Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Mengenalkan Spirit Ramadhan Bagi Anak di Bawah Umur

9 Agustus 2010   05:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12 182 0
Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan dinanti-nantikan umat Muslim akan
segera dimulai. Setiap keluarga punya cara masing-masing untuk
menyambutnya. Memang Ramadhan merupakan bulan yang selalu dianggap
paling istimewa dibanding bulan lainnya dalam kalender Islam. Saking
istimewanya, sering disebut sebagai bulan penuh ampunan, bulan penuh
berkah, bulan penuh pahala, atau bulan dimana pintu Neraka ditutup dan
pintu Syurga dibuka selebar-lebarnya. Yang lebih terkenal adalah Bulan
Seribu Bulan. Tak heran Ramadhan selalu ditunggu untuk muslim yang
ingin menjadikan bulan tersebut sebagai puncak meditasi jasmani dan
rohaninya. Terlepas dari sisi kewajibannya.

Spirit Ramadhan bahkan tak hanya terjadi pada orang dewasa ataupun
remaja. Anak-anakpun tampak bersemangat menyambutnya. Di pondok-pondok
pesantren, di komplek perumahan, sampai kampung-kampung, anak-anak
Muslim ramai-ramai berbaris sambil melakukan atraksi seperti memukul
beduk kecil, gendang, bambu, dll. Ada juga yang sambil menyanyikan
lagu-lagu pujian, bershalawat dan menyerukan orang untuk berpuasa dan
bangun sahur. Di Mesjid-mesjid anak-anak Muslim kadang ikutan membantu
kakak-kakaknya mengatur jamaah shalat, membantu membaca iqamat (doa
setelah Adzan), atau sekedar bershalawat guna menunggu waktu tarawih
pertama mereka di bulan Ramadhan.
Spirit yang begitu tinggi membuat nuansa Ramadhan menjadi meriah
seperti layaknya menyambut Hari Raya atau perayaan lainnya.

Namun bagaimana sebenarnya kita mengenalkan spirit Ramadhan pada
anak-anak tersebut? Khususnya yang masih dibawah umur?
Lewat beberapa tetangga dekat, lalu beberapa kenalan  yang mempunyai
anak balita, saya banyak mendapat masukan soal ini. Bagaimana peran
orangtua membangkitkan spirit anaknya agar bahagia dan semangat dalam
menyambut Ramadhan. Dengan demikian diharapkan anak akan terpanggil
untuk ikut-ikutan mencoba berpuasa seperti anggota keluarga lainnya
yang sudah kena wajib puasa. Caranya ada yang awalnya lewat
nasehat-nasehat yang mampu menyentuh hati seorang anak yang masih
polos dan jujur dalam mengekspresikan perasaannya. Ada juga dengan cara
menceritakan dongeng-dongeng  tentang puasa. Ataupun kisah teman-teman
mereka yang mau mencoba berpuasa agar mendapat hadiah sepeda, sampai
pada tingkatan yang lebih spirit yaitu, mendapat pahala dari Tuhan.
Tahap ini penting agar anak tertarik dan tidak merasa beban dalam
belajar berpuasa.
Umumnya anak-anak suka dengan hadiah yang berbentuk materi. Maka
sebagai tahap awal, tak salah bila orangtua menjadikan iming-iming
hadiah sebagai langkah awal membuat sang anak tertarik. Ini untuk
melatih fisik dan psikis anak bahwa betapa pentingnya berpuasa dibulan
Ramadhan bagi mereka sebagai penganutnya. Untuk kedepannya tentu saja
iming-iming hadiah tidak perlu lagi dilanjutkan. Agar anak belajar
untuk ikhlas dan tulus dalam  memahami setiap inti ajaran
agama. Iming-iming hadiah hanya pantas dilakukan bagi anak-anak usia TK atau SD.

Lalu, kalau anak sudah terpancing dan tertarik mencoba berpuasa,
bagaimana kita menjaga agar spirit itu tetap ada sampai batas waktu
berbuka ataupun menurut kesanggupan sang anak?. Tentunya dengan
berusaha membuat anak agar tidak fokus pada tekanan fisik yaitu lapar
dan haus. Misalnya dengan mengalihkan perhatian mereka ke aktivitas
yang menyenangkan, menginspirasi daya imajinya, serta mendidik.
Seorang  tetangga membuat anaknya sibuk menggambar yang memang menjadi
hobi si anak dalam menuangkan ekspresi seninya. Atau bermain puzzle,
belajar membaca Alqur’an serta membekali anak kisah-kisah inspiratif
yang memotivasi mereka untuk berkarya sejak dini. Ada lagi yang
mengajak anaknya membantu membuat penganan untuk berbuka. Hal ini
mungkin  lebih riskan, karena bisa jadi anak malah timbul hasratnya
untuk mencicipi dan akhirnya berbuka sebelum waktu yang telah
disepakati.

Apa itu waktu yang telah disepakati?
Tak lain adalah negosiasi kasih sayang antara anak dengan orangtuanya
yang sedang berusaha mengenalkan spirit berpuasa pada sang buah hati.
Anak kecil yang masih dibawah umur dan tidak diwajibkan berpuasa, bisa
kita ajarkan untuk mencoba berpuasa sesuai kemampuannya. Misal dalam
jangka waktu sejam, dua jam, tiga jam, sampai setengah hari saja. Dan
hal ini sebelumnya haruslah dibicarakan pelan-pelan dan dengan kasih
sayang agar anak tidak merasa dipaksa apalagi ditekan untuk menjalani
perintah agama yang belum tentu dia mengerti maknawinya secara dalam.
Dunia anak adalah belajar dan bermain. Belajar mengenal sesuatu yang
baru itu penting, namun dengan cara yang tidak serius, alias seperti
kita mengajaknya bermain sesuatu yang menyenangkan dan memicu
tantangan tersendiri bagi diri si anak.
Dengan cara yang penuh kasih, gembira dan tidak menakut-nakuti,
diharapkan anak akan dengan senang hati melakukannya.

Saya suka sedih bila melihat seorang anak kecil menangis minta makan
atau minum, namun orangtuanya justru memarahinya dan menasehatinya
panjang lebar tentang pentingnya belajar berpuasa. Agar masuk Syurga,
tidak masuk Neraka.
Bagaimana daya fikir seorang anak akan mampu menggapai soal makna
Surga dan Neraka dengan aktivitas yang baru dia kenal? Rasanya kita
belum apa-apa sudah menakut-nakutinya terlebih dahulu.
Nanti tidak disayang Tuhan, lho nak. Nanti akan masuk neraka orang
yang tidak mau berpuasa. Nanti tidak dapat pahala, tidak naik kelas
dsbnya.
Adalah tidak bijak membuat anak berfikir secara dini tentang konsep
Neraka dan Syurga.
Lebih penting mengajar mereka dengan belajar lebih banyak tentang budi
pekerti, makna kebersamaan, makna toleransi, dan makna beribadah lewat
hati. Dan tidak sekedar membombardir dengan teori-teori lewat logika
mereka yang belum sampai.

Mengasah logika memang penting, tapi bisa dilakukan bila usia anak
sudah cukup matang untuk memahami konsepsi apapun yang berhubungan
dengan agama atau ilmu baru lainnya..
Termasuk tentunya dalam menjalani ibadah Ramadhan yang juga termasuk
salah satu ibadah yang maha penting bila dilihat dari sisi logikanya.
Tapi kalau kita menjalaninya tanpa jiwa, maka ibadah Ramadhan hanya
akan berakhir dengan  selesainya salah satu kewajiban  yang harus
dijalani. Setelah itu apa? Bagaimana? Akankah berlanjut ke hari-hari
baru pasca Ramadhan? Atau kita mulai lagi dengan toksin-toksin baru
yang menurut logika kita, ah..nantikan bisa dibersihin lagi di Ramdhan
berikutnya.
Ya, kalau usia kita masih mampu menjangkau Ramadhan berikutnya. Kalau
tanpa kita sadari sekarang merupakan Ramadhan terakhir kita, bagaimana? Kita
tak punya kesempatan lagi menjalani ibadah dengan spirit jiwa.
Itulah mengapa kita sebaiknya tidak menjadikan contoh diri sebagai
contoh yang baik untuk meneruskan tradisi berpuasa kita pada
anak-anak. Karena cara kita berpuasa atau memaknai Ramdhan, belum
tentu benar. Dan anak-anak hanya akan menjadi korban tradisi oleh
sesepuh-sesepuhnya yang hanya sebatas  memenuhi kewajiban, tanpa
memaknai sisi spiritualnya secara lebih mendalam.

