Untuk Anti, yang saat ini aku tahu hatinya sedang berasa patah...
Masih bisa kentara bagaimana sakitnya kamu. Dari kemarin kamu diam. Baru sekarang tangis itu pecah. Kamu terlihat pilu kalau sedang begitu. Menangis dengan posisi badan meringkuk, alasnya bantal lepek bersarung merah muda. Aku yakin bantalmu itupun tahu memang kamu sedang pilu. Lewat air mata yang di dalamnya bersamaan ada amarah dan perasaan bodoh.
Ya wajar kalau kamu begitu. Dia membuangmu setelah apa yang kamu lakukan untuk dia. Setahuku, kamu sebegitu percaya kepadanya. Kamu yakin dia yang akan pertama mendengarkan ceritamu tentang susahnya soal ujian hari ini, atau keluhmu soal kereta yang molor jadwalnya, semua obrolan tidak pentingmu. Jadi, waktu kamu merasa diabaikan juga akan sebegitu sakitnya. Dan dia sebegitu santainya dengan segala yang ia punya sekarang. Dan aku sebegitu hebatnya bisa tahu itu semua.
Lupakan tentang kehebatanku. Aku punya satu hal lagi tentang kamu yang bahkan kamu sendiri mungkin belum tahu. Kamu punya jiwa yang kuat, lebih lebih dari fisikmu yang langganan kena flu setiap dua minggu. Lagipula sebenarnya aku paham kalau sekarang menangis. Bukan untuk menangisinya kan? Itu tangisan sebagai ungkapan kalau kamu punya emosi. Kamu bukan robot yang tanpa hati, kecuali dia, memang mungkin. Kamu hanya mau perasaan sakitmu meluap dan pergi bersama tiap tetes air mata yang keluar. Dan harus janji, demi siapapun yang kamu mau, tangisan ini jadi yang terakhir kali.
Besok besok kalau kamu menangis lagi, pastikan itu buat orangtuamu, kakakmu, keluargamu, dan siapapun itu yang menyayangimu dan yang memang pantas menjadi alasan untuk air matamu. Jiwamu tahu bagaimana caranya untuk melakukan itu.
Aku.
17 Desember 2013