Pagi yang muram mendamparkan saya dan adik saya di stand ini. Setelah letih berkeliling --kami sempat mampir di Anjungan Riau yang masih tercium bau cat pada dinding-dinding kayunya dan Museum Penerangan yang tak menarik isinya-- dan senam pagi pasca subuh tadi. Tiba-tiba hujan mengguyur di tengah perjalanan. Cepat saya putuskan untuk berteduh begitu Anjungan Sulawesi Selatan tampak di depan mata.
Saya sempat terduduk sebentar di salah satu tangga rumah anjungan yang hampir reot. Saya amati beberapa rumah Tongkonan yang tampak megah di depan mata. Beberapa orang berkerumun di bawahnya. Berteduh seperti saya. Selintas bayangan sempat membawa saya pada kenangan ke Tana Toraja beberapa waktu silam. Bayangan yang sama saat saya mampir di Anjungan Riau tadi. Merasakan de ja vu.
Konsep bangunan Taman Mini ini memang luar biasa. Orang tak perlu datang ke daerah-daerah yang ada di Indonesia untuk sekedar mengetahui budaya yang dimilikinya. Meski hanya diwakili oleh rumah-rumah adat yang megah berdiri dengan beberapa pernik yang disimpan didalamnya. Kalau kita beruntung, kita pun dapat menyaksikan pagelaran budaya disini. Menjadikan ajang klagenan. Menghapus sejarah kotor yang sempat meruap saat pembangunan tempat ini dimulai (kau tau kisah ambisius Nyonya Tien Soeharto pada salah satu warisan kebanggaannya ini kan?).
***
Stand itu terletak persis di bawah tangga tempat saya duduk. Sempat saya lirik beberapa bandrol harga yang menempel pada beberapa barang. Merasa agak aneh dengan angka yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran penjualan barang di tempat wisata. Bosan duduk mencangkung menunggu hujan saya putuskan untuk singgah pada stand itu. Beberapa barang unik menyergap mata. Membangkitkan kembali gairah berbelanja. Meski saya sudah menenteng sekantung plastik berisi barang-barang obralan yang biasa terhampar di depan Tugu saat orang ramai melakukan olah raga pagi.
Anda bisa mendapatkan beraneka barang dengan harga kaki lima di pasar kaget yang tergelar setiap minggu pagi itu. Tak hanya perlengkapan olah raga. Adik saya sempat bercerita heboh bahwa ia mendapatkan sekeping MP3 berisi lagu-lagu lawas ”Kla Project” tanpa sempat dibayar karena pedagangnya tiba-tiba diringkus petugas tanpa sempat ia menyelamatkan diri apalagi barang-barang dagangannya.
Uang yang makin menipis tak menyurutkan saya untuk mengamati barang-barang yang dipajang di stand itu. Tak semuanya berciri khas Sulawesi Selatan. Hampir tak ada malah. Kerajinan Jogja hampir mendominasi. Saya sempat terpikat pada jam weker berbentuk kotak rokok ”Malioboro” dengan tutup yang terbuka. Dengan batang-batang rokok yang menyembul dan detil yang dibuat mirip dengan aslinya. Dalam ukuran yang lebih besar tentu.
Penjaga stand ini seorang laki-laki yang tampak berusia tanggung. Mencoba ramah menyapa sambil membersihkan lantai yang basah karena tempias hujan. Iseng saya menanyakan harga secara acak. Menanyakan rantaian gelang yang tampak terputus. Ia tak segan melayani meski saya tak membeli. Beberapa barang mengingatkan saya pada koleksi yang sempat pula saya temui di Toko Batik Mirota Jogjakarta atau pedagang-pedagang yang berjejer di sepanjang Jalan Malioboro. Dengan harga yang tak jauh berbeda. Membulatkan kepastian saya bahwa harga barang-barang di stand ini termasuk murah meriah.
Saya sempat bertanya bagaimana ia bisa memasang harga yang tak terlalu tinggi pada barang-barang dagangannya.
”Kita ambil langsung dari pengrajinnya, Mbak. Kalo gak, mana bisa nutup. Bos-nya juga punya usaha sendiri. Ini tas-tas bikinannya”.
Saya melirik beberapa tas tangan yang berjejer pada salah satu etalase. Tas-tas dari bahan sintetis yang akan banyak kita jumpai pula di kaki lima emper jalan atau statiun kereta.
”O, kirain ngambil dari Bogor ,” jawab saya mengingat pada produsen tas di Tajur Bogor.
Saya amati bandrol harga yang terpasang pada salah satu tas. 8.000 rupiah. Berapa biaya produksi yang dikeluarkan untuk sebuah tas berharga jual 8.000 rupiah? Saya tak tau. Harga yang terpasang pun masih belum harga pasti. Sebuah tas rajut yang akhirnya berhasil saya miliki setelah menawar dengan selisih harga lima ribu dari harga asal yang ditawarkan.
”Pajak disini kecil ya Bang?” Adik saya mencoba merasionalisasi. Ia tampaknya terkejut-kejut juga dengan harga jual barang-barang disini.
”Iya. Kalau disini gak terlalu gede. Kita punya 6 stand disini, Mas. Di statiun skylift sama depan sana dekat pintu masuk utama juga ada. Kalau yang disana pajaknya lebih gede. Harganya juga beda sama yang disini. Mas tanya aja. Harga disono bisa dua kali lipet disini.”
Kami terus ngobrol. Kadang saya tanggapi dengan tak serius. Saya pikir ia hanya butuh teman karena sendiri menjaga tokonya. Beberapa terputus oleh kedatangan pengunjung lain yang menawar harga. Atau kesibukannya berbenah memberesi barang agar tak terkena tempias hujan.
”Gak dipasangi krey, Bang?,” tanya saya melihat kerepotan yang harus ditanganinya.
”Gak boleh, Mbak. Ya begini lah. Ini masih untung ujannya gak seberapa. Kemarin waktu ada angin kenceng lumayan repot lagi. Bangunan aja banyak yang rusak”.
”Tapi ujan gini lumayan rame ya? Banyak yang mampir...”, pancing saya.
“Sekarang ma jamannya lagi susah, Mbak. Apa-apa susah. Semua harga-harga naik. Ini Taman Mini aja udah mau bangkrut. Kemarin tu buat bayar listrik skylift aja sampe 300 juta. Itu untuk skylift doang.” Ia menunjuk pada kereta gantung yang hilir mudik lewat diatas kami.
”Jujur ni menurut saya, lebih enak jaman Soeharto kemarin. Makan gak susah. Cari kerja gampang...”
Saya tak menanggapi omongannya. Angan saya berlari pada beberapa kerusakan gedung yang sempat saya jumpai saat berkeliling tadi. Juga harga kacis masuk yang terus bergerak naik. Kemegahan itu tampak mulai goyah. Beberapa gedung rusak tak terawat. Tak mampu mengahadapi amuk cuaca dan biaya perawatan yang terus melambung.
Dulu, untuk melakukan olahraga pagi orang bebas masuk. Karcis masuk baru akan diberlakukan diatas jam tujuh pagi. Sesuai dengan jam awal dibukanya loket kunjungan bagi para wisatawan. Perlahan mulai diberlakukankan karcis masuk untuk olahraga pagi dengan harga yang berbeda dengan tiket masuk biasa. Mula-mula dikenakan seribu rupiah perorang, lalu naik menjadi dua ribu, sekarang tiap orang dikenakan tiga ribu rupiah. Itu belum termasuk dengan kendaraan yang akan kita bawa masuk. Lewat jam tujuh tentu harga lebih melambung lagi. Tahun lalu saya sempat tau harganya 8.000 per orang untuk tiket masuk. Tahun ini sudah berubah lagi.
Tiket masuk pun tidak menjamin kita bebas masuk ke semua gedung yang ada di taman mini ini. Beberapa musium dan tempat pertunjukan masih mengharuskan kita membayar tiket lagi bila kita ingin tau isi didalamnya.
***
”Neduh aja di sini dulu, Mbak...” Dengan gaya yang masih ramah ia membuyarkan lamunan saya.
Saya sebenarnya mulai bosan dengan perut yang mulai meronta minta diisi. Tapi tak saya tampik tawarannya. Saya duduk pada salah satu lantai yang disisinya telah ditutup plastik. Seorang perempuan bule bersama seorang guide sempat berteduh. Saya sempat mendengar beberapa penjelasan yang disampaikan guide pada sang turis.
Ah, penjelasan yang salah kaprah. Ia katakan Tongkonan di daerah asalnya merupakan tempat tinggal dengan bentuk yang lebih besar dan panjang. Yang tampak di depan ini hanya contoh saja. Tapi sudahlah. Saya tak perlu menjadi pahlawan kesiangan dengan mendebat sang guide bahwa bentuk yang sekarang terlihat benar-benar seperti aslinya dan ia hanya dimaksudkan sebagai lumbung penyimpan beras dan bukan rumah tempat tinggal. Kebodohan hanya milik para turis dan siapapun yang mudah percaya tanpa mau repot dan susah payah mencari tau informasi yang sebenarnya.
”Gak ditawarin barang, Bang, bule-nya?,” saya bertanya begitu sang turis bergegas pergi.
”Ah, sekarang mah susah, Mbak. Guide-nya juga kebanyakan rese-rese. Sekarang kalo mau bawa turis belanja langsung ke Pasaraya atau kemana gitu. Dulu sempet kita ada kerjasama sama guide. Kalo ada turis belanjanya disini. Biasanya bisa sampe ratusan. Trus mereka dapat bagian. Sekarang gak lagi. Ada peraturannya, Mbak. Gak boleh gitu lagi. Mungkin ada yang ngelaporin kita.”
”Guide-nya juga ngaco tuh ngomongnya”, saya menimpali keluh kesahnya.
”Jadi guide mah gampang, Mbak. Asal berani, pinter ngomong Inggris, trus tau dikit soal Taman Mini, beres. Temen saya juga ada yang jadi guide. Tapi gak disini. Di Bali sono. Tapi di Bali mah jadi guide juga kerjaan sampingan aja. Tau sendiri kerjaan aslinya apaan...,” ia tertawa.
”Sekarang dia dah enak. Tinggal di Jerman. Dapet istri orang sono...”
Saya hanya diam mendengarkan.
Awan masih muram. Hujan masih deras mengucur. Kami masih ngobrol tak tentu arah. Menanyakan asal usul, tempat tinggal, sampai...
”Saya juga dulu sempet jadi timer di perempatan Jalan Baru,” potongnya saat saya katakan bahwa saya tinggal di Kampung Rambutan. Jalan Baru merujuk pada jalan dekat Terminal Kampung Rambutan tempat bus dan angkutan dalam dan luar kota hilir mudik masuk.
“Saya dulu nakal, Mbak. Sekarang mah dah mendingan. Ada keluarga soalnya.. ” Ia terus bercerita.
”Istri saya dua lho, Mbak...”
Saya terkesiap. Kalau saja kalimat terakhir itu diucap oleh seorang pengusaha muda yang sukses mungkin saya tak bereaksi apapun. Paling hanya akan mengumpat dalam hati, ”Dasar laki-laki!”
Tapi kalimat itu baru saja keluar dengan entengnya dari mulut seorang penjaga toko dengan penampilan yang sama sekali tak meyakinkan.
Awalnya saya malah menyangka ia masih membujang. Usianya sempat saya kira tak beda jauh dengan saya. Dengan rambut sedikit gondrong, kulit agak gelap, tubuh yang jauh dapat dikatakan sebagai atletis, dan seragam batik yang dikenakannya, ia pantas berlaku sebagai pemuda yang baru menetap di Jakarta dari suatu daerah dipelosok Jawa sana.
”Kuat ya Bang punya istri dua?” tanya saya heran mengacu pada penghasilannya yang paling tak seberapa.
”Ya pintar-pintar ngebagilah...”
”Istri kerja?” tanya saya lagi.
Ia menjawab ya tanpa sempat saya tanya apa pekerjaannya.
”Tapi ada sejarahnya Mbak...”
”Sejarah?” saya hanya bertanya heran.
”Yang pertama itu dulunya Nasrani trus saya kawinin supaya masuk Islam. Yang kedua ini tadinya juga anak nakal. Bandel gitu. Punya anak tapi bukan sama saya. Terus saya kawinin juga. Sekarang punya anak dua. Yang satu anak saya.”
”Yang pertama gak ngamuk waktu tau kawin lagi?” Saya masih takjub.
”Ya ngamuk lah. Namanya orang, mana ada yang mau dimadu. Sekarang dia tinggal sama orang tua saya.”
”Punya anak berapa?”
”Kalo sama yang pertama gak punya. Saya juga sebenarnya gak cinta banget sama yang pertama.”
”Kalo gak cinta kenapa dulu dikawinin?” gugat saya.
”Ya biar masuk Islam..” ia menjawab enteng.
***
Saya pusing. Mudah sekali laki-laki memutuskan untuk mengawini perempuan lebih dari seorang. Dengan beragam alasan. Dengan beragam kapasitas dan profesi yang mereka miliki. Tak perlu sekaliber Hamzah Haz yang biaya hidupnya sempat difasilitasi negara untuk punya istri banyak. Saya juga teringat pada tetangga saya yang supir cabutan atau pedagang kambing musiman yang biasanya kelimpahan rezeki hanya pada Hari Raya Kurban. Mereka pun ternyata beristri dua.
“Nakal ya saya mbak?” Ia tampak memahami kepusingan saya.
”Dulu lebih lagi. Namanya anak kolong. Saya kan tinggal di Halim. Sekarang mah udah mulai sadar.”
Saya tertawa saja. Mencoba tak menghakimi.
“Emang gaji berapa?” Saya mencoba merasionalisasi.
“Ya kalo ini ma kecil mbak. Sebulan 400 (ribu).”
”Terus kerja lain?”
”Kalo malem saya masih jadi timer. Itu gede, Mbak. Seratus ribu setengah jam juga bisa kalo mau. Tapi itu uang panas, Mbak. Saya gak kasih buat kluarga. Bisa kualat disumpahin supir-supir nanti. Mereka rata-rata kan gak rela ngasih uang itu. Buat senang-senang aja.Yang 400 ribu itu aja buat istri. Dibagi dua.”
”400 ribu itu bersih?”
”Bersih. Sehari saya dikasih transport 50 ribu. Kalo rame bisa 150 ribu. Tapi itu buat saya aja lho. Yang lain paling 20-30 ribu. Saya sama bos mah udah begini mbak,” ia mengaitkan dua telunjuk pada jari kanan dan kirinya.
”Karena dia tau Abang istrinya dua ya?” goda saya.
”Ah kalo itu dia mah emang tau. Dia itu temen saya dari masih susah. Sama-sama bandel juga. Dulu kemana-kemana kalo cari barang ngajak saya. Kalo ke Jogja nginep di hotel. Tau sendirilah disana trus ngapain...”
”Kalau anak buahnya aja istrinya dua, bosnya istrinya berapa? Empat?” goda saya lagi.
”Ah kalo dia mah cuma satu.”
”Itu yang ketahuan ya...,” adik saya menimpali.
”Iya. Yang saya tau,” ia tertawa.
”Umur berapa, Bang? Ada 30?” saya bertanya menuntaskan rasa penasaran.
”Lebih. Mbak?”
Saya menyebut sejumlah angka.
”Seumuran istri saya yang pertama. Kalo yang kedua lebih muda. Tapi emang dia bandel dari mudanya. Bayangin aja belum kawin udah punya anak. Saya kawinin aja biar gak kayak dulu lagi. Saya juga kalo inget yang dulu-dulu udahlah. Sekarang mau kerja yang bener buat keluarga...”
Saya tertawa. Entah untuk apa. Untuk segala keabsurdan yang saya temui siang itu.
Saya melirik jam yang melingkar di tangan adik saya. Hah! Jam dua siang. Kami harus pulang. Kami telah meninggalkan rumah sejak pukul setengah enam pagi tadi. Dengan pasokan air mineral dan kudapan pagi tadi, perut ini sudah tak bisa lagi diajak kompromi. Obrolan ini harus segera diakhiri. Meski saya tau, it’s not the end story.
Hujan mereda. Awan berwarna kelabu. Isi kepala saya terasa berputar. Juga cacing-cacing di perut saya.
Ah, apalah artinya cinta…