Pernyataan rencana pendirian Pengadilan HAM Ad Hoc itu disampaikan oleh Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM Albert Hasibuan di Sekretariat Kontras, Jakarta, Selasa (19/3/2013).
Menyusul rencana itu, suara-suara sumbang mulai terdengar. Diantaranya, bahwa pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut jelas ditujukan bagi lawan politik, yakni untuk menjegal Prabowo Subianto sebagai Capres potensial di 2014 mendatang.
Penulis berpendapat, bahwa jegal-menjegal secara politik dan hukum adalah sah-sah saja, sepanjang ada alasan kuat secara hukum, bukan fitnah tanpa dasar. Kapan perlu semua capres yang mengapung saat ini, di cari sisi lemah, sisi negatifnya, lalu diumbar ke publik seluas-luasnya, biar publik dapat menilai.
Tidak terkecuali Prabowo dengan dugaan pelanggaran HAM penghilangan aktivis pro-Reformasi 1997-98. Dimana sampai hari ini masih ada 13 orang aktivis yang masih hilang dan tidak diketahui rimbanya, diduga kuat telah tewas.
Beberapa personil Tim Mawar Kopassus yang diperintahkan untuk menculik para aktivisnya, telah disidangkan dan dinyatakan bersalah, sementara komandan yang memerintahkan (Prabowo) belum pernah diadili secara hukum.
Begitu juga dengan pertanggung jawaban moral dan material kelompok usaha milik Aburizal Bakrie, PT Lapindo Brantas Inc, dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. Sampai saat ini pemberian ganti rugi belum terealisasi sesuai ketetapan semula, sehingga mendapat peringatan politis dari SBY.
Terkait rencana pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini, SBY dan timnya harus tetap fokus dan tak goyah dengan serangan politik pihak-pihak yang terancam. Inilah saat SBY menunjukkan kekuasaan demi kemaslahatan korban dan bangsa ini ke depan, supaya kejadian serupa tidak terulang, dan bangsa ini tak lupa dengan sejarah kelamnya.
SBY berada pada titik yang tak boleh lagi mundur. Maju terus membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Lebih baik begini dari pada para korban dan keluarganya membawa kasus ini ke pengadilan pidana internasional atau forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bila sekenario terakhir ini terjadi maka negara Indonesia akan malu besar di mata dunia karena sistem pengadilannya dinilai tak becus mengadili pelanggaran HAM masa lalu.
Jika para politsi terduga pelanggar HAM masa lalu diadili bukan saja baik bagi bangsa ini, melainkan juga baik bagi ybs sendiri. Dengan cara itu akan jelas apakah si terduga bersalah atau tidak, sehingga sandera politis masa lalu akan terbuka. Kalau bersalah, silahkan jalani hukuman. Sebaliknya, kalau tidak bersalah maju terus dengan aktivitas politiknya.
(SP)