Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Per Teoritis, Wajar Pimpinan PKS Korupsi

1 Maret 2013   15:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:29 2348 7
Ada penjelasan teoritis mengapa pimpinan puncak Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sampai terjerat kasus korupsi. Menurut Burhanuddin Muhtadi, seraya mengutip teori Anthony Downs dalam karya klasiknya, An Economic Theory of Democracy (1957), korupsi demikian konsekuensi logis dari gagasan progresif yang diinisiasi Anis Matta yang mendesain PKS menjadi partai terbuka (Majalah Tempo, Edisi 25 Februari - 3 Maret 2013, h. 46-47).

Teori Anthony Downs menjelaskan bahwa perilaku partai dan spektrum ideologi mengikuti kurva normal dan kurva terbalik. Dalam kurva normal, mayoritas pemilih cenderung ke tengah (moderat). Pemilih bergerak menjauhi titik ekstrim kiri atau kanan. Karena itu, jika PKS hendak menjadi partai besar mau tak mau harus menjadi partai terbuka, meninggalkan ideologi lama partai dakwah Islam yang tertutup.

PKS mendeklarasikan partai terbuka sejak musyawarah kerja nasional di Bali pada 2008. Dan konsekuensi menjadi partai terbuka demikian, PKS mesti mengenalkan diri ke sebanyak mungkin pemilih melalui iklan-iklan, persis dilakukan partai-partai terbuka lainnya. Sasarannya untuk meraup suara sebanyak mungkin kalangan.

Jangan heran jika belanja iklan PKS pada Oktober 2008-Februari 2009 paling tinggi dari seluruh partai Islam lain, bahkan mengalahkan PDI Perjuangan. Tentu butuh uang dalam jumlah besar untuk belanja iklan demikian.

Uang besar-besaran untuk berkompetisi elektoral selayaknya partai-partai lain tersebut dibebankan pencariannya kepada petinggi partai, terutama presiden partai dan bendahara. Ini karena iuran anggota jauh dari mencukupi untuk kebutuhan dana partai. Bahkan tetap kurang sekalipun telah ada bantuan dana dari APBN. Maka, satu-satunya cara yang paling mungkin adalah dengan mencari bantuan sumbangan ("hibah") dari bebagai pihak.

Pada era kepemimpinan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI)-lah PKS melakukan terobosan pencarian dana yang tergolong "berani". Dengan memakai tangan non-kader, LHI ditengarai meraup uang miliar rupiah buat partai (istilahnya, "perjuangan dakwah"). Ahmad Fathanah (AF) disebut-sebut bukan kader PKS.

Kolaborasi LHI-AF mampu mengumpulkan dana puluhan miliar rupiah dari satu sumber saja, yakni group PT Cipta Inti Parmindo. Belum dari sumber-sumber lain, termasuk dari PT Indoguna Utama, yang merupakan rekanan dalam impor sapi di Kementerian Pertanian.

"Sial", sepak terjang LHI-AF harus terhenti di tangan KPK. AF tertangkap tangan oleh KPK saat menerima uang Rp.1 miliar dari PT Indoguna Utama melalui petingginya, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi.

Pada saat AF tertangkap tangan dan dikait-kaitkan dengan LHI sontak petinggi PKS menyatakan kepada publik bahwa LHI tak kenal dengan AF dan AF bukanlah kader PKS. Ini membuktikan bahwa ada desain terencana dan sistematis untuk memutus mata rantai aliran dana haram ke internal PKS dan LHI. Hal ini untuk membangun logika, AF bekerja sendiri dan tidak ada kaitan dengan PKS.

Strategi pengumpulan dana ala PKS tersebut nampaknya disadari sepenuhnya sebagai bertentangan dengan hukum. Karena itu, dicarilah cara "aman". Yakni, dengan memakai tangan non-kader.

Cukup mengagetkan bahwa apa yang dilakukan oleh LHI-AF tersebut, oleh sebagian kader, setidaknya yang mengapung dan ditangkap oleh media, dianggap bukan korupsi. Menurut mereka baru disebut korupsi jika mengambil uang negara secara tidak sah. Sementara uang yang diterima oleh AF merupakan uang milik swasta. Mereka lupa bahwa korupsi itu juga mencakup penyelenggara negara yang menerima pemberian dalam bentuk apapun dari orang lain. LHI adalah penyelenggara negara karena ia adalah anggota Komisi I DPR RI.

Entah aliran fiqih apa yang dipakai sebagian kader dan suporter PKS tersebut, sehingga merasa dan berpikir bahwa AF (dan LHI) menerima uang dari pihak swasta bukan sebagai kejahatan (korupsi) dan tidak tergolong dosa dalam agama.

Bahwa penyelenggara negara menerima uang dari orang lain merupakan tindak pidana korupsi, pun nampaknya disadari oleh LHI. Karena itu, ia memakai tangan AF, yang nota bene bukan kader. Sayangnya lapisannya sangat tipis, hanya satu lapis hubungan (LHI-AF), sehingga hubungan LHI-AF gampang diendus aparat hukum. Tidak seperti mafia narkoba yang berlapis-lapis dimana antar lapisan saling tak kenal karenanya antar lapisan terputus, jadi relatif aman ketika salah satu tertangkap.

Simpulannya, partai terbuka butuh dana besar untuk meraup suara sebanyak mungkin kalangan pemilih. Realitas pendanaan partai di Indonesia saat ini tidak mencukupi dari sumber konvensional: iuaran anggota, bantuan perorangan dan korporasi, dan bantuan APBN. Jadi, partai harus cerdik mencari dana, kapan perlu nyerempet-nyerempet korupsi atau bahkan korupsi sekalian.

Uraian ini hanya analisa. Secara hukum LHI dan AF belum tentu bersalah sesuai asas praduga tak bersalah. Ada saja kemungkinan LHI dan AF tak terbukti bersalah di pengadilan, sekalipun ini kecil peluangnya.

(SP)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun