Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Album "Jazz Masa Kini", Jawaban dari Kekhawatiran Jazz akan Mati

14 September 2011   04:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58 279 0
Ada yang bilang, musik Jazz suatu saat akan mati. Menurut mereka, minimnya apresiasi pecinta musik terhadap musik jenis ini, kecilnya angka penjualan album dan sepinya panggung untuk pentas menjadi indikator bakal matinya jenis musik "aneh" ini. Tuduhan ini malah berbalik, Jazz menjadi musik yang disukai. Eksplorasi terhadap alat musik hingga menghasilkan nada-nada yang unik dan enak didengar menjadikan Jazz sebagai musik yang nyaman untuk dinikmati. Eksperimen yang dilakukan juga cukup "radikal". Kolaborasi alat musik moderen dan tradisional dilakukan hingga menjadi musik yang langka dan "susah" untuk dimainkan oleh sebagian orang. Di Indonesia, Era 80-an hingga 90-an bisa dibilang menjadi era perjuangan eksistensi musik ini. Musisi pendahulu memang banyak menghasilkan karya, namun sebatas eksplorasi dan aktualisasi atas kesukaan terhadap musik ini. Jejak-jejak yang ditinggalkan Bill Saragih, Jack Lesmana dan sederetan musisi jazz Indonesia lainnya hingga kini masih berbekas. Pencarian karakter jazz yang "indonesia banget" juga terus dilakukan hingga era 2000-an. Dan tahun 2006, Aksara Record mencoba mengalbumkannya dalam " Jazz Masa Kini: The New Wave of Indonesian Jazz". Sebelas lagu disodorkan dalam album yang direkam dalam jumlah terbatas ini; Jakarta City Blues, payung fantasi, Whatever Works, Nature, Three Colours, Mengenang Cinta, Moskow Morning, Without Me, Hecta Dance, Wham Bam Thank You Ma'am !!!, dan Banyumas Delight. Setiap lagu mewakili karakter musik Jazz. Mulai dari swing, pop hingga kolaborasi Acapela. Misalkan "Jakarta City Blues" besutan Indra Aziz yang dibawakan secara acapela. Kolaborasi nada-nada dalam alat musik berusaha diwakili dengan suara mulut, mulai dari bass, drum hingga terompet. Penyanyi Shelomita bersama Opustre Big Band juga tampil sempurna membawakan karya klasik musisi Indonesia ternama Bing Slamet, "Payung Fantasi". Lagu dibawakan dalam tempo cepat dengan mengadopsi irama "swing", dipadukan dengan permainan apik terompet-nya Happy Wardhani, plus saksophone tempo alto (Leonardus Mulyanto) dan Tenor Saksophone (Indra Aziz). Hal yang sama juga dilakukan oleh Mian Tiara Tobing yang didukung Riza Arshad dan Ricky Lionardi saat membawakan "Three Colours". Namun lagu yang komposisinya ditulis langsung oleh Riza Arshad ini menyuguhkan nada-nada yang simpel dan cenderung slow. Pianis Nial Djuliarso juga berhasil menyuguhkan permainan pianonya yang Jazzy dan sentimentil. Tembang karyanya, "Moscow Morning", bertambah apik dengan bumbu-bumbu suara bass, Rufus Reid. Album yang diproduseri Hanindito Sidharta ini bisa dibilang merupakan "kliping" dari aliran-aliran Jazz yang ada di Indonesia. Masing-masing musisi menyodorkan lagu sesuai dengan eksplorasi terhadap musik Jazz, sehingga dalam album ini tidak ada "aliran" baru yang coba diketengahkan. Dan tidak bisa dipungkiri, Jazz Indonesia banyak dipengaruhi oleh musisi Jazz dunia, termasuk para musisi Jazz Indonesia yang sudah melegenda. Sekalipun demikian, kehadiran album ini sangat perlu diapresiasi sebagai sebuah karya untuk tetap melestarikan musik Jazz dari bumi pertiwi agar tidak mati. Dan memang, dalam perkembangannya, musik ini tidak akan ada "matinya". Dari waktu ke waktu penggemar musik ini terus berkembang, termasuk generasi muda. Ajang Jazz masuk Kampus terjadi sudah lebih dari 30 tahun, dan bahkan Jazz masuk ke sekolah sudah menggejala. Maka, Jazz pasti tidak akan mati. Dan album ini bisa dibilang menjadi saksi sejarah perjalanan musik Jazz Indonesia. [lyz/foto: aksara record]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun