil penggemarku ini.” Balas saya sambil membuka-buka laman profil laki-laki yang rela menghabiskan pulsa buat saya malam itu. Identitasnya tak begitu jelas. Di jejaring sosial dunia maya yang sangat tenar ini orang bisa bikin akun dengan beragam identitas dan tujuan. Menjual barang dan diri.

”Memang sengaja. Ada yang harus aku sembunyikan.”

”Oh.. penggemar misterius ya?” Saya menggodanya. Berfikir ia sengaja menyembunyikan identitasnya demi rasa aman terhadap rasa curiga pasangannya.

Saya kenal betul perilaku ini. Sebagai anggota klub ”high quality single” saya biasa dicemburui para pasangan. Cemburu dengan kebebasan saya. Cemburu bila pasangan mereka berakrab-akrab dengan saya.

Kami terus ngobrol. Hal remeh temeh menyangkut aktifitas sehari-hari sampai topik yang berat dan serius mengenai kondisi bangsa ini.

”Menurut kamu gimana tu revolusi Iran?” Ia bertanya saat saya mengeluh tentang kemuakan saya pada prilaku para elit politik sementara tak ada perubahan yang berarti yang terjadi pada negeri ini.

”Ah aku tak tertarik pada perubahan dengan membawa-bawa ideologi agama. Malah repot. Apalagi kalau sudah masuk halal haram.” Saya menjawab sinis.

”Iya. Aku juga malas kalau sudah ngomong soal agama. Aku milih agnostik.” Ia membalas.

”Oh syukurlah.” Saya senang.

”Tapi aku gak bisa bebas mengungkapkan pendirianku ini lho..” Laki-laki itu melanjutkan.

”Tentu saja.” Saya membalas cepat. Teringat beberapa perilaku konyol yang akan dilakukan kelompok tertentu yang sama sekali tak punya selera humor pada negeri yang konon alangkah lucunya ini.

”Ada alasan lain. Aku anggota kelompok underground. Itu sebabnya aku gak bisa bebas ungkap identitas aku,” ia melanjutkan pengakuan.

”Kelompok apa? Ada hubungannya dengan agama?” Syaraf ingin tau saya mulai tersengat.

”Begitulah.” Jawabannya mengambang.

Bayangan saya bahwa laki-laki ini termasuk dalam kelompok para lelaki yang suka beridentitas ganda demi mencari kesenangan diluar rumah dan keluarganya mulai memudar. Lagipula gaya bicaranya cukup sopan untuk bisa dikategorikan sebagai laki-laki yang suka berlaku iseng.

”Lho tadi katanya agnostik?” Saya bertanya lagi.

”Iya. Itu sebelum sekarang.”

Ia lalu bercerita tentang pecarian jati diri yang telah dilaluinya. Diselingi bombardir pertanyaan saya yang berlaku seperti seorang detektif investigasi. Tentang masa remajanya yang labil (ababil? :)) hingga terpikat pada kelompok pengajian di satu daerah. Sumpah setianya pada kelompok itu, aliran dana yang diperoleh, aksi-aksi kekerasan yang dilakukan hingga tujuan akhir dari perjuangan kelompok tersebut. Persis seperti kisah-kisah teror dan aksi jihad yang dilakukan para kelompok garis keras.

Saya kadang tak terlalu percaya dengan adanya kelompok-kelompok aliran keras ini. Saya kira keberadaan mereka sudah mulai redup. Dulu, semasa sekolah dan kuliah, saya memang merasakan dan menyaksikan sendiri pola-pola perekrutan yang gencar dilakukan kelompok-kelompok ini terhadap para siswa dan mahasiswa. Mereka bersaing dengan para agen multi level marketing (MLM) yang juga gigih mencari dan mendapatkan anggota. Saya hanya bisa terbengong-bengong bila menyaksikan dan mendengarkan aksi presentasi mereka. Berbicara panjang lebar dan penuh semangat. Sementara pikiran saya sibuk sendiri.

”Trus, masa’ orang gak boleh berubah pikiran?” Tanya saya ketika ia bilang ia terikat kontrak hidup dan mati pada kelompoknya ini.

”Gak bisa. Kita sudah dibai’at. Lagipula aku gak ingin ninggalin keluargaku.” Ia berkisah tentang istri yang didapatnya dari perjodohan di kelompoknya ini.

”Tapi kan ada juga yang berhasil keluar dan malah jadi narasumber yang membocorkan kegiatan kelompok-kelompok ini?” Saya mencoba berargumen.

”Oh itu dia tinggal tunggu waktu aja.” Laki-laki itu membalas argumen saya.

”Dibunuh?” Saya mulai ngeri.

”Ya ada strategi lain lah buat orang-orang itu.” Ia meyakinkan saya.

”Makanya lebih baik aku terus berpura-pura. Sampai mati.” Nada bicaranya serius.

***

Percakapan dengan laki-laki yang baru saya kenal itu mengingatkan saya pada film ”Paradise Now”. Film dengan ending yang menggantung dan menyesakkan. Berlatar cerita dua pemuda Palestina yang berjuang demi pembebasan negaranya dari invasi Israel. Mereka bergabung dengan gerakan bawah tanah dan menjadi ”pengantin” yang bertugas melakukan bom bunuh diri di wilayah Israel. Pergolakan batin terjadi dalam diri dua pemuda tersebut saat misi berlangsung. Selalu tak ada yang benar-benar hitam dan putih dalam hidup. Seperti lambang Yin dan Yang. Gumpalan hitam senantiasa akan hadir di hamparan wilayah yang didominasi warna putih. Demikian sebaliknya.

”Jadi kelompok-kelompok ini masih eksis ya?” Saya kembali berusaha meyakinkan diri saya sendiri.

”Masih. Meski sekarang ruang geraknya makin terbatas. Tapi mereka banyak dan macam-macam. Namanya juga kelompok underground. Tertutup dan ketat. Sekali kamu masuk, susah untuk keluar. Harta dan nyawa total untuk kelompok ini.” Ia menjelaskan.

“Trus dapat dananya dari mana tu?” Saya benar-benar penasaran.

“Macam-macam,” suaranya tampak agak ragu menjelaskan lebih jauh.

“Ada kayak iuran dari anggota gitu?” Saya memancingnya.

“Ada yang disebut infaq. Yang wajib 2,5%. Kayak zakat gitu. Tapi ada juga yang rela kasih lebih. Hartanya total untuk kelompok.”

”Sampe segitunya ya..” Saya takjub dengan jawabannya terakhir.

“Eh aku kok jadi cerita ke kamu ya? Padahal gak boleh ya.” Tiba-tiba ia tampak menyadari kesilapannya. Mungkin juga disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus saya ajukan.

”Eh jangan ditulis tentang ini ya.” Tampaknya ia mulai cemas.

“Ya buat sharing gak papa kan? Buat pembelajaran. Lagian aku gak akan detil ungkap narasumber tulisan-tulisanku...” Saya mencoba menenangkannya.

***

Underground. Kata ini mengingatkan saya pada sebuah film gila yang pernah dibuat Emir Kusturica. Sebuah film lawas yang berkisah tentang gerakan bawah tanah yang dilakukan sekelompok orang ditengah kejatuhan Yugoslavia dan faham komunisme dari serbuan tentara Nazi Jerman.

Juga pada kelompok anak-anak punk yang tak sepenuhnya saya mengerti polah hidup dan aliran musiknya. Kecuali rasa ngeri bila mereka sudah menyerbu bus kota yang saya tumpangi dengan penampilan dan bau menyengat yang membuat saya terkadang sesak nafas dan ingin muntah. Konon mereka melakukan gerakan perlawanan. Anti kemapanan dan membuat ruang bagi diri sendiri dari cengkraman kekuatan mainstream.

Saya suka membaca dan mendengar kisah-kisah perlawanan. Apalagi yang dilakukan oleh mereka yang tertindas. Kehidupan di dunia ini memang pahit dan penuh dengan ketidakadilan. Dan itu harus dilawan. Diperjuangkan. Tapi bila ia berubah menjadi gerakan ekstrem yang eksklusif, lalu apa makna dari perjuangan tersebut?

”Orang hidup kan punya tujuan yang ingin dicapai,” jawab laki-laki itu saat saya tanya bagaimana orang bisa menjadi demikian militan.

Sebuah pernyataan yang benar belaka. Tapi bagaimana mungkin tujuan hidup seseorang bisa menghalangi orang lain yang punya tujuan hidupnya sendiri yang mungkin berbeda?

Saya sering gemas mendengar dan menyaksikan aksi kelompok-kelompok garis keras yang seringkali konyol dan selalu merasa benar sendiri.

Saya kadang juga merasa takjub sekaligus kasihan pada militansi kelompok-kelompok agama dalam perjuangan mereka yang katanya demi menegakkan amar makruf dan nahi munkar itu. Tidakkah mereka merasa capek dan lelah karena hari-harinya terus disibukkan dengan membuat daftar mencari-cari kesalahan dan dosa orang lain? Belum lagi ancaman bumi hangus yang sering mereka teriakkan terhadap orang-orang di luar lingkungan mereka dan harapan kavling syurga yang kelak mereka tempati atas ganjaran perjuangan mereka.

Bagaimana bila ternyata syurga yang mereka impi-impikan itu (dan neraka) ternyata merupakan fatamorgana dan fiksi belaka?

Katakanlah syurga yang dijanjikan itu benar adanya dan perjuangan kelompok-kelompok ini berhasil membentuk umat manusia yang sehaluan dengan mereka, akankah syurga masih bisa dinikmati untuk hidup santai dan berleha-leha?

(Saya membayangkan ia tidak lagi menjadi tempat yang nyaman karena telah penuh sesak dengan manusia-manusia yang telah insyaf dan beriman secara kaffah itu. Persis seperti tempat-tempat hiburan dan liburan yang sesak pengunjung di masa-masa peak season)

Jadi kenapa terus ngotot untuk memaksakan orang lain agar sehaluan dengan mereka?

Tidakkah lebih assoy dan enjoy hidup dalam keragaman? Sebagaimana para (bapak dan ibu) pendiri bangsa telah dengan cerdas rumuskan dalam semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”? (yang sayangnya justru dengan sangat memikat digaungkan kembali oleh Presiden naturalisasi Indonesia-Amerika Barrack Obama :p)

Atau mereka justru ngotot demi memperjuangkan hak eksklusif mereka sebagai satu-satunya penghuni syurga?

Ah, yang terakhir ini lebih tak menarik lagi. Saya paling muak pada penggunaan embel-embel eksklusifitas. Digunakan atas nama kelompok apapun. Entah itu kelompok agama atau kaum kapital bermodal yang selalu ingin terlihat berkelas dan unggul sendiri.

Kita hidup di bawah sinar matahari yang sama. Kenapa selalu (dan perlu) ada kelompok yang ingin mendapatkan sinar yang lebih dari yang lain?

NB: Terima kasih untuk orang-orang yang telah sudi berbagi kisah (dan kasih) pada saya. Juga yang telah merespon tulisan-tulisan saya baik dengan nada mengancam atau memuji-muji. Saya senang anda telah meluangkan waktu untuk membaca dan mengamati. Semoga bisa membukakan mata, pikiran, dan hati :)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun