Dikutip dari kompas.com (28/5), tidak semua PSK setuju penutupan lokalisasi tersebut. Cukup banyak diantara PSK dan mucikari yang merasa dikibuli oleh pemerintah. Karena waktu sosialisasi tidak disebutkan bahwa bantuan yang mereka terima, berupa modal kerja dan jaminan hidup antara Rp1,8 s/d 5 juta per orang, akan diikuti penutupan lokalisasi. Ini membuktikan bahwa pelacuran bukan melulu masalah ekonomi.
Pendapat penulis, ada persoalan mendasar dari rencana penutupan lokalisasi oleh kementerian yang digawangi kader PKS Salim Segaf Al Jufri ini.
Pertama, persoalan standar moral. Bahwa standar moral mainstream yang mengharamkan dan tak setuju pelacuran adalah sah-sah saja. Akan tetapi menjadi masalah apabila standar moral demikian dipaksakan pada semua orang. Sebab, tidak semua orang seragam standar moralnya, sebagian tak mempersoalkan pekerjaan sebagai PSK.
Bagaimana jadinya jika lokalisasi ditutup karena mengikuti standar moral pihak yang mengharamkan. Ke mana para homo sapiens, yang memiliki standar moral tak mempersoalkan pelacuran, mencari pelampiasan nafsu seksual pada PSK? Ini akan jadi masalah.
Coba, apa yang membedakan orang yang bekerja dengan tangan (kerajinan dll), dengan otak (ilmuwan dll), dengan kaki (pemain bola dll) dibandingkan PSK yang bekerja dengan (maaf) vagina--sama-sama bekerja. PSK juga berdagang (bekerja), yakni memperdagangkan vaginanya. Yang membedakan semua jenis pekerjaan itu hanya kode moral.
Kedua, lokalisasi PSK juga bagian dari bentuk rekayasa sosial, antara lain untuk mengurangi dampak buruk para PSK yang menyebar tanpa kontrol, termasuk kontrol penyakit. Penutupan lokalisasi dipastikan akan kembali membuat para PSK yang tak setuju "bertobat" kembali ke jalan-jalan, gang, persimpangan lampu merah, dll. Tentu saja tanpa kontrol terhadap penyakit menular (sepilis, HIV, AIDS, dll) sebagaimana layaknya di lokalisasi.
Transaksi pelacuran pada hakikatnya adalah akad perjanjian keperdataan (privat) antara penyedia jasa dengan pemakai jasa pelacuran. Pelacuran jelas berbeda dengan narkoba, terorisme, dan korupsi. Sekalipun dalam KUHP ada diatur delik pelacuran (Pasal 296 dan 506).
Akan tetapi dalam kenyataannya, delik pelacuran ini dalam banyak situasi tidak diterapkan. Hal mana sama dengan delik pengemisan. Mengemis secara hukum merupakan tindak pidana (Pasal 504 KUHP), akan tetapi tidak atau sulit diterapkan dalam praktik hukum, karena berbagai pertimbangan.
Jikalau pelacuran dan pengemisan ditangkapi satu persatu tanpa kecuali niscaya semua penjara bakal penuh oleh para pelacur dan pengemis. Mereka bakal punya tempat menginap dan makan gratis, semua ditanggung negara. Ruang penjara tak ada lagi sisa buat kejahatan berat seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, terorisme, korupsi, dll.
Pelacuran sangat kompleks. Karena itu profesi yang disebut-sebut tertua di dunia ini diatur sedemikian rupa dampaknya, dengan melakukan lokalisasi. Kebijakan ini yang banyak ditempuh oleh berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia pada beberapa daerah.
Kebijakan lokalisasi bukan perkara yang simsalabim diputuskan dalam sehari. Telah melalui pergulatan selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun, terutama kajian segala segi dan dampaknya. Menjadi luar biasa jika Mensos Salim Segaf Al Jufri hendak menghapus pelacuran dalam hitungan bulan!
(SP)