Pernyataan AU dalam pidatonya potensial berakibat KPK dibenturkan dengan SBY. Dikesankan pada publik bahwa kasus AU tak lebih dari rekayasa politik SBY dan kroninya untuk menjatuhkan AU dari kursi Ketum Partai Demokrat, karena AU adalah 'bayi yang lahir tak diharapkan' dan karenanya harus disingkirkan. Caranya, SBY 'nabok nyilih tangan' KPK.
Dalam kaitan ini KPK bisa sadar atau tak sadar dimanfaatkan untuk 'nabok' AU. Jika KPK sadar dimanfaatkan, artinya, KPK sekubu dengan SBY. Sebaliknya, jika KPK tak sadar dimanfaatkan tangannya oleh SBY untuk nabok AU, maka KPK saat ini dalam posisi 'dibenturkan' dengan SBY. Seolah-olah SBY merekayasa proses hukum di KPK---hal yang tentu saja ditolak KPK.
Sangat berbahaya jika sampai gerbong SBY beradu kambing dengan gerbong KPK. Karena itu kekuatan sipil di Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan kritis dan memperkuat dorongan bagi SBY dan KPK agar tak terpancing. Biarkan proses hukum mengalir dengan logika hukum, bukan dengan logika politik. Logika hukum adalah bukti, bukti, bukti.
Mungkin sekali pada awalnya ada motif politik di balik pelengseran AU. Akan tetapi ketika AU sudah tersangka maka ranahnya sudah ranah hukum. Bagi hukum, motif (politik, dengki, dendam, dst) tidak penting. Motif bukanlah unsur dalam pasal suatu tindak pidana. Unsur inti tindak pidana hanya peristiwa hukum: adanya subjek pelaku, perbuatan, dan kerugian atau akibat.
Untuk membenturkan gerbong KPK dan SBY tentu memerlukan alat dan alat ini adalah HMI-KAHMI. AU terindikasi kuat sedang nabok lawannya (KPK dan SBY) dengan nyilih tangan HMI-KAHMI. Judulnya, AU balas nabok nyilih tangan HMI-KAHMI. Indikasi ini terlihat dengan konsolidasi alumni-alumni HMI di rumah AU pasca penetapan dirinya sebagai tersangka, lalu muncul pernyataan dari seorang Ketua KAHMI Mahfud MD, serta terlihat dari isi pidato pengunduran diri AU dari Ketum Partai Demokrat.
Dalam konteks ini, jika benar adanya---kalau pun tidak benar tetap sebaiknya diwaspadai, kader HMI-KAHMI perlu kritis dengan situasi. Jangan sampai dimanfaatkan untuk melakukan tekanan/intervensi terhadap proses hukum projustisia. Efeknya sangat berbahaya bagi supremasi hukum. Lebih jauh lagi dapat menganggu pilar negara demokrasi, yakni kekuatan yudikatif.
HMI-KAHMI tidak bisa dianggap enteng. Jumlahnya ribuan dan tersebar di berbagai universitas dan lembaga negara dan swasta di dalam dan luar negeri. Jika kekuatan ini kompak melawan atas penetapan tersangka salah satu kader terbaiknya (AU) maka bukan tak mungkin melahirkan daya rusak yang cukup signifikan bagi penegakan hukum.
Kita ambil contoh. Taroklah HMI-KAHMI kompak, bisa saja mereka menyandera anggaran KPK melalui mekanisme di DPR RI, atau mendesakkan perubahan UU KPK juga melalui mekanisme legislative review di DPR RI. Desakan eksternal bisa dilakukan oleh ribuan kader HMI. Sedangkan di internal DPR RI kader KAHMI bisa bekerja melakukan itu.
Contoh di atas ekstrim sifatnya tapi bukan tak mungkin terjadi. Penulis sendiri percaya bahwa HMI-KAHMI masih solid nasionalismenya dan antikorupsi, bukan berjuang untuk kepentingan sempit kelompoknya saja. Namun tetap sebaiknya waspada jangan sampai dimanfaatkan sehingga contoh ekstrim ini terjadi betulan.
Lobi HMI-KAHMI dikenal cukup kuat. Bahkan, di internal KPK pun ada alumni HMI memegang posisi-posisi kunci yang menentukan, sebut saja Abraham Samad, Busyro Muqoddas, dan Abdullah Hehamahua (Penasehat KPK).
Sekali lagi, penulis percaya bahwa HMI-KAHMI memiliki komitmen pemberantasan korupsi sekalipun terhadap kadernya, antara lain sebagaimana tercermin dari pernyataan-pernyataan Ketua KAHMI Mahfud MD. Akan tetapi tetap perlu waspada terhadap indikasi-indikasi permainan politik dalam kasus AU. Jangan sampai termakan "umpan" lalu berkontribusi melemahkan gerakan besar pemberantasan korupsi.
(SP)