Aku merogoh sakuku, mengambil beberapa butir permen
Kopikau. Sebagian kuberikan kepada Asti yang tanpa bicara memasukkannya ke kantong celananya, sebagian lagi kuberikan kepada Narni yang juga tanpa bicara memasukkannya ke kantongnya kecuali sebutir yang ia masukkan ke mulutnya. Aku merasa seperti ada yang memperhatikan kami. Aku menoleh ke kiri. Astaga, ada seorang kakek berwajah menyeramkan sedang mengernyit, memfokuskan pandangannya mengamati kami. Pada saat yang bersamaan kulihat Narni memegang dan mengurut-urut perutnya, disusul muntah-muntah, dan akhirnya ngusruk ke tanah sambil kejang-kejang. Aku kaget, hanya bisa tertegun melihat Narni tersungkur di hadapanku. Asti membalikkan tubuh Narni. Tampak busa keluar dari mulut Narni. Asti mengangkat wajahnya, terperanjat, seperti melihat monster yang paling mengerikan. Ia berdiri, balik badan, dan kabur secepat-cepatnya. Aku heran, kutoleh ke belakang. Oh, ternyata ada seorang polisi! Bagaimana tiba-tiba bisa ada polisi di kampung yang sepi pada pagi sedingin ini? Aku segera lari ke kanan. Namun, astaga, ternyata polisi itu malah mengejarku, bukankah ia harus menyelamatkan Narni lebih dahulu? Aku berlari di padang rumput. Seingatku dari tadi di situ tidak ada pohon besar, apalagi pohon raksasa seperti yang kini sudah ada di hadapanku. Karena aku tidak hati-hati, kakiku tersandung akar pohon itu dan terjerembab, gelap.
KEMBALI KE ARTIKEL