Kita bisa mengajari anak-anak itu bahwa berpuasa tidak hanya suatu
kewajiban kalau mereka sudah dewasa kelak. Tapi juga mengajarkan bahwa
berpuasa tidak hanya sebatas tidak makan, tidak minum, tidak boleh
jajan, tidak boleh ngambek, tidak boleh mengganggu adik, tidak boleh
nakali kakak, dsbnya. Tapi juga mengajarkan bagaimana berdoa agar
puasa kita menjadi berkah, agar tambah rajin belajar, tambah baik
dengan teman, tambah mengenal Tuhan. Dan yang lebih penting adalah
mengajarkan anak untuk lebih peka pada situasi dirinya saat sedang
merasa lapar, tapi tidak boleh makan, atau tidak ada makanan. Apa yang
sedang dirasakannya? Sedihkah? Perihkah perutnya? Lemaskah? Dari situ
kita bisa memberi pengertian, begitulah kalau orang yang sedang
kelaparan. Dan ada banyak teman-teman seusianya yang merasakan hal
tersebut sepanjang hari, bahkan mungkin sepanjang hidupnya.
Tentu saja anak usia TK belum mampu menyerap maksud kita. Tapi dengan
demikian setidaknya kita bisa mengajarkannya untuk tidak boleh pelit,
harus mau berbagi pada teman yang kesusahan, atau mau memberi sedekah
pada pengemis yang suka mampir kerumah. Agar pengemis yang tidak punya
uang buat makan atau jajan itu, bisa makan dari hasil sedekah si
anak.

Jangan menganggap remeh sensivitas seorang anak. Saya sangat ingat,
bagaimana saya menangis karena melihat seorang anak tukang sampah
makan nasi tanpa lauk di ujung jalan dekat rumah saya. Saya ingat,
bagimana dia dengan polosnya datang kerumah minta minum karena uangnya
habis untuk beli nasi saja. Saya saat itu sunggguh tidak memahami
kenapa uangnya kok dihabiskan untuk beli nasi, tapi tidak disisakan
untuk beli minuman. Tapi logika saya yang belum sampai, tertutup oleh
jiwa saya yang tersentuh karena tiba-tiba terbayang bagaimana rasanya
kalau saya haus, dan tidak punya uang untuk beli minum. Dan rumah saya
jauh. Akhirnya saya meminta ibu saya untuk memberi sebotol minuman,
plus uang agar anak tukang sampah itu bisa beli minuman baru. Kan
kasihan, ibu kalau dia haus lagi. Demikian yang saya ingat saat itu.

Namun ibu saya tidak mau langsung memberikan uangnya. Beliau malah
meminta saya membuka celengan untuk diberikan sebagian pada anak
tukang sampah itu. Menurut ibu saya, kalau kita sedang punya uang
banyak, tak ada salahnya berbagi dengan uang kita sendiri. Dan tidak
mengharapkan orang lain yang selalu berbagi. Dengan gayanya yang
lembut, ibu mengajarkan spirit berbagi, bagi sesama teman meski belum
dikenal.
Maka dengan penuh rasa bangga saya membuka celengan dengan dibantu
ibu,lalu memberinya sebanyak mungkin pada sang anak. Ibu juga memberi
contoh bahwa dia ingin baik hati seperti saya, putrinya. Beliau
membuka dompet dan memberikan uang pada saya agar sekalian diberikan
pada anak tukang sampah yang setia menunggu didepan rumah. Tak pernah
mampu saya lupakan ekspresi teman kecil saya itu. Kedua telapak
tangannya penuh uang dan dengan berbinar mengucapkan terimakasih
kepada kami. Tak lupa ibu mengajak saya untuk membekali makanan, kue,
dan minuman untuk teman baru itu. Jiwa kanak-kanak saya merasa penting
karena telah diminta ibu untuk saling berbagi. Dan saya merasa puas
dan bangga karena anak tukang sampah itu pulang dengan membawa banyak
oleh-oleh dari kami. Pasti dia tidak akan lapar dan haus lagi, fikir
saya saat itu.

Mungkin hal tersebut terlihat remeh. Tapi percayalah, seorang anak
akan merasa penting dan bangga bila dilibatkan melakukan sesuatu
dengan cara yang bersahabat dan mampu menyentuh kepekaan jiwanya.
Karena anak-anak cara berfikirnya polos, langsung melihat kenyataan,
dan mudah kita sentuh hatinya bila caranya tepat.

Begitupun dalam menjaga spirit Ramadhan anak-anak di bawah usia wajib puasa.
Tak bisa main perintah. Tapi bertahap. Dan tentunya disesuaikan dengan
seberapa lama anak mampu menjalani puasanya agar ibadah puasa tidak
lagi sebagai sesuatu yang justru membuatnya sengsara karena tidak
boleh makan, minum, jajan dan sebagainya.
Beri hiburan agar puasa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Pancing
jiwa ingin  tahu pada dirinya, bagaimana sih rasanya kalau bisa
berpuasa sampai full. Beri pujian bila dia dapat melakukannya. Beri
pujian juga bila dia tak tepat waktu melakukannya. Bahwa berusaha dan
mencoba merupakan bentuk proses yang jauh lebih baik dan penting ,
ketimbang terpaku pada hasil akhirnya.

Selamat mengenalkan spirit Ramdhan bagi anak-anak anda.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun