Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Sosok Kematian yang Sesungguhnya

26 Agustus 2013   00:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:49 154 0

Suatu ketika terdengar kebisingan  yang sangat mengusik ketenangan suasana sekitar, mereka ricuh membicarakan hal – hal yang baru saja mereka temui ketika melakukan sebuah perjalan panjang yang tampak melelahkan. Ya, sebuah rutinitas yang monoton dan membosan membuat siapapun yang menjalaninya mengalami subuah pertanyaan besar  karna rasa keheranan yang sangat serta memiliki jawaban yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Ketika mata sudah tidak bisa melihat dan menentukan arah, mulut tak lagi berbicara tentang kebenaran, serta kuping sudah tidak bisa mendengarkan teriakan – terikan mereka yang membutuhkan pertolongan. Hal itulah yang ternyata menjadi sebuah sebab kebisingan yang sayup – sayup lirih terdengar, tapi dapatkah kalian melihat tanpa mata, bersuara tanpa mulut dan mendengar tanpa telinga...???

Kurasa tidak, karna jika kalian bisa tuk melakukan semua itu kurasa tidak akan muncul kebisingan yang sayup – sayup menyayat seperti ini atau mungkin semua ini karna kita hidup didalam sebuah kematian..??? ya, kematian... seperti seonggok daging yang bisa bergerak dan digerakan dan tidak mengenal akan dirinya sendiri.

Ingatlah disaat dimana kalian berada pada suatu titik yang tertinggi dalam hidup maka ego keserakahan setiap saat mengintip mencari celah tuk mencanik – cabik dari balik punggung, sadarilah untuk berhati – hati dengan apa yang ada pada diri kalian sendiri. Semua bagaikan bom waktu, semua akan terus tumbuh pada jiwa – jiwa kalian yang akhirnya membuat diri kita terjebak pada suatu titik hitam ( Bagaikan sebuah titik yang berada pada sebuah dinding putih ) tanpa diri kita sadari.

Sesaat diriku tersadar dari tidur panjang yang mampu membekukan seluruh tubuhku, tapi ketika ku terbangun jiwa – jiwa tersebut telah mati dalam pelukan keserakahan hidup. Ketakutankupun meledak seketika itu, seolah kehilangan harapan tuk kembali hidup agar dapat menentang angin – angin kencang yang datang menerpaku. Saat itu angin yang datang memang tidak terlalu kencang akan tetapi kurasa cukup untuk mengoyahkan sebagian besar akar – akar tubuhku,  kini dengan mengais sisa – sisa jiwa yang tersisa saya mencoba untuk menghilangkan bayangan titik hitam yang sempat membuat saya terpaku dengan tangan terbelenggu dalam waktu lama dalam tidur panjang.

Malam ini saya menginap lagi di tempat biasa saya menyendiri, sebuah tempat dimana dahulu kawan – kawan sempat beragi cerita dan belajar bersama dalam hangatnya suasana malam yang saat ini sangat saya rindukan. Sebuah ruangan kecil nan sempit yang terletak disalah satu sudut bangunan kampus menjadi saksi semua yang telah terjadi ,hingga tidak terasa waktu telah banyak berlalu dan ku temui diriku masih belum beranjak dari zona kenyamananku dengan bangku – bangku kosong yang dahulu sempat terisi.

Saat ini hanya aku yang tersisa tuk menghabiskan malam di tengah kebekuan pemikiran malam kelam. Kawan – kawan dan para sahabat telah jauh meninggalkan ku sendiri pada kegelapan ini, hanya bayang bayang masa lalu yang dapat hadir untuk sedikit melipur lara dalam kekosongan ini. Semua memang telah pergi, akan tetapi di tempat ini menyimpan segala kenangan bayang mereka semua  sampai kapanpun.

Semua bukan salah mereka yang meninggalkanku sendiri dalam ruangan sempit ini, mereka telah melakukan semuanya dengan baik hingga detik – detik terakhir ku bersama mereka. Ketika kekosongan dan kebekuan kembali menguasai diriku tuk kesekian kalinya di sekelilingku atmosfir kehampaan terasa menusuk relung tubuh ku, teringat akan semua yang telah mereka berikan kepadaku  yang dahulu ku sia – siakan dengan rasa egoku. Sejenak terbesit rasa penyesalan yang mendalam ketika matahari kembali terbenam diufuk barat.  Saya kembali menatap bayang – bayang kegelapan dalam diri saya, bayang – bayang  kegelapan yang selama ini telah memakan habis seluruh tubuhku hingga tubuh ini seolah enggan tuk digerakan tuk melawan semua itu. Saya sepakat ketika ada seseorang yang mengatakan bahwa musuh terbesar dalam hidup ini adalah diri kita sendiri, siapa yang tidak bisa tuk berdamai dengan dirinya jangan pernah berharap dapat merubah hidupnya kearah yang lebih baik.

Banyaknya orang – orang yang tadinya menaruh sedikit harapan perubahan itu kepadaku tatapi tidak sedikit juga yang telah saya kecewakan, bukan ingin menyalahkan siapapun dengan cara apapun itu akan tatapi menyalahkan diri sendiri tanpa adanya suatu tindakkan nyata tuk mengakhiri semua belenggu – belenggu yang mengikatpun saya rasa percuma karna saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri.

Rasa ego yang sangat tinggi telah membawa saya pada titik ini, sebuah titik kehampaan yang dapat menghancurkan semuanya. Mungkin saya terlalu banyak berharap tanpa melakukan sebuah gerak perubahan yang nyata hingga Tuhanpun mungkin telah menutup mata hati saya hingga saya tidak dapat lagi mengenali siapa diri saya sebenarnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun