"Tahu apa mereka tentang rasa dan persahabatan? Mungkin sang pujangga yang menulis kutipan itu tidak pernah memiliki sahabat lawan jenis dalam hidupnya" kata-kata itu meluncur dari bibirku dengan penuh tawa.
Begitu pongah aku menertawakan kutipan tersebut dan mengejeknya sebagai sebuah lelucon belaka. Aku merasa memiliki kamu, seorang laki-laki yang sudah menjadi sahabatku nyaris setengah dari masa aku menjalani hidup ini. Kita menjalani tahun demi tahun dengan normal dan kita isi dengan berbagai hal yang tidak normal tapi mampu menghadirkan tawa dalam setiap hal yang kita lakukan bersama-sama.
Bukan berarti kami menjalani persahabatan tersebut tanpa rasa.Kami menjalaninya dengan rasa tanpa kami mengabaikan makna. Sejak awal kami sudah mengikrarkan janji tak tertulis bahwa cinta tidak diperkenankan untuk hadir. Tapi kami lupa satu hal, Sang Pemilik Hidup adalah Tuan untuk hati para hamba-Nya. Yang memiliki kunci untuk masuk tanpa perlu mengetuk.
******
"Raya, lo temenan apa pacaran sih sama Pram?" sekelumit pertanyaan yang kerap menyapaku. Tanda tanya yang menggantung di langit-langit rasa penasaran teman-temanku.
Mereka melihat dengan kacamata berbeda yang aku dan kamu gunakan. Mungkin karena sebuah kebiasaan yang menyebabkan mereka menjadi tidak biasa melihat kedekatan kita berdua. Lagi-lagi, sempat aku berpikir mereka hanya bingung atau bahkan iri karena tidak memiliki sahabat lawan jenis seperti yang aku punya dalam hidupku, yaitu kamu.
"Raya, sifat posesif yang Pram punya ke lo itu gak normal untuk ukuran seorang sahabat" sebuah keakraban lain yang juga seringkali mampir ke telingaku, dan aku pun selalu menertawakannya. Aku menyanggah dan menjelaskan bahwa sebuah kewajaran jika kamu bersikap seperti itu ke aku. Sebagai sahabat yang baik, kamu pasti menginginkan yang terbaik untukku. Termasuk pasangan. Makanya kamu akan berubah menjadi seorang cerewet jika sudah berkaitan tentang kisah cintaku. Tenang, bagiku itu hal yang biasa saja. Kamu jangan cemas. Pendapat mereka akan tetap menjadi milik mereka. Kita tetap sahabat dan tidak akan pernah berubah.
******
"Salah gak kalau Pram suka sama kamu?" seutas kalimat yang belum pernah dan tidak pernah aku bayangkan akan aku dengar meluncur dari bibir kamu. Mengelukan lidahku. Aku terdiam beberapa saat. Berusaha mengembalikan diriku dalam sadar. Pengakuan kamu adalah kunci yang membuka kotak pandora yang telah aku sembunyikan lama. Mengeluarkan satu per satu elemen yang selama ini aku acak agar tak mampu tersusun menjadi perasaan yang sengaja ditepiskan.
Setelah pengakuan tak terduga itu, aku dan kamu akhirnya mulai mencoba untuk melihat kembali apa yang sebenarnya kita rasakan. Apa yang kita sembunyikan sejauh ini. Apa cinta itu telah lama bertamu tapi sebagai tuan rumah malah kita acuhkan dia? Atau malah sebagai tamu, sang cinta malah terkekeh-kekeh menertawakan ketidaktahuan kita selama ini? Menjadikan kita sebagai sebuah lelucon yang terombang-ambing dalam sebuah sunyi rasa. Berdalih diatas kata sahabat, disaat mungkin aku dan kamu hanya takut untuk mengorbankan kenyamanan yang sudah kita buat.
******
Namun, tidakkah kita melupakan hal-hal penting yang mengelilingi aku dan kamu? Memiliki rasa mungkin terdengar mudah, tapi tidak dengan memperjuangkan rasa tersebut. Seharusnya aku sudah sadar dengan banyak ketidakmungkinan yang akan menggentayangi hubungan aku dan kamu setelah hari pengakuan tidak terduga itu.
"Pram, aku minta maaf"
"Maksudnya? Minta maaf untuk apa? Emang kamu salah apa?"
"Aku gak bisa nerusin perjuangan kita, aku minta maaf"
"Kenapa?"
"Karena sejak awal perjuangan ini udah salah. Kita berjuang di lintasan yang gak sama. Dunia aku dan dunia kamu beda, Pram"
"Dunia apa? Karena omongan keluargaku? Kamu merasa tersinggung? Aku minta maaf, Raya"
"Bukan, bukan itu hanya soal itu. Keluarga kamu bener, tapi bukan hanya itu"
"Terus apa?"
"Tuhan kita beda, Pram"
Sejak itu aku dan kamu pun memutuskan untuk tidak lagi berhubungan. Banyak orang yang menyayangkan persahabatan yang telah lama kita jalani. Mereka bilang semua sia-sia. Tapi aku tahu. Tuhan tidak sekejam itu pada umat-Nya. Semua yang kita jalani dalam hidup pasti ada maknanya. Mungkin sekarang masih menjadi sebentuk misteri bagi kita. Namun, aku percaya, makna itu akan mengungkapkan arti sebenarnya. Bukan sekarang, tapi nanti.
******
Bertahun-tahun semenjak kita mengakhiri semuanya, aku sulit untuk menerima orang lain hadir dalam hidupku. Mengisi hariku, menggantikan posisimu di hatiku. Orang-orang disekitarku mengatai aku bodoh yang terlalu lama diperbudak oleh perasaanku untukmu, sehingga membuatku sulit untuk berjalan menjauh dari titik terakhir yang kamu tinggali. Aku berusaha untuk tidak mencari kabar tentangmu. Mungkin bukan kamu yang pergi, tapi aku yang menghindar.
Sore ini, aku menenggelamkan diriku dalam bacaan dan secangkir kopi di hadapanku. Suasana kafe di sudut kota ini selalu mampu menenangkan disaat aku tidak tenang dengan rasa rinduku padamu yang tiba-tiba datang menyapa. Disaat aku sedang menikmati kesendirian ini, seorang pelayan datang menghampiriku. Meletakkan sepiring kudapan manis di mejaku. Aku lantas bertanya dengan bingung dan menjelaskan bahwa aku tidak memesan itu sama sekali. Pelayan itu hanya tersenyum dan mengeluarkan secarik kertas dari kantong seragamnya, lalu memberikannya padaku. Kemudian, dia pun kembali ke meja konter tempat dia bekerja. Masih dengan perasaan bingung, aku membaca kata demi kata yang tergores diatas carikan kertas yang pelayan tersebut berikan.
Mau jadi apapun kamu, perasaan apa yang kita miliki, dan bagaimana akhir yang harus kita hadapi, kita akan tetap sama. Kamu tetap memiliki tempat istimewa di hatiku. Hei kamu, apa kabar?
Tanpa menghapus air mata yang jatuh, dengan segera aku menghampiri pelayan yang tadi dan bertanya dimana orang yang menyuruhnya untuk memberikan kertas tersebut untukku. Pelayan tersebut pun menunjuk ke satu titik dan mataku pun mengikuti arah jarinya. Air mata pun semakin tak terbendung untuk jatuh satu per satu dari netraku. Kamu. Kamu ada disana. Berdiri dan menatapku, lalu berjalan mendekat dan semakin dekat.
"Raya, apa kabar? Pram kangen" setelah sekian tahun berselang, kini aku dan kamu hanya berjarak kurang dari satu meter saja. Kamu pun merengkuhku dalam pelukan. Tanpa ragu pun aku membalas pelukan itu. Menghabiskan air mata yang sudah aku simpan lama dalam dekapanmu.
"Jangan pergi lagi" pintaku.
"Iya Pram janji gak akan pergi lagi dari kamu."