Yang membuat saya akhirnya tertarik dengan polemic ini adalah kelamnya masa depan bangsa jika orang-orang yang mengklaim dirinya politisi muda ternyata tidak lebih baik dari politisi tua. Apalagi, ngakunya mantan aktivis. Setahu saya, bila ia aktivis (Praktis) cara berpikirinya pun lebih jernih dan lebih baik.
Saya mengenal nama Yuddy Chrisnandi saat dirinya gembar gembor sebagai calon Presiden, mengaku sebagai calon presiden muda, membentuk cabinet bayangan. Entah kenapa sejak itu saya sudah melihat bahwa peraih gelar Doktor ini tak sejernih apa yang diucapkannya.
Dan itu terbukti, hingga detik ini tidak ada satupun raihan prestasi yang patut dibanggakan dari dia. Rentetatan kegagalan pribadi menunjukkan bahwa dirinya memang tak sebaik apa yang diucapkannya.
Menarik menulis ini, setelah sahabat aktivis Andi Saiful Haq melontarkan kritik serupa, sebaiknya Yuddy Chrisnandi Berkaca, jangan-jangan teriakan Yuddy hanya ambisi pribadi. Tidak lebih.
mencuatnya polemik di tubuh partai Hanura, menyusul raihan suara Hanura di pileg lalu. Imbasnya tentu ada yang memanfaatkan situasi untuk menggalang isu, khususnya bagi mereka yang merasa posisinya terancam. Sekalipun hanya bermodal bicara, namun kondisi ini tentu tidak menguntungkan karena awam akan menilai Partai Hanura secara keseluruhan adalah partai yang tidak solid dan penuh konflik.
Polemik ini bermula dari statetment Pengurus DPP Partai Hanura, Yuddy Chrinandi yang gencar meminta Ketua Bapilu Hanura, Hary Tanoesoedibjo untuk mundur dan meninggalkan Hanura. Alasannya kata Yuddy, Hary Tanoe gagal menjadi ketua Bapilu dan menempatkan Hanura pada raihan suara 5,2 Persen.
Statetment Yuddy Chrisnandi ini langsung menuai reaksi dari pengurus lain, menurut mereka Yuddy sebaiknya berkaca karena saat Yudhi menjadi ketua Bapilu Hanura, raihan suara hanya berkutat pada angka 1 persen dan bahkan diprediksi tidak akan lulus PT.
Bahkan Yuddy diminta berkaca oleh berbagai petinggi partai Hanura, pasalnya Yuddy sendiri gagal maju ke senayan dan dapat dikatakan tidak member kontribusi apapun terhadap Hanura.
Jika melihat grafis perbedaan keduanya tentu tidak sebanding. Secara kontribusi Hary Tanoe terbilang unggul di berbagai sisi, diantaranya unggul secara komitmen, kinerja dan juga pengorbanan besar terhadap Hanura. Dalam kurun waktu beberapa bulan perolehan kursi DPR RI Hanura meningkat, daerah seperti Provinsi dan kabupaten kota juga mengalami peningkatan jumlah kursi.
Dan yang patut dihitung adalah keberhasilan Hary Tanoe menggenjot suara Hanura dari 1 persen menjadi 5,2 persen dalam kurun waktu beberapa bulan plus lolosnya Partai Hanura ke senayan (PT)
Sementara yuddy chrisnandi sendiri hanya bisa mengkritik kinerja, namun tidak satupun kontribusinya terhadap partai sejak bergabung ke Hanura. Terbukti selama menjabat ketua Bapilu, elektabilitas Hanura terus melorot, bahkan kader-kader Hanura banyak yang berencana untuk lompat partai meninggalkan Hanura.
Polemik Hanura ini sesungguhnya sangat mudah ditebak, Yuddy yang tidak lolos ke senayan, dicopot dari jabatana Ketua Bapilu menaruh dendam karena posisinya yang mulai terancam di partai Hanura. Rivalitas yang paling mudah diterka adalah kehadiran Hary Tanoe yang memiliki gerbong dan basis masa diantaranya mantan kader Nasdem dan Perindo.
Sementara Yuddhy sendiri hampir dikatakan tidak memiliki basis masa pendukung, untuk itu agar posisinya bisa aman, Yuddy Chrisnandi membangun opini bahwa Hary Tanoe gagal dan mendorong agar Hary Tanoe dikeluarkan dair Partai Hanura.
Tidak hendak membela Hary Tanoe, namun sebaiknya publik menghindari cara berpikiri picik seperti Yuddy Chrisnandi. Gelar doctor yang tersemat di depannya ternyata tidak mampu mendukung cara yang berfikir yang sehat. Sehingga penting bagi siapapun politisi ke depan, agar lebih bijak dan tidak hanya berkutat pada kepentingan kekuasaan pribadi semata.