Menyambut Hari Kartini, banyak postingan di Kompasiana yang berbau tentang Kartini. Ada yang menuliskan tentang emansipasi wanita, ada yang berpendapat tentang bagaimana menjadi Kartini modern, ada juga yang membahas tentang surfer wanita berkebaya yang menurut saya sama sekali tidak menampakkan semangat Hari Kartini.
Ada suatu surat pembaca yang saya baca beberapa tahun lalu di sebuah majalah terbitan nasional yang berjudul :
Dharma Wanita, Pelecehan ala Orde Baru
Orang sering berpikir bahwa pelecehan sebatas hal-hal yang bersifat seks. Padahal ada pelecehan lain yang walau tak terlihat, tapi besar akibatnya. Itulah yang terjadi dengan dibentuknya Dharma Wanita. Semua istri pegawai negeri WAJIB menjadi anggotanya. Dengan sistem sel yang memakai nama unit, sub unit, kelompok, sempurnalah kontrol pemerintah atas loyalitas pegawai negerinya. Setiap pegawai negeri wajib patuh pada atasannya dan istrinya wajib pula patuh kepada istri atasannya. Hirarki kepengurusan Dharma Wanita ditetapkan berdasarkan kepangkatan suami. Dengan tameng “pembinaan” dan “pengarahan”, dua istilah baku ala orde baru, para istri atasan menekan istri-istri bawahan agar aktif dalam Dharma Wanita. Karena takut pada atasan, sang suami turut pula menekan istrinya.
Penekanan ini tampak jelas di lingkungan Dharma Wanita Departemen Luar Negeri. Para kepala perwakilan bertindak seperti raja kecil di mancanegara. Para istri bawahan yang tak jarng pendidikannya lebih tinggi diwajibkan aktif, seperti menjaga kantin, memasak untuk kegiatan-kegiatan di KBRI, dan melayani kebutuhan tamu-tamu dari Jakarta.
Rencana mereka menambah pendidikan di luar negeri terhambat. Mereka sering harus mengorbankan karir di tanah air demi mendampingi suami bertugas di luar negeri. Puluhan tahun sudah para istri pegawai negeri “dijajah” orde baru. (Era reformasi ? Sama saja, tetap “dijajah”). Satu generasi wanita dibodohkan dan dimiskinkan. Biarkanlah para istri berguyub sendiri secara keluargaan , tanpa diatur apalagi dipaksa.
Dikirim oleh : Wawa Adam
Marseille - France
(alamat lengkap & email tidak akan dipublikasikan untuk melindungi beliau)
Yah, begitulah fenomena yang terjadi di Indonesia. Entahlah kalau di kantor-kantor pemerintahan di negara lain, apakah para istri juga ada semacam kewajiban berkumpul mirip Dharma Wanita?
Di instansi-intansi pemerintahan Indonesia, para istri diwajibkan untuk berkumpul dalam suatu wadah bernama : Dharma Wanita Persatuan. Suka tidak suka….mau tidak mau.
Kalau mau keluar dari Dharma Wanita, hanya ada 2 jalan : bercerai dari suami atau meninggal dunia (astaga !!). Mungkin bagi anggotanya yang tinggal di Indonesia, tidak akan terlalu berasa. Karena jarangnya waktu berkumpul dan masih dimungkinkan untuk meniti karir. Sedangkan yang di luar negeri..? Anggotanya wajib berkumpul, suka tidak suka. Istri atasan menjadi ratu yang harus dituruti segala keinginannya. Menyedihkan menjadi istri bawahan, mulut terbungkam, sepintar apapun dia harus tetap terbungkam.
Apabila Ibu Kartini menjadi istri pegawai negeri, akankah dia tetap menjadi anggota Dharma Wanita atau dharma-dharma lainnya..? Apakah dia tidak sedih melihat sesama kaumnya yang dibodohkan dan dibungkam suaranya dalam satu wadah. Apakah dia tidak miris melihat sesama wanita ditekan hanya karena dia istri seorang bawahan ?
Di satu sisi, saat ini bangsa kita menggembar-gemborkan persamaan hak bagi kaum wanita dan mendorong wanita-wanita Indonesia menjadi wanita modern, mandiri, dan berpendidikan tinggi. Tapi di sisi lain (dark side) kaum wanita dipaksa untuk berkumpul dan menjadi ‘babu’ di kantor suaminya. Menyedihkan..!
Majulah wanita Indonesia. Selamat Hari Kartini..
(tulisan ini pernah diposting 2 hari yang lalu, telah direvisi dan dipublikasikan ulang untuk menyambut Hari Kartini. Semoga membuka mata kita semua, bangsa Indonesia terutama kaum wanitanya)